Aku masih menunggu Niar yang belum juga datang, padahal sudah hampir jam sepuluh. Artinya, waktu istirahat anak-anak kelas tiga sebentar lagi berlangsung, dan mereka semua akan berhamburan keluar kelas menuju kantin. Namun Niar tak juga kelihatan batang hidungnya sama sekali. Sudah banyak hal kulakukan demi membunuh waktu akibat menunggu kedatangannya. Aku sempat mengunjungi Mang Ujang, bahkan mengobrol dengan Pak Ismet sambil menemaninya makan gorengan, sampai ke perpustakaan meminjam buku agar bisa kubaca di luar perpus.
"Huh ... Niar, lo ke mana, sih? Atin juga, dia hari ini datang pagi lagi atau enggak, ya?" gumamku.
Pada masa ini, aku sempat berpikir ... andai saja aku memiliki ponsel canggih yang bisa menghubungi temanku dengan mudah. Aku punya ponsel, tapi di rumah, tak bisa kubawa ke sekolah, karena bahaya kalau sampai ada razia, bisa-bisa nanti disita oleh guru, dan berakhir dengan aku yang akan dimarahi Umi karena mendapat peringatan pada surat panggilan orang tua.
Horor! Itu lebih seram daripada melihat hantu.
Kalau pun kubawa ponsel itu, mau hubungi siapa? Niar belum punya ponsel. Maka itulah, kami hanya bisa mengucap janji sepulang sekolah, lalu saat sudah sampai di sekolah besoknya ya kami tak bisa saling berkabar dan menunggu.
Kubuka lagi buku yang sejak tiga puluh menit lalu selalu kutenteng dari perpus. Kubuka kembali halaman yang kubaca terakhir kali. Saat ini, aku duduk di kursi semen yang terdapat di depan ruang guru, sengaja aku duduk di situ, sebab lebih dekat dengan kelasnya Kak Yugie dan Kak Sony.
Bel istirahat yang berbunyi dari pengeras suara yang tergantung depan pintu ruang guru seakan tak membuyarkan konsentrasi keseruanku membaca buku, diikuti suara riuh ramai anak-anak yang mengobrol, tertawa dan menggerutu, mereka pasti akan ke kantin. Alasan lain aku duduk di sini setelah dekat dengan kelas tiga-lima adalah, wilayah ini jarang dilewati anak-anak sebab mereka merasa enggan jika harus bertemu guru dan tak sengaja berpapasan dengan mereka, soalnya selain harus menyapa dengan sopan, kalau misal mereka pernah bermasalah dengan salah seorang guru dan tak sengaja berpapasan, sudah pasti mereka takkan bisa lolos oleh pertanyaan-pertanyaan horor perihal nilai dan tugas sekolah lainnya yang bermasalah pada pelajaran guru tersebut. Huh! Ciut sekali nyali mereka itu. Hahaha.
Hanya segelintir orang yang cukup berani melewati wilayah itu, kalau bukan ketua Osis, anggota organisasi lain seperti ekskul atau yang memang modal nekad saja seperti aku, Niar dan juga Atin.
"Fay ...." Sebuah suara dengan tone yang cukup berat terdengar menyebut namaku dari depan. Siapakah gerangan?
Kuturunkan buku yang menutupi wajahku, dalam tundukanku, kupandangi sejenak sepatu hitam putih ala converse yang memang dipakai hampir seluruh murid di sekolah ini, dan kutelusur secara perlahan lewat pandanganku kaki berbulu dengan celana pendek dengan ujung sampai bawah lutut berwarna biru gelap khas SMP itu, hingga akhirnya aku mendongak dan berhasil menatap wajah lelaki di hadapanku yang tak terlalu tinggi dan berbadan lumayan atletis. Kami bertemu pandang. Dan aku mulai memerhatikan penampilannya. Seragamnya sungguh tampak sangat rapi dibandingkan murid-murid yang lain, dasi yang dipasang dengan pangkal segitiga sempurna, kancing paling atas kemeja pun dia tutup dengan baik.
Hm, ini sih potongan siswa teladan favorit guru. Anak baik-baik dan akan selalu menjadi contoh anak-anak lain yang begajulan.
Aku mengernyit, mengingat-ingat wajahnya yang tak asing, aku pernah melihat orang ini, di sekolah ini, tapi di sudut mana? UKS? Depan toilet? Koridor? Di mana? Aku masih belum menemukan jawaban tepat dalam otakku, di mana aku pernah ....
Seketika aku teringat kejadian seminggu yang lalu, di hari Jihan memberikan surat kecil, kemudian aku ke kantin, menyusul teman-temanku yang sudah lebih dulu sampai di warung buburnya Mang Ujang. Niar dan Atin membaca surat itu dengan suara yang lumayan bisa didengar orang lain. Dan saat itu, murid lelaki ini, dia yang di hadapanku sekarang, dialah orangnya yang sempat melamun menatapi kedua temanku dan surat itu saat memesan bubur di warung Mang Ujang--jika kalian ingat di Bab 6: Ketua Osis--Lalu pandanganku menatap sesuatu yang tersemat di seragamnya yang lumayan kinclong, name-tag bertuliskan 'Jamas Andhika W.'
Dia kemudian tersenyum padaku, wangi parfum maskulinnya menyengat menusuk hidungku sehingga aku menahan diri untuk bersin.
"Tumben kamu di sini. Bukannya kelas dua masuk siang, ya?" tanyanya dengan gaya senyum tersipu malu.
Aku hanya menelan ludah, dia Jamas, penggemar rahasiaku yang pernah mengirimiku surat lewat Jihan. Jamas, si ketua Osis. Astaga! Bagaimana ini? Apakah dia masih ingat kejadian soal Niar dan Atin yang membaca suratnya saat kami di kantin? Bodoh sekali, kami saat itu kelewat asyik sampai lengah, tak sadar bisa saja Jamas ada di sana mendengarnya, dan ternyata itu benar terjadi. Sungguh ceroboh!