Selama tujuh tahun, aku berjuang membiayai sekolah Fawza, walau kami masih dapat dana pensiunan dari kantor Abi kami, tetapi tentu saja itu belum cukup, untuk menutupi beberapa kebutuhan, aku harus mencarinya dengan cara lain.
Aku pernah berkuliah, namun sayangnya tak bisa kulanjutkan sebab saat aku akan wisuda, aku membutuhkan banyak biaya, kebetulan uangnya belum terkumpul dan hal ini juga dibarengi dengan Fawza yang juga baru lulus SMA saat itu, dia sendiri ingin berkuliah. Akhirnya aku mengalah, uang yang harusnya untuk wisudaku, kuhibahkan untuk biaya Fawza masuk kuliah. Untuk mencari tambahan uang, aku sempat belajar bagaimana caranya membuat artikel di sebuah website berbasis SEO. Dari beberapa artikel yang kukirimkan, ternyata bisa menghasilkan pundi-pundi untuk menyambung hidupku dan juga Fawza.
Kini, Fawza sendiri sudah lulus kuliah, Alhamdulillah. Ia mendapatkan kesempatan bekerja di sebuah perusahaan finance luar negeri, saat ia memasuki sepuluh kerja, ia mendapatkan promosi ke Bahrain karena kinerjanya yang memuaskan di perusahaan tersebut.
"Alhamdulillah, ya, Za kalau gitu. Dari dulu tteh selalu mendoakan yang terbaik untuk kamu," kataku barusan menerima telepon dari Fawza yang mengabarkan mutasinya ke Bahrain.
"Iya, Teh. Alhamdulillah. Makasih ya, Teh, berkat Teteh dan doa Teteh, Aa bisa jadi kayak sekarang."
Aku merasa terharu mendengar ucapan itu keluar dari mulut Fawza yang memang sejak dulu ia adalah tipikal anak yang pendiam dan tak banyak omong. Jadi, saat dia bicara seperti ini rasanya hatiku sebesar gunung dan melampauinya.
"Iya, A. Berkat Aa juga sudah rajin belajar selama kuliah. Makasih ya sudah amanah dan lulus sampai akhir, Umi sama Abi pasti bangga kalau lihat Aa, sekarang," ujarku. "Oh, iya. Omong-omong, Aa berangkat ke Bahrain hari apa?"
"Aa berangkat minggu depan, Teh. Hari rabunya. Teteh sendiri gimana sekarang?"
"Yah, kayak biasa. Masih suka riset-riset dan ngumpulin bacaan buat ditulis ulang jadi artikel. Lumayan kalau dijual ke redaksi-redaksi."
"Oh ... tapi, Teteh kan dulu sekolah boga, kenapa Teteh enggak coba masak lagi?"
Aku terdiam saat Fawza berbicara mengenai skill masak profesionalku yang sudah lama tak kuasah dan tak kulakukan. Ada hal yang belum kuungkap pada kalian, dulu. Aku sebenarnya pernah bekerja di salah satu hotel di Jakarta, saat itu aku harus pulang belakangan sebab aku bertugas piket, dan aku tak tahu kalau Chef yang biasanya jadi atasanku masih di situ. Awalnya kami mengobrol saja sambil aku membenahi beberapa barang ke tempatnya.
Karena sudah waktunya pulang, aku pamit ke loker untuk mengganti bajuku, namun sayangnya ... baju ganti dan baju chef yang sebelumnya kupakai hilang saat aku mandi. Lalu dia, Chef itu datang ke loker wanita, dia hampir melakukan hal tak senonoh padaku, namun beruntung, Tuhan masih memberiku pertolongan, seorang anak magang datang kembali ke loker untuk mengambil barangnya yang tertinggal. Saat dia melihat keadaanku terhimpit, dia segera berlari menuju telepon operator di dapur untuk meminta bantuan keamanan, dan berkatnyalah aku berhasil lolos dari maut yang mampu menghancurkan masa depanku.
Sejak saat itu, traumaku seperti menjadi-jadi. Aku tak menceritakan hal semacam itu kepada Fawza. Ya, dia tak tahu sampai hari ini. Aku sengaja menutupi dan tak ingin ia mengetahuinya sebab aku takut hal itu justru akan membebaninya dan memengaruhi pendidikannya pada saat itu.
"Nanti mungkin Teteh pikirkan untuk berlatih ulang, A."