"Eh, Ngga, tapi thanks ya kemarin ini sudah mau ngasih tahu gue lokasi markasnya Proximus," kataku. "Omong-omong, kenalin, ini sahabat gue juga namanya Atin." Aku mengenalkan Rangga pada Atin ketika kami di kantin.
"Hai, gue Atin." Mereka berjabat tangan.
"A-aku Rangga," jawabnya.
"Eh, kita ngomongnya pake gue-lo aja deh, biar santai, gimana?" usul Atin.
Rangga kemudian tersenyum dan hanya mengangguk.
"Lo sudah jajan belom? Mending kita makan bubur di Mang Ujang."
Aku dan teman-temanku, termasuk Rangga berniat menuju warung Mang Ujang, namun seseorang dengan jelas meneriakkan namaku dari ujung lorong kantin.
"Dayyan?" Atin berdiri di samping kananku.
"Ngapain lagi dia?" Niar di samping kiriku.
Dayyan semakin dekat menuju posisiku dan teman-temanku di kantin. "Fay, kayaknya dilihat dari mukanya, dia marah deh sama kita."
"Marah? Ngapain marah coba, orang dia jelas-jelas salah," kataku.
"Kak. Gue butuh ngobrol sama lo," kata Dayyan saat ia sudah sampai di hadapanku, Niar dan Atin. "Berdua," lanjutnya.
"Eh, mau ngapain lo? Mau cabul sama temen gue, ya? Ngaku lo!" kata Niar segera menjambret kerah seragam Dayyan dengan kuat.
Atin tak kalah hebohnya untuk melindungiku. "Tahu! Jangan harap ya kita bakal ngebolehin lo deket-deket sama si Fay!"
"K-kak. Please, jangan su'udzon dulu sama gue. Gue cuma mau ngomongin sesuatu yang penting aja sama Kak Fay. Enggak ada niatan buat yang aneh-aneh. Suwer." Kini mataku dan Dayyan bertemu. "Please," bisiknya padaku dengan suara yang lirih hampir tak terdengar.
Entah mengapa, aku jadi merasa iba melihatnya yang masih ngos-ngosan justru malah diancam dan dicengkeram oleh Niar. Jadi aku mengangguk disela-sela tarikan dan embusan napasku.
"Oke, kita bisa ngobrol berdua, di depan teras perpus."
"Thanks, Kak."