VENTO GEHEIM

Oky Rizkiana S
Chapter #8

Melawan Arus

Setelah sesi belajar usai sore ini, terlihat hanya aku yang tersisa di tenda belajar. Dini dan yang lainnya membantu para pengungsi untuk cek kesehatan harian. Aku membersihkan dan merapikan tenda belajar. Saat asyik merapikan meja-meja lipat yang digunakan anak-anak. Terdengar suara riuh dari luar tenda, aku mencoba mengabaikannya karena aku pikir hanya suara anak-anak tengah bermain. Namun seketika aku terpaku. Ketika memasukkan buku ke kardus perhatianku teralihkan mendengar suara teriakan jelas dari luar.

Seketika seseorang menarik tanganku dari belakang tenda. Sontak aku terbawa tarikannya dan kakiku melangkah cepat tanpa arah. Setelah beberapa langkah, aku sadar dia adalah Dini. Tapi tanpa sepatah kata, Dini tetap menarikku sekuat tenaganya dan aku mengikut saja, sambil menyelaraskan jarak kami, aku mulai membelalakkan mata ke arahnya.

Dini menelan ludah. Diam, dan napasnya masih terengah-engah. Sembari mengajakku terus berlari, aku mulai tersadar saat seseorang berpakaian aneh dari belakang mengejar kami. Tanpa melihat satu sama lain lagi, Dini dan aku berhamburan melangkahkan kaki secepat mungkin.

Terus berlari sekuat tenaga, sampai aku merasa tidak ada yang mengejarku. Menoleh ke belakang memastikan tidak ada yang mengikutiku lagi. Aku melihat sekelilingku, banyak rumput liar, pohon-pohon dan semak belukar, menyadari aku sudah memasuki daerah hutan. Aku celingukan mencari seseorang yang bersamaku sedari tadi, tapi tak bisa kutemukan Dini di sekitarku, jantungku masih berdetak kencang, napasku masih terengah-engah. Aku masih sangat bingung tidak tahu apa yang sedang terjadi. Namun akhirnya memutuskan untuk melangkah menelusuri daerah itu tanpa arah, sejak menyadari perpisahan dengan Dini dan berharap semoga dia baik-baik saja. 

Hari mulai gelap, mengingatkanku kejadian tadi sudah sore. Untuk memastikan waktu, aku mengarahkan pandanganku ke lengan kiri, namun jam tangan tak lagi melilit di pergelangan tanganku sesaat aku menyadarinya telah kehilangannya. Aku kebingungan mencari di sekitarku, aku berbalik menelusuri jalan-jalanku sebelumnya. Namun hari semakin gelap, suara hewan malam yang khas mulai terdengar, hingga aku akhirnya memutuskan untuk melangkah maju. Di saat ingin mengeluh, tiba-tiba aku mendengar suara dari arah selatan, suara itu semakin mendekat, aku hendak melanjutkan perjalananku dengan sigap bersembunyi di balik semak-semak. Takut telihat oleh mereka yang mulai mendekat, aku mencoba berjalan mundur untuk menjauh. 

"Kertak," suara ranting kayu kering patah terpijakku.

“Sial!” ucapku dalam hati.

Saat hendak melarikan diri dengan sigap dua orang berhasil mengejutkanku dari arah berlawanan dan berhasil mengunci pergerakanku. Dingin malam tak cukup menenangkanku, jantungku berdetak kencang terdengar oleh telingaku, tak karuan membuat tubuhku makin panas dan gemetar, pikiranku seperti melayang, walau otakku masih berusaha mencari cara untuk kabur dari situasi ini, keadaan terkepung membuat sulit berpikir, ditambah senjata tajam diarahkan kepadaku. Badanku terasa lemas dan kepala pusing karena belum makan sedari pagi. Tidak ingin menyerah begitu saja, aku melakukan perlawanan dengan gerakan yang masih bisa kulakukan, tak terima dengan pukulanku seseorang membalas berhasil membuat kakiku terjatuh, lalu mengayunkan senjatanya ke arahku. Aku merunduk hanya bisa terdiam dan berdoa walau begitu pasrah. Mengucapkan kata 'Selamat malam' untuk diri sendiri. Lalu kututup mataku perlahan.

Saat merunduk tanda tak berdaya, dan mempersiapkan diri untuk terluka. Seseorang menarik tangan kananku, aku yang tadinya merengkuh diri akhirnya berdiri. Kulihat penjahat yang satunya terjatuh dan yang lainnya bersiap-siap mengayunkan senjata tajamnya, yang tampak seperti celurit yang telah berhasil landas ke tubuh orang dan darahnya tertinggal di sana, saat kulihat dalam pantulan cahaya bulan. Seseorang yang menolongku menyuruhku untuk lari dan menyelamatkan diri. Sebenarnya aku tidak tega meninggalkannya sendiri, tapi aku akan semakin memberatkannya ketika berada di sana.

Aku berlari sekencang yang aku bisa walau tubuh terasa lemah. Aku mendengar teriakan dari tempat kejadian tadi, lalu air mataku yang sedari tadi kering, tiba tiba meluap. Sembari dalam hatiku aku berkata. "Ini bukanlah yang aku mau".

Aku mencoba untuk tegar kembali sambil kuusap air yang jatuh tiba-tiba dari mataku. Tidak ingin melangkah lagi, namun seseorang menggenggam tanganku dari belakang dan mencoba memapahku. Tidak ingin terlihat cengeng, kuseka air mata di pipiku agar dia tidak menyadari kalau aku sempat menangis. Kulihat matanya begitu sayu, aku mengisyaratkan supaya dia berjalan di depan, dan memimpin jalan.

Bayangannya menuntunku.

Daun-daun kering yang berjatuhan nampak kaku. Kuperhatikan lagi, bercak-bercak darah menempel pada dedaunan kering itu. Aku menoleh ke belakang, ternyata darah itu telah berjatuhan di sepanjang jalan yang kami lalui. Kuperiksa badanku tidak ada yang terluka parah, hanya goresan semak dan ranting pohon. Dugaanku benar, saat kulihat darah mengalir dari tangan pria yang berada di depanku dan menetes lewat jemarinya. Punggung sebelah kanannya berdarah meresap hingga ke seragamnya serta ada bekas bacokan. Dia masih berjalan di depanku, walau aku yakin dia sedang menahan kesakitan. Ku raih tangan kanannya.

“Aaw!” teriak pria itu. Matanya terpejam mulutnya terbuka seperti menahan sakit.

Lihat selengkapnya