"Chef, dipanggil sama Chef Kang di ruangannya," ujar Helper-ku. Padahal saat itu aku sedang berkonsentrasi membelah udang untuk mencoba memasak resep baru dengan hidangan laut.
Chef Kang adalah Main Chef yang bertanggung jawab sebagai atasanku di hotel ini. Aku segera mencuci tanganku dan berlalu menuju ke ruangannya.
"Annyeonghasimnika~" ucapku padanya.
"Annyeong, Hyunmin-ssi. Yeogi, anjahsseo," jawabnya sambil menunjuk kursi di hadapannya untuk menyuruhku duduk.
Aku mengangguk dan melangkahkan kakiku untuk duduk di kursi tersebut. Sambil menatapnya dengan canggung, aku mulai bertanya, "Museun iriseyo, Kang-sonsaengnim?" Mengapa dia memanggilku ke sini?
"Hyunmin-ssi, aku tahu kau sedang berada dalam keadaan duka yang cukup membuatmu bersedih, " katanya. Sementara aku hanya menundukkan kepala, mendengarkan saja apa yang akan diucapkannya. "Aku sangat paham sekali, tetapi aku tak bisa membiarkanmu bekerja dalam kondisi seperti itu. Sebagai Chef profesional, jika kau tak bisa membuat dirimu fokus ke dapur dan lebih memilih memikirkan hal lain, lebih baik kau pulang. Untuk menyajikan makanan dengan kualitas yang baik dan rasa yang enak, kita harus memiliki hati dan mood yang baik, agar makanan yang kita buat untuk orang banyak juga bisa membuat mereka bahagia saat memakannya. Kau harus membuang semua urusan pribadimu di rumah dan tidak bisa kau bawa ke dapur apalagi sampai meratapinya," ujar Chef Kang.
Kata-katanya jadi membuatku sadar dan akhirnya aku merenungi kesalahanku. Ya, semua ucapan Chef Kang memang betul. Aku seharusnya tidak boleh seperti ini dan lebih bersikap profesional.
"Aku minta maaf jika ucapanku barusan menyinggungmu dan terkesan tak memiliki rasa empati, tetapi semua itu kulakukan agar kau bisa membuka matamu bahwa yang kau lakukan kurang baik. Jadi, untuk keamanan dan keselamatan bersama, aku sebagai atasanmu, terpaksa harus memberikanmu cuti selama sebulan, tetapi jika kau sudah merasa lebih baik dalam waktu beberapa minggu, kau boleh kembali lagi ke sini dan bekerja seperti biasanya, Hyunmin-ssi. Dan sebagai tambahan lagi, aku punya sesuatu untukmu agar kau menerima cuti dariku ini dengan lapang. Tunggu sebentar," katanya lalu dia mengangkat teleponnya. Dan berbicara pada seorang operator. "Ya, tamunya sudah boleh masuk," ucapnya.
Aku mengernyit sambil berpikir, tamu? Dia memberikan aku pelanggan? Apakah aku harus memasak sesuatu?
"Hyunmin-ssi, aku meminta seseorang datang ke Korea Selatan agar dia bisa mengajakmu pergi jalan-jalan saat cuti." Dia kemudian menyodorkan empat buah tiket. Dua tiket pesawat dan dua tiket booking hotel kami di cabang pulau Jeju. Kudengar pintu ruangan Chef Kang diketuk. "Ya, silakan masuk," jawabnya. "Kau sangat mengenal orang ini, kuharap kau mau menerima cutimu. Aku akan tinggalkan kau berdua untuk mengobrol dengannya, ya?" Chef kemudian beranjak dari kursinya.
"Halo, selamat siang," kata tamu yang datang.
Aku sangat tak asing dengan suaranya dan segera menoleh ke belakang. "Eve??" kataku terkejut dengan mata membelalak.
"Hello, Fay! Long time no see," katanya kemudian segera menghampiri. Aku pun berdiri dari kursi dan menyambut pelukan Eve. "Hey, gue sudah dengar semuanya dari Chef Kang. I'm so sorry for your loss," ucapnya sambil mengusap punggungku.
Kini air mataku berjatuhan lagi, ada rasa haru bercampur senang akhirnya aku bisa bertemu dengan Eve selama dua tahun setengah aku menghabiskan waktuku bekerja di Korea Selatan semenjak jabatan Chef-ku dipromosikan.
"Kok bisa lo ada di sini, Eve?" tanyaku.
Oh ya, Chef Kang sudah pergi keluar dari ruangannya. Kini hanya tinggal aku dan Eve saja di dalam sini.
"Mereka itu khawatir sama keadaan lo, Fay. Jadi menurut Chef Kang, dia bersama teman-teman yang satu timnya, mulai membaca lagi data-data yang lo punya saat melamar ke sini. Dan mereka menghubungi cabang hotel di Sydney lalu berhasil berbicara dengan Ryan. Dari Ryanlah akhirnya mereka mendapatkan kontak gue dan minta gue ke sini untuk menghibur lo," jelas Eve. "Lagian lo juga, kenapa sih kalau lagi kayak gini masih kerja aja? Sampai ngelamun segala. Mana disuruh cuti nolak terus."
Aku kembali menghela meski senyum kecilku tampak di bibirku. "Sepertinya mereka sudah bicara terlalu banyak ke lo, deh." Kami kemudian terkekeh. "Eh, Eve. Ini serius kita berdua bakal liburan di Jeju?"
Aku mengambil empat tiket itu dan menunjukkannya pada Eve. "Ya mana gue tahu, Fay. Mereka cuma minta gue ke sini buat nemenin lo selama lo cuti. Mereka paham banget mungkin lo takut cuti kalau harus seharian di rumah enggak ngapa-ngapain. Jadinya Chef Kang turun tangan. Tapi enggak apa-apa, sih. Gue juga belom pernah ke Jeju." Eve kemudian mengambil dua buah tiket dari tanganku sambil cekikikan.
"Dasar! Emang paling seneng lo ya kalau dapat liburan gratis!"
***
Karena jasa Chef Kanglah, aku bersama Eve akhirnya pergi ke pulau Jeju untuk cuti, sekaligus obat sebagai peilpur laraku semenjak Lee Hoon Oppa meninggal dunia dua minggu yang lalu.
Betul, sudah dua minggu Oppa meninggalkan kita. Itu berarti aku sudah seminggu menikmati waktu-waktu cuti terbaikku di pulau Jeju.
"Eve, gue ke toilet dulu ya, mau pipis, nih," kataku pada Eve yang sedang asyik rebahan di lounger seraya meminum jus vegenya.
Kami berdua saat ini memang sedang berjemur. Eve kemudian menurunkan kaca mata hitamnya. "Eh, ikut dong, kayaknya gue juga mau pipis, sekalian mau pesan camilan lagi," katanya buru-buru meletakkan gelas jusnya di meja dan kakinya turun ke pasir untuk pakai sandal.
"Lah, percuma banget lo minum jus vege kalau masih mau nyemil!" ledekku sambil terkekeh.
"Akh!" jawabnya hanya melambai tangan dengan cepat seakan dia memberi isyarat 'Gue enggak peduli.' Memang agak aneh temanku yang satu ini.
"Ryan, baby! I'm going to toilet, do you wanna order something while we passed by?" teriaknya pada Ryan yang asyik main bola voli bersama orang lokal yang sudah kami kenal selama seminggu di sini. Dasar orang bule, gampang 'chill' sama siapa saja.
"No! I'm okay, Honey!" jawabnya sambil memukul bola.
"Yasudah, yuk, Fay!" Eve segera menggandeng tanganku usai menggerutu 'Yasudah' tadi.
Tetapi baru kami melangkah beberapa meter, Ryan memanggil kami lagi.
"Babe, wait!!" Dia berlari ke arah kami yang menoleh dan menunggunya.
"What? Is there something you forgot?" tanya Eve.
Ryan menggeleng dan tersenyum. "No, I'm fine, Baby. But, yeah, there is something I didn't tell you yet. My friend, he is from Sydney but lately he works in Seoul and will be here to come by," ujarnya.
"Who? Do I know him?"
"I'm not sure, I think I have introduced him to you or vice versa? I don't remember," kata Ryan nyengir setelah itu. "His name is Lee Young Pil. He is a korean, a singer-songwriter, an ambassador of a huge fashion brand, a producer too and he had so many branch of patisseries shop in Australia, South Korea and other place overseas, I want to Fay to meet him and know each other," sambung Ryan lagi kemudian tatapannya beralih padaku.
Aku agak melotot sambil menunjuk diriku. "Me? Oh, Ryan, I'm fine."
"Enggak apa lagi, Fay. He's ballin' tho," ledek Eve sambil menyikutku dan bergantian melirik ke Ryan juga aku. Kedua alisnya naik-turun ke atas dan bawah.
Aku hanya mesem terpaksa menatap Eve. "Uhm, okay! Stop talking about me, because I want to pee!" Aku melengos meloloskan tanganku dari rangkulan Eve, mendahuluinya berlalu ke dalam hotel kami yang terletak di pinggir pantai itu.
"Eh, tungguin gue!"
Sementara aku hanya menoleh cekikikan, Eve berpamit mencium Ryan sebelum dia menyusul.