"Bu, saya boleh izin ke toilet?" Aku kemudian membisik Bu Guru karena mau mengganti pembalut.
"Oh, ya. Boleh," jawabnya.
"Makasih, Bu."
Aku segera bergegas keluar sambil mengantungi pembalut baru yang kuambil dalam tas tadi. Tak memakan waktu cukup lama sampai pembalut bekas pakai sudah kucuci sampai bersih, segera kubungkus dengan kantung plastik untuk dibuang.
Setelah mencuci tangan di wastafel, segeralah aku berniat kembali ke dalam kelas. Namun, entah mengapa tiba-tiba ada keinginan aku mau melihat-lihat sejenak siswa-siswa yang baru selesai sholat jumat berjamaah di mushola masjid.
Beberapa anak laki-laki berhamburan keluar mushola, ada yang duduk di depan perpus, ada yang langsung ngacir ke kantin dan toilet. Ada juga yang masih pakai sepatu. Aku sendiri juga tak mengerti, bayangan adik kelas yang waktu sempat berseteru denganku di kantin dengan sarung saat lagi sholat di masjid waktu itu seketika muncul di kepala. Seperti aku ingin sekali lagi melihatnya sedang memakai sarung, dia tampak begitu ....
"Oh! Itu, itu dia," gumamku.
Itu benar-benar dia, baru saja keluar dari mushola dengan baju koko dan sarung berwarna maroon, sarung yang sekarang tampak lebih cocok dengan warna kulitnya dengan tone yang agak sedikit gelap. Dia tampak bersinar, aku terpaku menatapnya yang sedang memakai sepatu dari kejauhan. Hingga seseorang menepuk pundakku dengan agak keras.
"Woi, ngapain depan toilet anak cowok?"
Saking terkejutnya aku segera membalikkan tubuh ke belakang. Niar dan Atin cekikikan berdua.
"Ish! Ngagetin aja kalian!" kataku sambil mengusap dada. "Kalau jantung gue kumat terus kenapa-kenapa gimana? Mau lo berdua gotong gue ke UKS?"
"Ini UKS, samping toilet cewek. Deket," jawab Niar sambil cengar-cengir.
"Lagian lo ngapain, sih, Fay? Celingak-celinguk kayak orang bego, senyam-senyum, lagi lihatin siapa, sih? Adik kelas yang waktu itu? Lo naksir sama dia, Fay?" Kini Atin mulai meledek.
"Eh? Enggak, ya, Tin! Enak aja!" sergahku dengan refleks.
"Oh iya, ya. Enggak mungkin juga, iya, kan? Lagian ... lo benci banget sama dia, kan?" ujar Atin lagi kini entah mengapa aku hanya menundukkan kepala.
Aku tak tahu perasaan ini. Seperti perasaan cinta dan benci sedang bertempur. Tadi, ketika Atin menggoda dengan pertanyaan apakah aku naksir adik kelas itu? Aku segera menolaknya seperti aku tak ingin ada perasaan itu mulai timbul dan ketika Atin menyebut soal aku yang membencinya, aku sendiri tak yakin sama sekali. Aku memang masih kesal kalau lihat orang itu berkeliaran di sekitarku, apalagi saat pelajaran olahraga waktu itu.
Aku dongkol, tapi di sisi lain ... aku juga ingin melihatnya.
"Sudah ah, gue mau ke kantin!" kataku segera melengos agar mereka tak membahas lagi soal adik kelas yang belum kuketahui namanya itu.
Ya, aku tak tahu siapa namanya. Saat berseteru di kantin, ketika aku ingin melihat name tag-nya di baju, ternyata tak ada. Dia tak memakai name tag-nya.
***
"Eh, Fay. Lo yakin benar-benar benci sama adik kelas itu?" tanya Niar seketika dalam perjalanan pulang menuju gapura di ujung jalan.
Aku mengernyit dan menoleh pada Niar. "Lo kenapa tiba-tiba bahas tuh orang, sih? Kayak enggak ada topik lain aja, Ni," ucapku sedikit ngegas.
"Ya ... gue cuma nanya aja kali, Fay. Kenapa lo jadi sensi gitu? Perasaan, lo sudah enggak haid, kan?" katanya lagi.
Aku cuma diam dengan ekspresi yang dongkol agak manyun.
"Iya, deh. Fay, gue lihat-lihat lo sering banget emosian kalau kita tanya soal adik kelas itu. Emang, lo sebenci itu sama dia?"
Atin yang memang selalu pulang bersama kami, walau sekarang kelas kami berbeda, sekarang ikut menimpali. Niar mengangguk setuju dengan ucapan Atin.
"Bener, tuh," katanya.
"Sekarang gini, ya. Lo pada, berdua. Tahu, kan kejadiannya? Gue sudah cerita sama kalian. Siapa juga ada orang yang mau dituduh ngefitnah? Sudah gitu harus minta maaf pula. Emangnya dia siapa? Sepenting apa?" kataku yang lagi-lagi dengan nyaring dan emosi. Sehingga kedua temanku berusaha memepet badanku.
"Sabar, Fay. Pelanin suara lo, jangan teriak-teriak gitu. Gue tahu, lo sensi sama dia, tapi jangan bikin malu bisa, enggak!"
"Ya maap. Lagian kalian juga, sih. Ngapain jadi bahas dia coba?"