VENTO GEHEIM

Oky Rizkiana S
Chapter #2

Pencarian dalam Waktu

Lamongan, Juli 1998. Dampak krisis ekonomi di Indonesia telah merambah ke daerah pedesaan termasuk daerahku. Beberapa saat menikmati makan tiga kali sehari tanpa rasa cemas, kini harus diperhadapkan lagi dengan keresahan setiap menikmati makanan. Naiknya harga BBM diiringi naiknya harga bahan pokok membuat penduduk semakin resah. Nenek juga semakin bingung terlebih saat belanja ke pasar denganku menggerutu mendapati harga bahan pokok terus mengalami kenaikan. Tidak tahu siapa yang salah tapi semua kejadian ini turut memedihkan hati. Angin membawa serta merta krisis dari Jakarta ke tempat kami.

Beberapa kali dalam minggu ini, preman datang mencari nenek untuk menagih hutang. Ancaman demi ancaman dilayangkan kepada kami. Sebelumnya sawah dan ladang sudah dijadikan jaminan. Yang tidak sengaja kudengar ketika nenek berbicara kepada ibu. Cara yang dilakukan untuk menutupi hutang dengan menjual padi dan beras, namun tetap tidak cukup menutupinya. Sebenarnya bukan hanya keluarga kami yang sedang terjebak hutang, namun hampir semua penduduk desa meminjam uang dan menggadaikan tanah serta rumah mereka. Meski dalam kondisi seperti ini, aku melihat sosok nenekku yang murah hati dan suka menolong ketika sesekali tetangga datang meminjam beras tapi karena rasa iba nenek akhirnya memberi kepada mereka.

Pada awal agustus 1998, kakek tiba-tiba jatuh pingsan. Bidan berkata kakek sakit karena kelelahan. Kami menyadari akhir-akhir ini kakek bekerja ekstra demi membayar hutang. Aku sangat menyesal karena kehadiran kami membuat kehidupan kakek-nenek menjadi susah, yang harusnya menikmati masa tuanya namun harus kembali bekerja keras menghidupi kami. Hal yang sama juga dirasakan ibu dengan meminta maaf berulang kali kepada nenek.

“Bu, aku minta maaf. Kami seharusnya ndak merepotkanmu!”

“Kamu ngomong apa toh? Kamu kan anak dan menantunya ibu!” tegas nenek. “Kemarin suamimu ndak ada kasih uang ke kamu?" tambah nenek.

Ibu mengangguk, “ Ada bu, ongkos kami ke sini!” sahut ibu.

“Oalah Diro, kamu piye toh, Nak! Anak istrimu iki lo!” ucap Nenek. “Ibu kemarin gadaikan sawah dan rumah, kirim uang buat kalian.”

Ibu hanya menggeleng-geleng, menghela napas sambil memeluk nenek. Kakek yang terbaring di tempat tidur hanya bisa mendengar.

Kami harus menelan pil pahit atas kematian kakek satu minggu kemudian yang ternyata sangat menyisahkan kepedihan mendalam bagi nenek dan belum bisa menerima kepergian kakek. Nenek sering menghayal menggerutu dan ingin cepat menyusul kakek. Aku tidak tahu harus bagaimana, yang kulakukan hanyalah duduk, memandang lalu menggenggam tangannya, berharap kehadiranku bisa menghibur nenek. 

Satu minggu setelah kepergian kakek, lagi-lagi kami kembali berduka atas kepergian nenek. Malam sebelum kepergian nenek.

“Pandanglah pohon yang besar di samping rumah, pohonnya tinggi-besar dan tegap. Angin menghempas hanya sedikit bergoyang tapi tidak menumbangkannya.” Tambahnya lagi, “Akan ada yang datang menjemput kalian. Pergilah!”

Lihat selengkapnya