Jakarta, Oktober 2017. Lampu-lampu jalan kian terang dari tahun sebelumnya. Menerangi kehidupan banyak orang termasuk sekitarku. Berharap cahaya itu bisa masuk menerangi diriku yang masih dalam redup tahun-tahun sebelumnya. Penuh tanya dalam mencari identitas diri, menyelami beberapa karakter dan melepaskannya saat terasa tidak tepat. Tapi satu hal yang terus membekas di hatiku memberikan sedikit yang kupunya, walau bukan uang atau benda material, namun tenaga dan pengetahuanku. Getaran ini muncul sejak tahun 2012, saat di mana aku mulai melamar berbagai volunteer atau kerelawanan dan seperti gayung bersambung hingga saat ini. Aku aktif menjadi relawan di bidang pendidikan dan kesehatan, selama mengajar aku mendapati diriku menikmati interaksi dengan anak-anak, menyelami pikiran dan keingintahuan mereka.
Minggu ini, aku mengikuti kegiatan relawan mengajar anak-anak korban bencana longsor di daerah bukit dengan sedikit penduduk. Curah hujan yang yang tinggi membuat daerah ini rentan mengalami banjir dan longsor. Beratap tenda dan sebuah papan tulis lusuh menemani pelajaran kami. Wajah-wajah lesu berbicara tentang semangat mereka untuk mendapat ilmu, sekolah yang ambruk tidak menghentikan niat para anak-anak untuk belajar. Sebelum pelajaran dimulai, tim selalu mencoba menghibur dengan permainan, lagu bertema mimpi dan juga cerita inspirasi untuk membangkitkan semangat.
Hingga tak terasa sesi belajar hari ini selesai, dan akan dilanjut kembali besoknya. Saat hari semakin gelap, tempat pengungsian mulai terasa sepi, aktivitas yang mulai mereda dan hanya sedikit bincang-bincang malam, saat kulihat jam di tanganku menunjukkan pukul 9 malam. Di saat para pengungsi sudah menyelesaikan makan malamnya, di situlah kami mulai berkumpul untuk makan malam. Momen yang sangat di tunggu-tunggu oleh beberapa teman perempuanku, karena akan makan malam bersama dengan para tentara yang bertugas di daerah itu. Para teman relawan yang masih single melirik para tentara yang bertugas, sembari mencari tahu apakah masih ada kesempatan untuk mereka, dari penampilan para tentara ini masih terbilang muda. Walau terbilang mudah, tapi aku salut dengan semangat mereka dalam bekerja dan kepedulian membantu masyarakat yang terkena bencana, namun aku juga selalu penasaran. Apakah mereka melakukannya karena memang ingin dan dari rasa tulus. Atau karena diperintah atasan yang berpusat pada suatu tanggungjawab.
Temanku, Dini mulai melirik kesana kemari seperti mencari seseorang. Sejak pertama datang ke pengungsian, seorang tentara telah menarik perhatiannya dan selalu mencari-cari dalam setiap pandangannya. Perubahan reaksi bisa ku lihat dari wajah Dini dia tiba-tiba dia tersipu, menunduk dan melirik ke arah lain lalu mengatupkan bibirnya, dari sangat sibuk tiba-tiba diam. Setelah ku perhatikan pandangan Dini, ternyata seorang pria tengah berjalan, berhenti dan menuangkan sayur di piring kami, wajah Dini seketika memerah ketika tentara itu tersenyum ke arahnya, dan di sebelah dada kanan aku melihat betnama tertulis 'Hito'. Yang tersenyum juga ke arahku, aku menundukkan kepala sembari tersenyum kepadanya. Lalu kusenggol Dini dengan lenganku untuk mengejeknya.
Saat asyik menyantap makan malam, aku merasakan perutku berkontraksi dan mules, baru sadar sedari pagi aku belum buang air besar. Rasa kesal dan tak tahan lagi, aku buru-buru menitipkan makanannku ke Dini.
"Din, perut gue mules."
"Mau gue temani ngak?" tanya Dini
Menggeleng, buru-buru menuju toilet.