Setelah insiden hampir terjengkangnya aku di kantin beberapa waktu lalu, aku dan Niar jadi dekat juga dengan Rangga.
Namun di tengah kedekatan mereka, Niar justru punya pemikiran lain. "Sudah, deh. Menurut gue justru si Rangga itu cowok yang tepat, Fay. Mending coba lo gali perasaan lo lebih dalam sama si Rangga. Orangnya juga enggak jelek-jelek amat lagi. Daripada lo kepikiran si Dayyan terus?" katanya seraya menyenggolku dengan senyuman menggoda.
Aku pun hanya bisa terkekeh. "Ih, apaan sih lo. Ya enggak gitu juga kali, Ni. Masa gue pacaran sama adik kelas. Gila kali,"
"Enggak apa lagi. Sama berondong. Lagian kenapa juga mikirin kata orang, adik kelas yang lo pacarin juga secakep Rangga, kan? Atau jangan-jangan lo masih kepikiran sama si Dayyan?"
"Eh? Jaga mulut lo, ya! Enggak ada gue mikirin si Dayyan. Ngapain!" kataku dan hal ini membuat Niar terbahak-bahak. "Jadi ini toh strategi lo kalau si Rangga nyamper kita buat ke kantin tapi lo pura-pura sakit perut kayak kemarin? Ternyata supaya gue jalan berdua aja sama dia? Nyebelin banget, sih!" Aku kemudian ikut tertawa dan memukul paha Niar yang meringis meski ia sendiri juga masih tertawa. "Tapi, ya, Ni. Waktu lo enggak ikut ke kantin kemarin, si Rangga bilang katanya walau pun dia bukan anggota mereka, tapi si Rangga tahu di mana basecamp mereka."
"Oh, ya? Serius lo?" Mata Niar membelalak bersemangat. Sementara aku mengangguk.
"Gue jadi punya ide, Ni. Buat melengkapi rencana kita di hari senin nanti."
"Apa ide lo, Fay?"
***
"Jadi ini tempatnya, Ngga?"
Rangga mengangguk. "Iya, Kak. Tapi, kayaknya aku cuma bisa antar Kakak sampai sini, aku takut kalau ketemu sama Gara."
"Lho? Kenapa? Terus yang nemenin gue siapa dong? Si Niar, sahabat gue kan tiba-tiba enggak bisa ikut. Ayolah, Ngga. Gue pikir lo ke sini mau nemenin gue sampai dalam," kataku.
Rangga kini menggeleng. "Enggak, ah, Kak. Takut. Kakak aja, ya? Dari sini, Kakak lurus aja, nanti di ujung kan buntu, ada pintu besar warna biru kayak gudang gitu. Nah, itu dia markas mereka. A-aku pulang ya, Kak."
Rangga menepuk bahuku sambil menunduk dan memeluk tas ranselnya sejak tadi masuk ke tempat mobil-mobil rongsokan ini. Ia lalu melengos pergi sementara aku beberapa kali memenggilnya untuk kembali dan menemaniku, tapi nyatanya ia justru berlari menjauh.
"Huh. Sialan! Enggak si Niar, enggak si Rangga. Sama aja! Emang sengaja bikin gue ke sini sendirian, payah!" gerutuku sambil melangkah dengan hati-hati menuju ke sebuah pintu besar di ujung sana, yang menurut kesaksian Rangga, itu adalah markas Proximus Rebellion.
Niar pun sama, padahal kemarin kita sudah fix janjian, tapi pas paginya aku sudah siap-siap karena siang akan berangkat ke sini, tahu-tahu ia menelpon lewat wartel, katanya tiba-tiba dia tak bisa ikut sebab orang tuanya akan pergi mengambil bahan di salah satu pasar terkenal si daerah jakarta selatan. Karena di rumah tak ada orang, jadi akhirnya dia harus jagain adik-adiknya, deh. Yasudah, mau bagaimana lagi.
Makanya, aku hanya pergi dengan Rangga ke tempat ini, itu pun aku tetap ditinggal sendirian, Rangga malah jiper duluan.
"Ketok Magic," gumamku saat membaca tulisan yang cukup besar terpampang di permukaan pintu besar yang Rangga sebut itu. Aku masih berusaha celingukan, ke kanan, kiri, ke belakang. Sebab aku harus waspada. Tak boleh sampai lengah sebab bisa dibilang, saat ini aku sama saja seperti sedang berada di tempat sarang para penyamun.
"Huff," embusku sejenak saat aku menjulurkan tangan untuk mendorong pintu besar itu sekuat tenaga. Kupikir itu dikunci dan akan sangat sulit, tapi ternyata tidak terlalu.
Pintu besi yang besar itu, meski agak berat, tapi bisa bergerak saat kudorong sekuat tenaga. Terdengar musik dari band Sheila on Seven berjudul Seberapa Pantas mengalun dengan volume sedang memenuhi tempat itu.