Tiga bulan menjadi Kakak kelas rasanya cukup menyenangkan dan menegangkan. Di kelas tiga ini aku kembali sekelas dengan Niar dan Pita. Sayangnya, Atinlah yang justru berpencar dari kita untuk ditempatkan di kelas lain. Meski begitu, terkadang saat waktu istirahat kami sering mengunjungi Atin dan tetap pergi ke kantin bersama-sama dan makan di warung bubur Mang Ujang. Meski ada perubahan dalam formasi kelas kami, tapi semoga tak ada yang berubah dari persahabatan kami.
Seminggu yang lalu, aku sempat menolong seorang adik kelas yang hampir dibully oleh anak-anak lelaki di kelasnya. Dan sejak itu juga, aku jadi tahu sebuah rahasia gelap yang dimiliki oleh kelas dua pada tahun ajaran ini. Oh, ya. Kelas baru untuk ditempati kelas dua pada tahun ajaran ini sudah selesai dibangun dan bisa dipakai.
Jadi, mulai tahun ini, anak kelas dua tidak ada yang masuk siang seperti generasi-generasi sebelumnya. Semua kelas masuk pagi tanpa terkecuali. Dan karena hal ini, artinya makin banyak murid yang hadir di sekolah dan membuat kantin penuh membludak banyak orang dari yang sebelumnya.
Tentu saja, jika dulu ketika aku masuk pagi di kelas satu, kantin hanya akan dipenuhi oleh dua angkatan, yaitu kelas satu dan tiga. Sementara untuk kelas dua yang masuk siang, kami bebas, kantin tak terlalu berjubel sebab hanya angkatan kami yang menguasainya hehehe.
Tapi sekarang, semenjak kelas baru sudah jadi dan selesai dibangun, kami harus berjibaku dengan tiga angkatan sekaligus.
Rasanya sesak sekali. Bahkan sering dari kami yang akhirnya memilih janjian membawa bekal untuk istirahat daripada harus ke kantin dan mengantre beli makanan.
Walau kalau lagi ingin ke kantin, Mang Ujang sering memprioritaskan Aku, Niar, Atin dan Pita untuk makan bubur yang kami pesan, tetapi tetap saja, percuma buburnya diprioritaskan tapi tak dapat tempat duduk.
***
"Kok sendirian, Neng? Neng Niar dan yang lain belum dateng?" tanya Mang Ujang saat aku sampai di warungnya dan memesan bubur.
"Belum, Mang. Makanya aku ke sini. Malas kalau langsung ke kelas, belum ada teman ngobrol. Bubur satu ya, Mang."
Pagi ini, sebelum masuk kelas, aku berniat sarapan bubur di tempat Mang Ujang, sekalian mengobrol, sambil menunggu Niar datang. Pokoknya yang tidak berubah dari Niar adalah kebiasaannya yang suka datang di saat waktu mepet mau masuk kelas.
Setelah bubur yang kupesan habis kusantap, aku berpamit pada Mang Ujang untuk kembali ke kelas.
"Makasih, Mang Ujang," kataku sambil berlalu dari warungnya.
Saat itu, karena masih pagi, jadi kantin lumayan sepi. Namun, ada tiga orang siswa yang baru datang dan tampak membeli sesuatu di warung. Aku cuek dan berjalan saja tanpa menghiraukan mereka, walau aku mendengar salah seorang dari mereka berkata, "Itu Kakak kelas yang kemarin nolongin si Karmen di kelas kita, kan? Cakep juga, ya? Body-nya aduhai," katanya.
Meski aku ingin sekali meninju bocah itu, tapi rasanya pagi ini aku malas berurusan dengan orang. Namun sayangnya, sebuah insiden yang tak kuinginkan terjadi. Saat aku sudah melewati ketiga bocah-bocah itu, seketika aku tak bisa bergerak seperti ada yang menahan tas selempangku.
Karena aku semnpat mendengar omongan negatif dari salah satu bocah itu, aku jadi berpikiran negatif sambil berbalik untuk melabrak mereka.
"Heh! Lo gila, ya? Apa maksudnya lo narik-narik tas gue, hah?" kataku marah besar menatap ketiga bocah ini. Yang satu matanya belo dengan kulit kuning langsat berdiri di kiri, yang satu bertubuh agak tinggi dan berisi berdiri di kanan, sementara yang satu lagi kulitnya sawo matang dengan alis tebal yang runcing, hidung mancung dan bibir tipis, ia lebih tinggi dari kedua temannya dan berdiri di tengah.