Aku mengetuk ruangan Om Hendra siang itu. Ada sahutan dari dalam ruangan, “Masuk!”
Melangkah masuk mendekati Om Hendra.
Om Hendra diam memandang ke arahku dan menunggu hingga aku angkat bicara. Namun aku hanya diam dan menatap tajam om Hendra.
Om Hendra berdehem. “Ada apa?”
“Kenapa Om gak pernah bilang?” tanyaku.
“Apa lagi?” sahutnya.
“Tentang Lili!” terus menatap tajam Om Hendra dan memperhatikan perubahan ekspresi wajahnya.
“Hm, memangnya ada apa?” tanyanya. Om Hendra dengan ekpresi datar.
“Om Hendra belum pernah menjelaskannya samaku!” ketusku.
Dia mengangkat alis kanannya. “Kamu mau jelasin apa lagi? Huh?” suaranya meninggi. “Sudah jelas, dia gugur saat misi!” tegas Om Hendra.
“Bohong!” ucapku lirih.
Om Hendra menoleh ke arahku.
“Aku tahu kalian bohong, tapi kali ini, please aku mau tau kebenarannya” pintaku.
“Tampaknya seseorang menggoyahkanmu dengan memberi info palsu.” Tambah Om Hendra lagi, “Kamu juga akan tau, Ning! Kematian Lili tidak ada hubungannya dengan masalahmu kemarin.”
“Om, gak usah mencoba menenangkanku. Apa benar Lili hanya umpan?” tanyaku menatap Om Hendra.
“Apa? Jaga bicaramu” ketusnya. Om Hendra dengan mata yang membelalak.
“Lalu?”
“Jangan terlalu mendengarkan bisikan-bisikan di sekitarmu” tambahnya lagi. “Lili sudah tenang di sana. Jangan bahas tentang itu lagi, kalau kau ingin orang lain tidak menganggap seperti itu.”
Aku ingin menutup mata dan telinga, tapi ini bukan tentang orang yang tidak penting, Lili sahabatku. Om Hendra sama sekali tidak ingin membahas tentang Lili. dan aku juga tau kalau Om Hendra tidak akan memberitahuku yang sebenarnya.
Meraih ponselku. “Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif.” Mencoba menghubungi kembali tapi nomor yang kutuju tetap tidak aktif. Aku melangkah ke luar dari HQ menuju Basecamp.
Aku mengecek kotak masuk email, aku mengetik nama Herlan di pencarian, mengirim pesan ingin bertemu. Herlan membalas sesaat kemudian memberikan sebuah alamat.
Dari gapura taman kota, aku memandang ke arah pria yang posturnya mirip seperti Herlan tengah duduk di kursi di bawah pohon. Aku melangkah mendekat untuk memastikan dan itu memang dia.
“Hei, Ning! Kamu di sini,” sapa Herlan.
Aku mengangguk.
Sejenak hanya diam yang tersisa di antara kami.
“Hmm, kamu oke?” tanya Herlan. Mengakhiri keheningan di antara kami malam itu.