Seorang pria melangkah memasuki salah satu tempat hiburan malam, kulihat saat sebelum aku hendak melangkah melanjutkan perjalanan pulang dari supermarket yang tak jauh dari apartemen. Rasa penasaran menggodaku untuk mengikuti pria itu. Kerlap kerlip lampu club malam sesekali mengaburkan pandanganku, sekilas ku lihat pira itu menaiki tangga menuju lantai dua. Aku menaiki tangga mengikutinya, pria itu di sambut dan didatangi para perempuan berpakaian seksi yang menunjukkan lekuk tubuhnya dengan belahan dada yang memperlihatkan payudaranya serta belahan rok yang hanya menyisahkan beberapa sentimeter dari pusat kemaluannya. Sebelum pintu tertutup aku melihat pria lain yang hanya tampak sebelah sisi wajahnya.
Lorong ruangan itu, mulai ramai dipenuhi para pengunjung yang berdatangan memasuki kamar yang ingin memuaskan napsunya. Pria lain yang hampir teler dan wanita yang setengah sadar nampak memapah pria itu. Aku mempersilahkan mereka berjalan duluan, sembari menuruni tangga untuk segera keluar dari tempat ini. Aku teringat cerita Herlan, kalau agen VG tersebar di berbagai tempat, lalu pertanyaan muncul di kepalaku, “Apakah di sini juga ada?”.
Aku menamapaki jalan yang remang menuju apartemen, beberapa tahun terakhir tempat ini beralih menjadi tempat menawarkan diri atau prostitusi. Saat malam hari, para wanita muda berdiri di pinggir jalan, menawarkan layanannya. Setelah tiga gang berjalan dari lorong itu, aku memasuki gedung apartemen dari pintu belakang. Malam itu, hanya aku yang tinggal di sini, Shena sedang ke bandung bersama keluarganya. Dari lantai tiga apartemen, aku memandang ke luar melalui balkon.
Ku ambil kertas dengan pulpen, menulis jenis mobil dan platnya. mencoba menghafal jenis mobil dan nomor plat yang lewat. Mobil-mobil melintas, satu persatu melewati jalan utama. Hingga pukul 00.50, aku masih menunggu di sana, namun mataku sudah berat terbangun ketika mendengar suara kendaraan lewat.
Aku mengambil ponselku dari atas meja, mencari kontak Herton.
“Halo, Ning!” sahut Herton.
“Halo, Ton! Hmm lo tau kan nightclub yang di belakang apartemen gue?”
“Iya, tau, Ning! Kenapa?”.
“Kita ada agen gak di situ?” balasku lagi.
“Uhm” herton berpikir sejenak. “Ada, ada Ning! Tornado 6 kalo gak salah”.
“Lo tahu orangnya?” tanyaku lagi.
“Kita udah beda divisi, Ning! Yang tau itu yang kerja di pusat! Mereka juga gak ngizinin info agen ke kita” tambah herton, “Yang gue tau agen ini udah ada di sana sejak lama cuman gak tau udah berapa lama.”
“Lo cariin info dong, Ton!” pintaku.
“Kalau bisa. Kalau gue nyari data itu nanti agensi layer 2 bakal nyidang gue, Ning! Eh emang kenapa?” tanya Herton
“Gue belum yakin si! Aku jelasin besok deh kalau kita jumpa!”
Tak tertahankan lagi mataku terpejam ketika duduk dekat kaca jendela berhorden putih tanpa kusadari aku terbangun paginya saat Shena menggedor pintu karena ku kunci dari dalam.
“Shen, sorry!” ucapku sambil membuka pintu untuk Shena.
“Hmm,” balas Shena.
“Shen kamu tau, Agen Tornado?”
“Tornado? Kenapa?”
“Kamu tau orangnya yang mana?”
“Ning, kita jangan cari masalah dulu ya! Lo kan udah tau Yudi udah jumpa sama lo. Trus memang itu pilihan dia, buat milih perusahaan yang memperlakukan dia kayak manusia” Shena sepertinya tidak tertarik dengan rencanaku kali ini.
Aku mengambil ponsel Shena ketika dia mandi, menghubungi Herton beberapa kali tapi tidak ada balasan.
Dering ponsel Shena. Dia yang setelah selesai mandi menjawab telpon, melirik tajam ke arahku.
“Kayaknya itu bukan aku, tapi Ning!” ucapnya.
Seketika aku mencoba merebut ponselnya karena membawa-bawa namaku di telpon. Sembari berbicara Shena memalingkan pandangannya.
“Drrt drrt drrt,” getar ponselku dan saat kulihat ternyata itu dari Herlan.
“Halo?” jawabku dengan suara datar.
“Ning, ada apa?” tanya Herlan.