Hari senin! Waktunya kami upacara di pagi hari. Semua siswa dan siswi dari kelas tujuh sampai kelas sembilan sudah berkumpul di lapangan. Kutelusuri pandanganku ke arah barisan anak-anak kelas delapan-dua. Kulihat kembali wajah-wajah familiar yang sempat tak muncul beberapa hari di sekolah. Lalu tampak Karmen juga menoleh ke arah barisan kami dan sempat bertemu pandang denganku. Kami saling lempar senyum, Karmen kemudian memberikan tanda oke pada tangannya yang berarti memang benar anak-anak bermasalah itu hari ini masuk sekolah seperti biasa seakan tak ada yang terjadi pada minggu lalu.
Saat sedang fokus aku bertatapan dengan Karmen dan memberikan senyum kepedulianku padanya, tak sengaja tatapanku justru bertemu dengan Dayyan yang sepertinya dia juga sedang memerhatikanku dari barisannya. Kulihat seringai tipisnya di sana, tetapi aku segera membuang muka, sebab aku merasakan hangat di dadaku dan denyut jantungku tiba-tiba terasa tak beraturan.
"Fay, gue perhatiin daritadi kayaknya si Dayyan lagi ngelihatin lo terus, deh," kata Niar yang cekikikan.
Aku menoleh sedikit untuk merespons Niar yang baris di belakangku sebab ia lebih tinggi. "Ih, berisik, Ni. Jangan ngobrol, nanti ketahuan lho. Lagian upacaranya bentar lagi mulai kok. Fokus, deh."
Seakan tak memedulikan sangkalanku, Niar tetap saja terkekeh karena menurutnya responsku lucu.
Akhirnya setelah mengikuti rangkaian upacara pada hari ini, sampai juga di penghujung kegiatannya. Kini waktunya pembina upcara menyampaikan salam penutup, sekaligus pengumuman yang akan membuat terkejut semuanya!
Eits! Tapi sebelum itu, kita tarik dulu waktunya ke satu jam yang lalu.
Aku dan Niar pagi itu duduk di ruang guru BP, ditemani Pak Ismet, guru piket hari ini sekaligus guru BP juga, kami saat itu sedang menunggu kedatangan wali kelas delapan-dua. Sementara di atas meja, sudah kuletakkan bukti sepatu asli milik Dayyan yang sudah kubungkus dengan plastik.
"Jadi, kenapa kalian baru laporkan sekarang, Fay, Niar? Kejadiannya kan sudah dua minggu yang lalu dan saya lihat di absen kelas mereka, seminggu setelahnya memang ada beberapa anak yang tidak masuk dengan status kehadiran alfa," kata Bu wali kelas yang segera membuka sidang singkat ini.
"Uhm, gini, Bu. Bukti memang sudah ada pada saya, tapi saya belum kenal siapa saja mereka. Jadi saya butuh waktu untuk mencaritahu banyak hal tentang mereka," jelasku.
Niar mengangguk. "Iya, benar, Bu. Nanti kalau misalnya tiba-tiba saya dan Fay langsung lapor cuma bermodalkan bukti sebelah sepatu ini saja dan ditanya, 'kalian kenal anak yang punya sepatu ini anak kelas berapa? namanya siapa?' terus kalau kita jawabnya enggak tahu, nanti kita yang kesalahan karena dianggap menuduh orang bolos dan cabut dari sekolah, padahal kami yang lihat sendiri kejadiannya sama Pak Ismet," sambung Niar lagi.
Guru piket dan guru BP ikut mengangguk dengan penjelasan kami yang memang masuk akal dan apa adanya.
Disusul dengan pendapat Pak Ismet setelah itu. "Bener itu, Ibu dan Bapak guru. Malahan saya sampai kejar mereka yang kabur itu, tapi ya enggak kekejar karena mereka larinya cepat, terus nebeng mobil bak lewat."
"Mereka sampai nebeng mobil bak yang lewat segala?" tanya guru BP.
Pak Ismet mengangguk. "Iya, Bu. Makanya saya enggak bisa nangkep mereka. Kalau menurut saya mah, tindakan mereka berdua sudah betul, mereka harus caritahu supaya Bapak dan Ibu bisa gampang kasih mereka pelajaran."
Aku dan Niar menatap Pak Ismet dengan senyum penuh syukur. Akhirnya, kami diselamatkan oleh keterangan Pak Ismet.
"Ini catatan yang sudah Fay kumpulkan dan disalin dengan rapi oleh saya. Di situ ada nama kelompok mereka dan siapa-siapa saja nama anggota serta korban dari mereka. Bapak dan Ibu bisa lihat dan baca dulu kalau mau tahu lebih banyak soal mereka. Yang jelas dari secara keseluruhan yang terdapat di catatan itu, yang lebih banyak adalah dari kelas delapan-dua."
"Benar., Pak, Bu. Makanya, saya dan Niar ingin wali kelas delapan-dua tahu masalah ini, agar hal-hal yang enggak diinginkan sama anak-anak murid lain yang datang ke sekolah cuma ingin belajar dan mendapatkan teman tak mengalami kejadian serupa dari teman-teman sekelasnya yang merasa lebih superior," sambungku.
Ternyata kami mendapatkan respons baik setelah itu. Wali kelas delapan-dua akhirnya mengangguk setuju. "Yasudah, kalau begitu. Saya terima data-data dan buktinya, kalian berdua boleh kembali ke kelas untuk nanti segera mengikuti upacara, ya? Saya akan meminta guru yang lain dan juga kepala sekolah untuk berkumpul mendiskusikan ini."
"Terima kasih, Bu, Pak. Kalau begitu kita berdua pamit," kata Niar.