"Jadi tuh sepatu masih lo simpen di rumah lo?"
Aku mengangguk. Atin membuka topik pertama kali saat kami makan bubur Mang Ujang di kantin pada jam istirahat kedua.
Aku dan Niar memang baru sempat bertemu Atin, dan di sinilah kami baru menceritakan pengalaman berkesan kami yang akhirnya bisa memergoki anak-anak begajulan itu bolos dan kabur dari sekolah.
"Kenapa enggak lo serahin langsung aja ke wali kelas mereka, atau ke guru BP sekalian, lagian, pak Ismet juga lihat dan bisa jadi saksi yang kuat kan buat kalian? Tuh sepatu bisa jadi bukti yang kuat juga, tahu!" cerocos Atin.
"Ya gue sama Niar juga tahu itu, Tin. Tapi kita enggak bisa sembarangan gitu aja. Anak-anak bengal kayak mereka tuh pasti licik," kataku.
"Betul. Gue setuju sama si Fay. Kita harus bikin strategi, Tin. Ngelawan anak-anak licik kayak mereka benar-benar butuh taktik, kita harus pakai cara licik juga. Soalnya kalau enggak, salah-salah nanti bisa-bisa mereka lolos lagi," timpal Niar.
Aku mengangguk setuju dengan Niar. "Yup! Makanya, gue sama Niar lagi nyari ide, mikirin gimana caranya biar mereka benar-benar masuk perangkap kita. Lagian, gue belum tahu siapa aja nama-nama mereka, sebelum kita bikin strategi, kita harus tahu dulu nama mereka, baru kita bergerak."
"Emangnya, kenapa, sih? Kok kayaknya kalian curiga banget sama anak-anak kelas dua yang sekarang?"
"Yaelah, Tin. Dari awal mereka nyoba hampir bikin si Karmen trauma gitu, gimana kita enggak curiga coba?"
"Ya ... bisa aja, kan? Itu memang cuma kenakalan-kenakalan anak remaja pada umumnya."
"Enggak, enggak, enggak. Anak remaja harusnya nakalnya enggak kayak gini, Tin. Ini di sekolah kita. Apa yang mereka perbuat kayak terstruktur dan kayak ada dalangnya. Kita harus caritahu ini, gue yakin ada Gangster di sekolah kita," ucap Niar dengan penuh keyakinan.
Atin seakan terkekeh. "Serius, nih. Kalian bener-bener kepikiran sampai segitunya? Sampai bawa-bawa gangster segala." Tawa Atin makin terpingkal sampai hampir menangis, seakan ia tak peduli dengan ucapan kami. "Fay, Niar. Gue rasa kalian kebanyakan nonton meteor garden deh ini. Kita tuh masih SMP, enggak mungkin juga ada gangster-gansteran. Mana kepikiran bocil-bocil sama yang kayak gituan. Duh, sudah ah. Jangan bikin gue ketawa lagi sampai sakit perut sambil mikir kalau kalian sudah gila."
"Tin, terserah ya lo mau percaya sama gue dan Niar apa enggak. Kita berdua enggak maksa lo, tapi bisa kan lo hargai pendapat kita? Gue masih sependapat sama Niar, dan bagi gue, enggak ada yang enggak mungkin. Yang namanya berbuat jahat, anak umur sepuluh tahun juga bisa melakukan kejahatan kalau pada dasarnya memang punya otak kriminal. Apalagi mereka yang sudah SMP, sudah lewat masa puber dan memasuki tahap remaja yang lagi bikin mereka punya ego buat nyari jati diri mereka. Gue sama Niar juga bakalan caritahu kalau kelas tiga angkatan kita juga pasti sebagian terlibat sama anak-anak ini. Better lo tanyain juga abang lo soal info mereka."
"Iya, Tin. Kita bakal tunjukin ke lo, kalau yang kita lakukan ini benar dan sedikit banyak bisa mengubah pola pikir dan tindakan mereka. Seenggaknya, kita berdua bisa melakukan hal berguna yang punya satu dampak hebat daripada kinerja para osis itu. Ayo, Fay. Kita cabut."
Niar bangkit dari duduknya dan berlalu. Aku hanya tersenyum kecil pada Atin yang tampak melongo menatap kami berdua pergi tanpanya.
"Guys? Kok kalian marah, sih? Gue kan cuma ngasih pendapat."