VENTO GEHEIM

Oky Rizkiana S
Chapter #12

Cycle of Mind

Riuh suara dari luar dan bunyi hentakan benda-benda dari dapur membangunkanku dari tidur pulasku, ku arahkan pandanganku ke arah jam dinding sebelah kiri tempat tidur, menunjukkan pukul 05.45 pagi, dari dalam kamar aku bisa tahu di luar matahari belum bersinar terang, lewat celah jendela kamar. Hal ini mengingatkanku sewaktu masih sekolah dulu, saat ibu membangunkan kami dan mempercepat jam dinding, tapi kami masih terlelap saat tahu sebenarnya hari masih pagi karena sinar belum membus celah jendela kamar. Namun kali ini, aku memutuskan untuk bangun, membantu ibu yang sudah mulai repot di pagi hari. 

“Eh, kamu udah bangun?” tanya ibu dengan nada tingginya.

“Udah, Bu!” sahutku.

Kulihat ibu sudah mempersiapkan bahan bumbu untuk masakannya nanti. “Bentar lagi, ibu mau ke pasar nih, kamu di rumah aja ya!” pinta ibu.

“Aku ikut, bu!” paksaku.

“Oalah! Kamu di rumah aja nanti capek!” balas ibu

“Emm, gapapa kan aku juga suka ikut kalau ibu belanja” jawabku seperti memaksa.

“Yaudah, ibu udah siap tinggal pergi.”

“Aku juga, gini aja!” sahutku.

Berkas cahaya matahari mulai terlihat saat tiba di dermaga, para penjual ikan berjejer dan menawarkan ikan segar milik mereka. Ibu berjalan sambil memperhatikan ikan yang ingin dibeli, dan memutuskan untuk membeli cumi, lobster, kakap dan tongkol. Aku mengikuti langkah ibu, sambil antusias melihat ikan-ikan yang beraneka di dermaga.

Berhenti sejenak. Ibu memasukkan ke keranjang, ikan-ikan yang tadi kami beli. “Becak?” panggi ibu saat melihat tukang becak lewat.

Becak berhenti di depan kami.

“Kita beli daging dulu ya ke pasar” ujar ibu.

Aku hanya mengangguk mengiyakan permintaan ibu. Becak melaju.

“Pagi-pagi udah ramai aja ya, bu!” ucapku.

“Iya, ini semua yang belanja para pedagang,” jawab ibu. Meraih tanganku agar aku tetap dekat bersama ibu. 

Sebelum pulang kami mampir sebentar di tempat jualan kue basah dekat jalan keluar pasar.

“Kuenya, bu!” sahut ibu, “Lemper campur sama yang ini ya!” pinta ibu.

“Kamu mau yang mana?” tanya ibu. 

“Hm, terserah bu, yang mana aja gapapa!” balasku.

Becak berlalu lalang sebelum akhirnya ibu memanggil salah satu, untuk mengantar kami pulang. 

Aku duduk dekat yang bawa becak, ibu di dekat pintu dan yang turun duluan, seketika aku memegang keranjang belanja ibu, agar aku yang mengangkat ke rumah. Karena paham dengan gerakanku, ibu akhirnya melangkah duluan membuka pintu. Aku hendak menyusul ibu, namun dari halaman samping rumah muncul Cindy.

“Keplak” bunyi keranjang terpental mengenai aspal jalan seketika terlepas dari peganganku.

Terkejut dengan kehadiran seseorang yang bersama dengan Cindy. Mulutku menganga tidak percaya dengan apa yang baru saja kulihat, aku mengedipkan mataku beberapa kali untuk memastikan . Semakin jelas saat adikku Cindy dan seorang pria mendekat dan membantu memperbaiki barang belanja yang terjatuh, dan aku masih hanya melotot.

“Ning! Hei!” sahut ibu dengan nada tinggi. 

Seketika aku tersadar dan berusaha meraih keranjang belanja yang tadi dan memasukkan barang yang terjatuh. Sementara pria yang berseragam loreng itu hanya tersenyum ke arahku.

Kami duduk berhadapan di salah satu meja makan, aku sendiri bingung bagaimana dia tahu tempat ini.

“Mau minum apa?“ tanyaku sembari berdiri untuk meninggalkannya sesaat sambil membuat dalih mengambil minum.

“Air putih aja!” balasnya.

“Oke!” sahutku. Berjalan menuju rak piring untuk mengambil gelas.

Cindy juga berada di dapur tengah asyik memakan kue yang dibeli ibu dari pasar.

“Cin, kenapa dia bisa sama kamu?” tanyaku berbisik dengan nada menekan.

“Dia bilang temen kakak! Trus mau bilang sesuatu yang penting,” balas Cindy lagi. “ Ya, aku mikir itu penting!”

Aku sedikit kesal, memutar bola mataku ke kiri lalu ke kanan. Mengambil segelas air.

“Makasih!” ucapnya.

Tidak ada suara di antara kami saat itu, hingga suasana makin kikuk sambil aku mengalihkan pandangku dari sisi yang satu ke sisi yang lain hingga aku mendengar suara.

“Thank you!” ucap pria itu tiba-tiba. Sepasang matanya menatap tajam ke arahku.

“Ha? Thank you?” perjelasku lagi karena aku tidak tahu maksudnya.

“Sudah nolong aku!” jawab pria yang duduk di depanku.

Tak bisa kualihkan pandanganku dari seragam loreng hijau yang pas di badannya membentuk otot-otot lenganya. 

Lihat selengkapnya