Beberapa hari setelah pertemuannya dengan Taoka, Sora mulai terbiasa dengan rutinitas baru di Salon Aoba. Dan secara ajaib, Sora bisa mahir mengerjakan semua pekerjaan Izumi. Seperti tubuhnya memiliki memori sendiri bagaimana hal itu harus dilakukan.
Hari-harinya dihabiskan dengan mengawasi para staf bekerja, memeriksa laporan keuangan, serta memasukkan transaksi palsu untuk mencuci uang yang dibawa Taoka malam itu. Meskipun dia mulai memahami ritme pekerjaannya sebagai Izumi, ada sesuatu yang terus mengganggunya—pertemuannya dengan Taoka masih terngiang di kepalanya.
Sora menghela napas panjang, membiarkan matanya menelusuri angka-angka di layar laptop. Namun, pikirannya terus melayang ke kejadian beberapa hari lalu. Bagaimana tatapan Taoka seakan menembus dirinya. Bagaimana suara pria itu, dingin dan mengintimidasi, membuatnya merasa seperti sedang diuji.
Saat dia mulai kembali fokus pada pekerjaannya, suara langkah kaki terdengar mendekat. Sayu masuk dengan ekspresi yang sulit diartikan—campuran gusar dan kebingungan.
“Izumi, ada pelanggan baru di luar.”
Sora menutup laptopnya, mengangkat alis. “Lalu?”
“Dia bersikeras ingin ditangani langsung olehmu. Katanya dia hanya mau ditangani olehmu, tidak mau yang lain.”
Sora sedikit mengernyit. Ini bukan pertama kalinya pelanggan meminta layanan khusus, mengingat status Izumi yang cukup populer di kalangan pelanggan tetap. Namun, tetap saja, ini terasa aneh.
“Siapa dia?” tanyanya sambil berdiri.
Sayu mengangkat bahu. “Aku juga tidak tahu. Aku belum pernah lihat dia sebelumnya.”
Sora mengangguk sebelum berjalan keluar dari ruangannya. Dia melangkah melewati lorong salon, matanya mulai mencari sosok yang dimaksud. Di salah satu kursi tempat pelanggan duduk untuk menata rambut, ada seorang gadis berambut panjang yang duduk membelakangi cermin.
Namun, semakin dekat Sora melangkah, sesuatu dalam dirinya mulai terasa aneh.
Jantungnya berdebar tak wajar. Tangannya sedikit gemetar.
Ada perasaan tak nyaman yang merayap naik ke tengkuknya, seolah tubuhnya tahu sesuatu yang pikirannya belum tangkap sepenuhnya.
Dan saat gadis itu berbalik…
Dunia terasa berhenti berputar.
Mata Sora membelalak.
Napasnya tercekat.
Gadis itu—tubuh itu—adalah dirinya sendiri.
Tubuhnya.
Tubuh aslinya!
Pikiran Sora terasa kacau dalam sekejap. Selama ini dia hanya bisa melihat tubuh aslinya dari balik tirai rumah sakit, berbaring tak sadarkan diri. Tapi sekarang? Tubuhnya ada di sini, duduk di depannya, dengan mata yang hidup dan menyala.
Darah Sora terasa berdesir deras di dalam nadinya.
Izumi. Itu pasti Izumi yang sedang berada di tubuhnya sekarang.
Namun, ada yang lebih mengganggunya.
Izumi—di dalam tubuhnya—tampak sangat tenang. Seolah ini bukan hal yang aneh. Seolah ini bukan sesuatu yang mengejutkan.
Seolah dia sudah merencanakan ini.
Sora berdiri terpaku. Mulutnya sedikit terbuka, ingin bicara, tapi tak satu pun kata berhasil keluar.
Sayu, yang berdiri di belakangnya, tampak tak menyadari ada yang aneh.
“Jadi?” suara Sayu memecah kebisuan. “Kau mau menangani pelanggan ini atau tidak?”
Sora masih diam.
Namun, Izumi—di tubuhnya—malah tersenyum kecil. Senyum yang terasa berbeda dari ekspresi yang biasanya Sora buat.
“Ya, aku ingin ditangani langsung oleh Izumi.” ujar Izumi dengan nada santai, matanya menatap lurus ke arah Sora.
Ada sesuatu dalam sorot mata itu yang membuat jantung Sora semakin berdetak tak terkendali.
Ini bukan sekadar kebetulan.
Izumi datang ke sini dengan tujuan.
Dan Sora harus mencari tahu apa itu.
🌸🌸🌸
Sora menata rambut Izumi dengan tangan yang sedikit gemetar, menyembunyikan kegugupannya di balik ekspresi datar. Matanya sesekali mencuri pandang ke pantulan cermin, mengamati tubuh aslinya yang kini dihuni oleh Izumi. Perasaan berkecamuk di dalam dirinya—antara keterkejutan, kelegaan, dan kebingungan.
“Jadi... ada acara apa?” Sora mencoba membuka percakapan dengan nada yang dibuat santai.
Izumi, di tubuhnya, menatapnya sekilas melalui pantulan cermin. “Makan malam,” jawabnya singkat.
Sora menunggu kelanjutan kalimat itu, tetapi tidak ada. Seolah Izumi sengaja tidak memberi tahu lebih banyak.
Namun, tiba-tiba Izumi berbisik pelan, nyaris tak terdengar. “Bersikaplah normal.”
Sora menegang. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang terasa serius. Seolah ada sesuatu yang lebih besar di balik pertemuan ini.
Sora melanjutkan pekerjaannya dengan kepala penuh tanda tanya. Tangannya bergerak otomatis menyisir rambut Izumi, menyemprotkan hairspray, menata helai demi helai dengan ketelitian yang hampir mekanis. Namun, pikirannya berputar cepat.
Kenapa Izumi tiba-tiba datang ke salon ini? Kenapa ia tak langsung bicara saja? Apakah ada orang yang mengawasinya?
Saat pikirannya masih mencari jawaban, semuanya terjadi begitu cepat.
Izumi tiba-tiba bergerak. Gerakan yang sangat cepat—begitu cepat hingga Sora tidak sempat bereaksi.
Hairspray yang sedang ia pegang tertekan terlalu lama, dan semprotan cairan itu mengenai wajah Izumi secara langsung.
“Sial!” Izumi memekik, berdiri dari kursinya dengan kasar. “Kau buta, hah?!”
Sora tersentak.
Salon langsung menjadi hening.
Semua mata tertuju pada mereka. Beberapa staf berhenti bekerja, pelanggan lain mulai memperhatikan dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu.
“Aku bayar mahal untuk ini, dan kau malah menyemprot wajahku?!” Izumi membentak, suaranya terdengar penuh kemarahan.
Sora membuka mulut, ingin meminta maaf, tetapi sebelum ia sempat bicara, Izumi sudah menggebrak meja di depannya.
“Aku bisa menuntutmu, kau tahu?! Kau pikir aku tidak bisa membuat salon ini bangkrut dalam sehari?!”