November 2017. Erupsi Gunung agung menutupi langit bumi Karangasem. Komunitas relawan daerah Jabodetabek sudah berangkat sejak dua hari yang lalu. Hari ini, aku menyusul ke Karangasem menggunakan bus dengan lama perjalanan hampir 20 jam, berangkat malam pukul 21.00, dan tiba di tempat pengungsian besoknya sekitar pukul 17.00 sore. Saat hari mulai gelap, suasana di pengungsian nampak ramai, para relawan tengah sibuk membantu para medis menolong korban yang terpapar asap dan debu.
Aku menapaki jalan-jalan dari gerbang desa menuju pengungsian, seorang pria yang tak asing di antara sekelompok orang berseragam menarik perhatianku. Mereka tengah membangun tenda untuk pengungsi. Masih dari kejauhan dia juga tampak memperhatikanku mejejali tanah berlumpur ketika semakin dekat. Hadi tersenyum kepadaku, dan kubalas dengan senyuman. Suatu pertemuan yang tak kuduga, ternyata Hadi juga ikut membantu di sini. Aku menaruh tasku di tempat relawan, sejenak lalu bergegas membantu untuk menyiapkan makan malam. Koordinator mengarahkan aku untuk membantu bagian komsumsi, karena sedang kekurangan anggota. Makanan yang bisa disediakan adalah mie instan dan telur serta nasi putih.
Hiruk pikuk pengungsian malam itu, seketika terhenti saat hujan mulai mengguyur deras. Para relawan mulai menepi ke arah puskesmas yang dijadikan tempat mengungsi. Aku yang baru selesai merapikan makan malam, menilik ke luar dari pintu tenda. Sisa air hujan semalam belum juga mengering, kini hujan kembali mengguyur.
“Han?” panggil seseorang dari arah belakang
Aku berbalik dan menyadari satu timku memanggil ketika memasuki tenda dapur
“Iya?” sahutku.
“Kamu masih ada kerjaan?” tambanya. “Kita lagi butuh tenaga, Han. Korban yang dari kaki gunung baru sampai.”
“Oh iya ayok, ayo” balasku. Melepas celemek dan meletakkannya di kursi.
Korban yang baru berdatangan mengalami luka bakar.
“Han, minta tolong ya, alat dan obatnya.”
Aku mengangguk, segera mengambil peralatan medis dan memberinya ke pada Tini, salah satu perawat relawan.
Kebanyakan korban mengalami luka bakar akibat terkena awan panas. Merapi kembali meletus sore tadi sementara penduduk masih banyak yang tinggal di rumah dan melakukan kegiatan lain meski sudah status berbahaya.
Aku membantu Tini, membersihkan luka bakar korban dengan hati-hati, dan korban yang berdatangan semakin banyak membuat para medis kewalahan.
“Ssraak!” bunyi barang terjatuh dan berserah.
Mengagetkan kami semua, ketika bunyi kotak peralatan medis jatuh terpental ke lantai dari meja dorong. Seorang relawan nampak kewalahan hingga tanpa sengaja semua peralatan jatuh berserak di sekitar lantai. Melihat kejadian itu, aku meminta izin kepada timku untuk membantunya sejenak. Gunting, pisau, suntik, stetoskop dan P3K terlempar kesana kemari. Namun setelah kuperhatikan lagi, seorang wanita yang sedang membantu korban, keringatnya menetes dari garis rambut, napasnya tidak stabil dan tangannya gemetar.
“Kamu gak apa-apa?” tanyaku ke pada perawat relawan itu.
Menelan ludah dan menggeleng.
“Coba istirahat dulu” ujarku mencoba menenangkannya.
Tanganku menggiring tubuhnya untuk bersandar ke kursi dekat bangsal puskesmas. Mataku memantau relawan perawat yang tadi sambil melanjutkan pekerjaannya. Sontak napasku tertahan ketika melihat lapisan kulit yang menganga di daerah betis seseorang, ditambah luka bakar di sekitas jarinya. Kulitnya mendidih bergelembung dan bentuk jarinya sudah tidak kelihatan jelas.