Aku tidak tahu kenapa? Tapi tahun ini, guru-guru dan semua orang di sektor pendidikan mulai mengubah beberapa regulasi dalam dunia pendidikan di sekolahku. Contoh kecilnya saja, mulai tahun ini kami disarankan untuk mengubah sebutan kelas satu, dua dan tiga SMP menjadi kelas tujuh, delapan dan sembilan.
Walau masih kagok, tapi akhirnya kami membiasakan diri. Jadi mulai sekarang aku akan menyebut angka delapan untuk anak-anak kelas dua, dan angka sembilan untuk menyebut anak-anak kelas tiga di angkatanku. Selain itu, mulai angkatan kami, kelas tiga ... maksudku kelas sembilan, akan pulang pukul dua siang. Betul, lebih siang daripada generasi-generasi sebelumnya. Namun, karena jadwal belajar kami makin panjang, sekolah kami tentu memberikan kompensasi berupa jam istirahat yang double. Alias dua kali. Jam sepuluh pagi dan jam dua belas siang. Waktu yang biasanya digunakan untuk bel pulang sekolah, mulai ajaran tahun ini jadi digunakan sebagai waktu istirahat dan dimanfaatkan untuk ekskul tertentu berbasis agama yaitu Rohis. Mulai tahun ajaran kami pun, sekolah kami mencanangkan program 'Keputrian' setiap hari Jumat.
Keputrian dilakukan, di mana ketika para siswa yang muslim wajib ikut sholat jumat berjamaah di mushola sekolah, dan para siswi yang muslimah disarankan mengikuti program Keputrian di dalam kelas dengan cara membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an sampai ibadah sholat jumat para siswa selesai dilaksanakan. Dalam program Keputrian, terkadang guru menerapkan sesi Setor hafalan setiap seminggu sekali. Jadi, setiap hari jumat, setelah sudah membaca beberapa surah, guru akan meminta para siswi memilih salah satu surah yang dibaca pada hari itu, dan dihafalkan di rumah, lalu jumat pada minggu selanjutnya, beliau akan meminta kami menyetor surah-surah pilihan yang sudah kami hafalkan.
Hal itu berlangsung sampai kami akan memasuki Try out sampai Ujian Nasional saja.
***
Oh, ya, di bab sebelumnya, aku pernah membahas soal berjubelnya kantin, kan? Aku juga mengatakan bahwa aku dan Niar atau beberapa anak lain di kelasku lebih memilih janjian bawa bekal dari rumah saat jam istirahat, daripada harus berjubel ke kantin.
Namun, syukurnya. Karena ada sedikit pergeseran jam pulang sekolah, kami mendapatkan double recess atau dua kali jam istirahat di sekolah kami.
Biasanya, pada jam istirahat yang kedua kali, kantin tak seramai jam pertama, mungkin karena memang sudah banyak anak-anak yang jajan di jam istirahat pertama, atau bisa juga karena anak-anak yang jajan di jam istirahat pertama uangnya sudah pada habis hehehe.
Jadi kantin lebih agak lowong pada jam istirahat kedua. Karena jam istirahat kedua berbarengan dengan azan zuhur, jadi sebagian siswa maupun siswi yang tidak berhalangan dan ingin sholat pasti akan memanfaatkan waktu istirahat jam kedua ini untuk sholat. Lucunya, jam istirahat kedua ini menurut anak-anak di sekolah, waktunya justru lebih panjang daripada jam istirahat pertama di jam sepuluh pagi. Jadi tak jarang juga banyak siswa dan siswi lebih memilih tidur siang beberapa menit sampai bel masuk berbunyi di jam istirahat kedua ini.
"Bawa mukena, enggak?" tanya Niar.
Aku mengangguk. "Bawa, kok. Mau pinjem punya gue?"
"Iya, habis tas gue enggak muat kalau bawa mukena dari rumah," kata Niar.
"Oke. Kita sholat zuhur dulu, baru ke kantin."
Kami berdua pergi bergandengan tangan menuju Mushola sekolah dengan aku yang menenteng tas mukena di salah satu tanganku.
Usai wudhu, aku dan Niar segera masuk ke dalam mushola dan bergantian mukena untuk sholat. Kita bahkan sempat-sempatnya suit terlebih dahulu untuk menentukan siapa yang pertama sholat, dan siapa yang belakangan? Sebab tak ada satu pun dari kami mau memakai mukena yang disediakan di mushola sekolah, karena semua ukurannya kebesaran bagi kami.
Apalagi aku, kalau pakai mukena dari sekolah, bagian muka pasti tidak rapat sempurna, wajahku kecil sementara bolongan muka pada mukena yang dimiliki mushola sekolah semuanya sudah pada melar dan besar-besar.
Niar memang si paling jago kalau soal game suit menyuit. Walau pun aku si pemilik mukena, tapi aku sudah duga, pasti aku yang bakal pakai belakangan karena kalah suit dengan Niar.
Ketika sedang menunggu Niar sampai selesai menggunakan mukenaku, seseorang mencolek bahuku. Dan betapa senangnya aku ternyata Atin juga ada di sini.
"Atiiiinnn ...." ucapku bersemangat dengan suara berbisik menyebut namanya.
"Heeeeyy ... lo juga di sini, kirain sudah di kantin," katanya segera duduk di dekatku.
Pokoknya sebisa mungkin kami mengobrol dengan cara berbisik-bisik agar tidak menganggu orang-orang yang masih belum selesai sholat.
"Mumpung istirahatnya lama, mending sholat dulu enggak, sih. Baru makan. Atau kadang terbalik. Ya gitu deh, sepenginnya kita aja," jawabku.
Aku dan Atin cekikikan tanpa suara. Lalu tanpa kuduga, tatapanku seketika menangkap sesosok yang tak kusangka-sangka.
Anak lelaki yang waktu itu sempat bersitegang denganku di kantin masuk ke dalam mushola dengan celana panjangnya yang ia gulung. Setelah menutup pintu mushola, ia menengadahkan tangan, tampak berdoa lalu mengusap wajahnya.