VAY

Zulfara Wirawan
Chapter #31

Memoar 19 Maret


Aku tak tahu sudah berapa lama berdiri di depan memorial hall dengan air mata berderai-derai menatapi sebuah guci berisi abu, dengan tulisan nama lelaki yang pernah sangat kucintai, Lee Hoon. Disemayamkan dalam Columbarium yang terletak di Seoul. Tak terasa, sudah empat tahun dia pergi meninggalkanku, sama seperti Abi dan Umiku. Mereka takkan pernah kembali.

"Baby ...." Suara beratnya membuatku tersadar, bahwa seharusnya aku tak boleh menangisi abu jenazah yang ada di hadapanku ini. "You can use this," katanya padaku sambil memberikan sehelai saputangan dari saku celananya.

Aku segera mengambilnya, dengan tawa kecil yang terasa canggung padanya. "I'm sorry, I'm still not used to it," ujarku padanya.

Dia segera merangkulku dan mengusap lenganku. "Hey ... it's okay. I know how you feel. It's really sad when we knew that we can never meet again with people who we love then." Ia mengecup rambutku.

"Thank you, Baby." Aku menyeka air dari hidungku dan kembali menatap mantan kekasihku yang paling berharga di dalam kotak kaca. "Oppa, ini Hyunmin. Aku ke sini lagi sama Youngpil buat memperingati hari kematian Oppa, tapi selain itu ... Hyunmin sebenarnya mau minta restu dari Oppa juga, kalau sebentar lagi Hyunmin dan Youngpil akan menikah. Oppa pasti sudah tahu alasannya kenapa akhirnya Hyunmin memutuskan buat menikah sama Youngpil." Aku terdiam dan menunduk sejenak, berat sekali rasanya untuk melanjutkan ini jika aku mengingat kembali masa-masa terberatku saat Oppa meninggal waktu aku sendiri masih dalam karantina Covid-19. Aku terisak lagi.

Aku kemudian mengangguk kecil. "Ya, Oppa. Karena Youngpil lah yang menolongku saat aku terpuruk dirundung duka setelah kepergian Oppa. Dia yang selalu menghiburku dan menjagaku. Youngpil selalu ada di sisiku, kehadirannya dan caranya memperlakukanku jadi mengingatkanku padamu. Hyunmin harap, Oppa juga ikut merasakan kebahagiaan yang kami rasakan di sini," kataku masih dengan suara cempreng bergetar dengan tangis yang banjir.

Sementara Youngpil selalu merangkulkan tangannya padaku. Dia benar-benar sabar menungguku menghabiskan segala duka yang masih kurasakan meski sudah empat tahun berlalu Lee Hoon meninggalkanku.

"Youngpil, kau mau ucapkan sesuatu padanya?" tanyaku.

Youngpil pun mengangguk. "Ya, tentu." Dia tersenyum dan mengecup keningku sekilas. Lalu ia menatap guci abunya Lee Hoon di dalam memorial hall. "Lee Hoon-ssi ... ah, aku sebenarnya bingung harus bilang apa. Karena ada dua sisi yang terjadi saat aku bertemu dengan Hyunnie kita. Aku saat itu merasa sangat bahagia bisa bertemu Hyunnie, namun di sisi lain Hyunnie sedang bersedih karena harus kehilanganmu, hal itu juga sempat membebaniku, bagaimana aku harus bersikap? Jika aku terlihat terlalu bahagia, nanti dia akan kecewa sebab aku seperti tak memikirkan perasaannya. Dan jika aku ikut bersedih, aku tak ingin kesedihanku akhirnya memengaruhi kondisi Hyunnie yang rapuh saat itu. Tapi syukurnya, kami perlahan bisa sama-sama bangkit dari hal itu dan aku harus berterima kasih padamu, karena berkat engkaulah, aku jadi bisa bertemu dengan gadis seberani dan setulus Hyunnie. Lee Hoon-ssi, aku harap kau juga tahu bahwa aku betul-betul mencintai gadis yang dulu juga mencintaimu ini, jika boleh, aku ingin kau mengizinkanku untuk membahagiakannya lebih dari sekarang, aku tak ingin melihatnya terpuruk lagi. Lee Hoon-ssi, Hyunnie sering bercerita tentangmu, aku yakin kau adalah orang yang sangat baik dan tulus, semoga kau juga mendapatkan kebahagiaan di sana."

Kujulurkan tanganku untuk memegang kaca yang menutupi guci abu milik Oppa. "Selamat tinggal, Oppa."

Lalu kutempelkan setangkai bunga putih di dekat memorial hallnya, selain bunga kutempelkan juga foto kami berdua yang pernah kami ambil saat berkencan di sebuah taman hiburan paling terkenal di Korea Selatan waktu itu. Kutolehkan kepalaku dan menatap Youngpil yang sejak tadi mendampingiku.

"Are you ready to leave?" tanyanya.

Aku mengangguk. "Yeah, let's go," kataku dengan suara yang hampir habis karena terlalu banyak menangis.

Setiap habis ziarah ke Columbarium Oppa, aku selalu tak bisa banyak bicara saat perjalanan kembali di mobil dan Youngpil sangat menghargai hal itu. Youngpil seolah paham kalau aku memang sedang butuh untuk merefleksikan sejenak pikiran, mood dan hatiku dari kenangan-kenangan manis maupun yang paling sedih ketika mengingat lagi sosok Lee Hoon.

"Okay, and make sure you handle all the things until I get there. Yeah, yeah. It's okay. Hey, Thank you," katanya.

Aku menoleh pada Youngpil yang tampak sibuk di telepon. Dan kualihkan tatapanku pada tangannya yang sedang memegang perseneling. Tanpa pikir panjang, aku segera menyelinapkan tangan dan jari jemariku dan menggenggam tangannya. Tentu itu membuat dia tersenyum dan mengalihkan tatapannya padaku.

"Do you hungry?" tanyanya. Lagi-lagi aku mengangguk saja. "Okay, let's find a place who can fulfill our stomach," katanya sambil berbicara dengan logat yang sengaja dia buat unik untuk membuatku tertawa kecil.

Lihat selengkapnya