Di suatu pagi yang asri. Dan seperti biasa, Niar belum datang. Walau waktu itu dia sudah berjanji datang pagi, dan beberapa kali menepatinya, tapi hari ini, sepertinya dia kembali lagi kesetelan pabrik, yaitu mempertahankan gelar 'Ratu Ngaret'.
Sama seperti pagi pagi yang lain, aku ke kantin, menuju bilik warung Mang Ujang.
"Mang?" panggilku sambil melongok melalui belakang gerobak Mang Ujang. Namun di sana kosong, tak ada siapa pun. "Lho? Kok sepi? Ke mana mang Ujang?" gumamku tetap melangkah masuk ke dalam bilik warung Mang Ujang meskipun seraya celingukan.
Mangkuk-mangkuk kecil berisi sambal, cuka, kecap botolan isi ulang, tempat-tempat sendok dan botol lada masih tertata rapi di tengah-tengah. Meja-meja juga masih bersih dan kinclong, kursi juga masih diletakkan berjejer tanpa bergeser satu pun. Tanda bahwa memang belum ada yang sarapan di sini, dan baru aku yang akan jadi pelanggan pertamanya Mang Ujang buat sarapan.
Namun, ketika sedang asyiknya mataku memindai tempat itu, tatapanku seketika terpaku pada sebuah pojokan di meja tempat aku pernah menduduki meja tersebut ketika waktu itu Yogie dan Sony mengobrol--Bab 9: Gara-gara Kecap--di sudut itu, terdapat sebuah topi yang tak asing dalam penglihatanku.
Jadi segera kuhampiri dan kuambil topi itu. Aku ingat sekali, bentuk, corak, warna dan tulisan sablon yang terdapat di bagian depan topi itu. "Punya kak Sony," gumamku.
"Astaghfirullahal'adzim!!!" Aku menoleh saat mendengar suara Mang Ujang setengah berteriak mengucap istigfar ketika masuk. Dan aku terkekeh melihat ekspresi terkejut Mang Ujang yang tampak pucat. "Maaf, Mang. Habis di sini kosong, sih. Jadi aku masuk deh. Laper, nih, Mang. Mau nyarap bubur," ujarku.
Mang Ujang mengangguk masih sambil mengelus-elus dadanya. "Kaget saya, Neng. Soalnya tadi saya dengar desas-desus semalem pak Ismet lagi jaga terus diketawain kuntilanak. Makanya hari ini dia enggak jaga, langsung sakit."
"Lho? Kirain kuntilanaknya sudah bestian sama pak Ismet juga," kataku bercanda. "Pantas tadi adanya satpam lain. Terus, gara-gara itu Mang Ujang jadi parno lihat saya?"
"Ya ... lumayan, Neng. Tadi kan di sini sepi, eh tau-tau si Eneng udh nongol aja di pojokan warung saya," curhatnya. Aku masih terkekeh mendengar suara Mang Ujang masih gemetar.
"Oh iya, Mang. Ini ... kok ada di sini?" tanyaku segera soal topi punya Sony, agar tak lupa karena pembahasan ngalor ngidul kami. Aku mengangkat topi itu dan menunjukkan pada Mang Ujang.
Mang Ujang menoleh sambil menyuwir-nyuwir ayam di atas buburku yang sebentar lagi siap disajikan. "Oh ... iya, Neng. Dua hari lalu si abang yang kacamata itu ke sini sore, bantu ibu warung bawa barang-barangnya mau pulang. Terus sambil nunggu, si abang duduk di sini dan sempet ngobrol sama saya sebentar. Ternyata pas dia sudah balik bareng ibu warung, topinya malah ditinggal. Yasudah, saya simpanin aja. Siapa tahu temannya yang kasep itu dateng, tadinya mau saya kasihin ke dia supaya dibalikin."
Bukti kalau Yugie memang tampan, sebab Mang Ujang saja mengakuinya dan menyebut Yugie 'si kasep'. Aku hampir tertawa geli mendengar Mang Ujang memuji visual Yugie terang-terangan.
"Terus gimana? Si kasep itu sudah ke sini belum?" tanyaku seraya mengulang sebutan 'si kasep.'
Mang Ujang menjawab lagi. "Belum, Neng. Kan belum pada istirahat, tapi saya dengar-dengar mah dari ibu warung teh, katanya kalo si abang kacamatanya mah gak masuk sudah dua hari, lagi sakit."
Aku mengernyit mendengar ucapan Mang Ujang barusan. "Sakit, Mang?" Mang Ujang pun mengangguk tanda mengiyakan. Aku tertegun sejenak, berpikir apa aku saja yang antar topi ini ke rumahnya? Siapa tahu dia butuh topinya, kan? Dan lagi pula, dengan begitu aku jadi bisa dekat dan mengobrol dengannya walau cuma sebentar.
Mang Ujang baru saja meletakkan bubur ayamku di atas meja, sedang aku malah beranjak dari dudukku. "Mang, kayaknya aku berubah pikiran, makannya nanti aja, ya?"
"Lho? Neng? Mau ke mana? Aih ini teh buburnya sudah jadi, masi hanet gening, Neng," ucapnya dengan ciri khas bahasa sundanya yang mulai keluar.
"Anu ... Mang Ujang sudah sarapan belom?" Mang Ujang menggeleng.
"Nah! Pas banget. Sudah, buburnya Mang Ujang yang makan aja, ya? Nih, uangnya. Aku tetap bayar. Anggap aja aku yang traktir Mang Ujang." Aku terburu-buru melangkah keluar dari bilik warung Mang Ujang.
"Eh? Eh? Neng? Masa iya saya makan bubur dagangan saya sendiri? Neng?" Ekspresi wajah Mang Ujang saat itu sangat lucu dan bingung, seakan penuh pertanyaan dari rautnya. Mengapa aku tiba-tiba berubah pikiran?
"Enggak apa, Mang. Sekali-kali. Masa kang bubur enggak boleh makan bubur. Panitia kurban aja nyembelih hewan kurban makan daging kurbannya juga."