Saat apa yang diinginkan tidak sesuai kenyataan, lalu harus bagaimaina? Jika ditanya seperti ini, aku akan menjawab lantang, “Untuk mengejar hasrat”. Namun kenyataan yang dihadapi jauh lebih sulit dari ucapan, seperti jembatan yang kita rencanakan untuk dilalui besok, siapa yang tahu esok jembatan masih utuh. Seperti mengoyak daging dan menanam mimpi-mimpi. Aku tidak ingin egoku menguasaiku dan melupakan kasihku, Yudhi telah menjadi keluarga sejak bergabung bersama dengan agensi. Saat ini, hanya aku dan Yudi yang masih tersisa.
Pesan yang kuterima dari Herton menuntunku sampai ke basecamp, aku masuk ke sebuah toko kelontong menuju suatu ruangan yang berada setelah tempat barang-barang dagangan disusun dekat pintu masuk. Lima meter berjalan ke dalam lewat lorong toko aku menemukan Herton sedang melihat ke arah layar komputer miliknya, jelas terlihat di bawah lampu. Ruangan yang tidak memiliki jendela ini membuat kami hanya mengandalkan cahaya lampu sepanjang hari. Walau tampak seperti ruangan biasa tapi tempat ini adalah tempat yang mendukung kerberhasilan misi kami, Herton menerima informasi dari para agen lalu mengolahnya, juga melacak pergerakan setiap agen.
“Gimana, Ton?” ucapku tepat di samping Herton.
“Eh, kamu Ning!” sahut Herton saat menyadari kehadiranku, “Oh iya, Yudhi kayaknya ngirim pesan sama gue lewat penyeranta,” ujar Herton.
“Trus?”
“Tapi sekarang gak aktif lagi, Ning. Aku udah coba ngubungin nomornya,” jelas Herton.
“Yah! Sayang banget,” ucapku kesal.
“Liat deh!” ucap herton memintaku melihat ke monitor laptopnya.
Aku melihat angka-angka yang tertera di layar komputer Herton. “Ini apa?” tanyaku heran.
“Pesan! Pesan penyerantanya, aku liat semalam ternyata dikirim dua hari sebelum Yudhi hilang,” balas Herton.
“Artinya apa?” tanyaku lagi.
Herton memperlihatkan kertas dengan kalkulasinya.
Aku melihat ke barisan terakhir yang tertulis kata 'Geheim'. Mataku melirik ke arah Herton.“Kayaknya dia pengen kasih tau sesuatu!” ucapku. Menghela napas.
Sejenak ruangan menjadi sangat sunyi saat kami berdua terpaku melihat ke arah selembar kertas yang berada di atas meja Herton
“Oh iya, Ning. Bukannya kamu baru jumpa Om Hendra?” suara Herton memecah hening ruangan itu.
Mengangguk. “Iya,” balasku. “Tapi sepertinya, Om Hendra juga gak tau yang sebenarnya.”
Herton mengarahkan pandangannya ke kertas yang bertuliskan angka-angka yang telah dikalkulasikannya.
“Dok tok, dok tok..” bunyi hentakan pensil dengan permukaan meja.
“Eh, perusahaan apa?” tanyaku.
“IKAPEL! Perusahaan farmasi” balas Herton singkat.
“Bukan! Penyewanya?” tanyaku lagi.
“Oh, O’Care,” sahut herton.
“Aku dapat info, katanya Herlan hilang! Tapi aku belum yakin si!” balasku.
“Hilang atau kabur?” sahut Herton.
“Entahlah!, lagian siapa yang berani menculiknya!” ucapku dengan nada kesal. “Tapi, Ton, direktur yang menyewanya meninggal!”.
Seketika sepasang mata mengarahkan pandanganya padaku dengan sebelah alisnya terangkat nampak penasaran.
Aku meraih bangku kosong di hadapan meja Herton, dan mulai mengetik username seseorang dan memasukkan pasword. Dan benar data itu menginzinkanku masuk akun aktivitas kerja Herlan. Dalam hati aku berkata, “Dia belum mengubah passwordnya”. Mengarahkan kursor ke menu aktivitas untuk melihat status dan keterangan misi herlan.
Dari monitor komputer terlihat rekam laporan aktivitas, dan info terakhir kasus itu adalah “Selesai”. Kuperhatikan dengan seksama misi terakhir Herlan, aku menemukan sebuah informasi, kalau misi Herlan juga mencari informasi perusahaan Farmasi. Hanya pikiranku yang mengaitkan info yang satu dengan yang lain, sembari jemariku bergerak bebas di udara dekat keyboard, menunjuk dari satu titik ke titik selanjutnya.
“Ton!” tambahku lagi. “Farmasi ni!”
“Ha? Iya?” tanya Herton. Melihat ke monitor komputer yang sedang ku operasikan. “Kayaknya, Ning. Herlan tahu sesuatu” tambah Herton.