Lampu-lampu jalan kian redup di akhir Desember 1997. Remangnya menyusup meredupkan damai di hati. Suara bising selalu memenuhi ruang tamu menelusup setiap sudut ruangan rumah hingga kamar. Pendapat yang tak pernah lagi bisa membaur membuat suasana semakin hiruk. Perdebatan hebat berkutat tentang masalah ekonomi karena PHK mengendalikan arah hidup kami. Bulan lalu, semuanya masih bisa terkendali tapi setelah ayah diberhentikan dari pekerjaannya keheningan yang damai, menjadi keheningan bak perang dingin. Ayah sibuk memikirkan gaji dan pesangonnya yang tidak dibayar. Sementara krisis moneter tengah melanda menganga hampir menelan keluargaku. Melihat ayah yang tak kunjung dapat pekerjaan dan masih berharap konyol gaji terakhirnya akan bisa memberi kami makan, ada sosok wanita yang bernama ibu menjadi sangat realistis, kerja serabutan demi mencukupi kebutuhan kami.
Malam itu, hujan deras mengguyur daerah Jakarta, sesekali berkas kilat menangkap atensiku dan gemuruh menambah kekhawatiran. Ibu dan ayah belum pulang padahal jam dinding yang berlebel nama toko menunjukkan pukul 8 malam. Aku dan kedua adikku meringkuk di ruang tamu yang menyatu dengan dapur. Rumah seadanya yang sudah kami tempati lebih dari 12 tahun dari cerita ibu. Sebelum pergi, Ayah berpesan mengunci pintu dan tidak membuka kalau ada orang dengan suara asing yang mengetuk.
“Tok tok tok..” terdengar suara ketokan dari luar.
Sebentar lalu menghilang. Karena tak ada suara yang memanggil kami tidak membuka pintu.
Tak lama kemudian terdengar suara ibu yang memanggil dari luar, dengan sigap tanganku membuka handle pintu. Sesaat setelah pintu terbuka kami bertiga terkejut melihat sosok pria yang wajahnya sudah lebam terluka mirip seperti ayah. Ternyata memang benar itu adalah ayah.
“Ambil handuk dan air segera! ”perintah ibu.
Aku mengangguk.
Kedua adikku hanya terdiam. Raut wajahnya terlihat ketakutan dengan tangisan kecil ketika air matanya mulai berurai. Ibuku juga diam-diam menyeka air matanya yang sekali tertangkap basah olehku. Aku mencoba kuat tapi air mataku tak tertahan keluar begitu saja.
“Siapa yang melakukannya, Bu?” tanyaku pelan.
Ibu menggeleng. ”Ibu juga gak tau, Nak! Sepertinya ayahmu sudah di luar batas!” ibu mencoba menguatkan kami.
“Lalu mengapa mereka tega melakukannya?” tanyaku heran. ”Dan kenapa kita tidak lapor saja ke polisi, Bu?"
“Kamu akan mengerti nanti!” balas ibu sembari seperti termenung. “Polisi sedang sibuk melakukan banyak hal lain! Dan diam adalah pilihan terbaik.”
Diam dan pura-pura tidak terjadi apa-apa adalah pilihan dan cara terbaik untuk bertahan hidup. Ditambah lagi kemiskinan ini seakan menciutkan nyali yang merendahkan diri dalam perasaan dan pandanganku. Ayah yang hanya bisa kami rawat di rumah, berbekal obat rumahan dan alat P3K menemani pengobatan ayah. Doa kami semoga ayah cepat sembuh.
Dua minggu setelah kejadian itu, ayah semakin membaik ditandai dengan langkahnya yang kini bisa menapak ke kamar mandi tanpa bantuan lagi, kondisinya belum pulih benar tapi semangatnya memulihkannya. Di sisi lain, ibu selalu menasehati ayah agar tetap bertahan karena anak-anaknya masih butuh sosok ayah dan untuk memenuhi kebutuhan hidup kami. Kejadian-kejadian yang tak terduga yang terjadi di dalam keluarga kami, meyakinkanku untuk berhenti sekolah. Sangat sedih rasanya aku harus meninggalkan sekolah yang selalu aku inginkan untuk pergi, tapi keadaanlah yang membuatku mengambil keputusan itu. Sebenarnya, ibu tidak ingin aku berhenti sekolah, tapi ini keinginanku sendiri agar bisa membantu ibu berkeja memasak dan cuci piring di sekolah swasta yang tidak jauh dari rumah.
Setiap pagi, ibu dan aku sudah harus tiba di sekolah untuk memasak, agar makanan siap dihidangkan sebelum makan siang tepatnya jam 12 siang. Sekolah Dasar (SD) swasta elit, bertingkat dengan lapangan luas, perpustakaan, kamar mandi bersih dan kantin sekolah. Anak-anak dengan pakaian rapi bersih, sepatu dari berbagai merek dan tas-tas bagus, lalu diantar jemput oleh orangtuanya menggunakan mobil dan beberapa menggunakan motor. Ketika memerhatikan mereka hatiku sedikit iba dan pilu. Aku pikir keadaan susah yang sedang dialami orang-orang ternyata tidak mempengaruhi beberapa orang, dan toh kehidupan mereka sepertinya biasa saja. Sementara keluargaku terasa seperti hanya tersisa napas.
“Hanna?” panggil ibu. Menyadarkanku dari pertentangan diriku dan keadaan saat itu.
Ibu memberikan isyarat agar mengikuti langkahnya.
Seketika aku ikut menjejali bekas kaki ibu di tanah yang masih lembab sisa hujan semalam.
Setelah melalui hari yang panjang, aku kembali ke rumah bersama ibu dari tempat pembuangan sampah. Tanpa sengaja aku melihat sepucuk surat tergeletak di atas meja lusuh berwarna cokelat. Saat bersamaan ibu memintaku untuk memberikan surat itu padanya.
“ Nak, bisa ambilkan surat di atas meja?”
“Iya, Bu” sahutku sembari mengambil surat itu. Melangkah memberikannya pada ibu.