VENTO GEHEIM

Oky Rizkiana S
Chapter #25

Langkah Kaki

Aku mengikuti jalan pikiranku yang sedari tadi berkutat di persimpangan jalan saat mengikuti kurir yang tadi, yang enggan-enggan mengatakan pada Hadi untuk mengikuti dan berakhir menyesal kehilangan jejaknya. Hadi memutar radio untuk menemani perjalanan kami. Aku kehilangan kata dan menatap tajam ke depan yang sebenarnya terus berpikir.

“Han, kenapa?” 

“Hmm gapapa,” sahutku.

“Kalau mau tidur juga gapapa, soalnya perjalanan kita masih satu jam lebih,” ujarnya.

“Engga,” tambahku. “Aku gak ngantuk kok.”

Menghela napas panjang.

Dia yang menyadari helaan napasku, melirik dan tersenyum.

“Oh iya, kemarin di Gunung Agung berapa lama?” tanyaku.

“Dua minggu lebih sih, karena karena harus ke titik lain juga!”sahut Hadi

“Do you enjoy it?” tanyaku. 

“Hmm,” Hadi mengangguk.

Aku tersenyum bahagia saat dia bisa menikmati pekerjaannya.

“Kalau kamu, Han?”

Aku tersenyum tipis, mengangguk.

“Gimana?” tanya Hadi lagi, mungkin tidak puas dengan jawabanku.

“Kalau kerjaan mungkin gak terlalu enjoy sebenarnya, tapi masih oke.”

“Kamu memang keinginannya kerja kantoran gitu ya?” 

“Hm, buat lanjut hidup, kita butuh makan, makan butuh uang, uang dari kerja!” ketusku

Hadi menggeleng-gelengkan kepalanya mengejek aku.

“Kalau ditanya, aku pengen apa.” Diam sejenak. “Aku juga gak tau. Kita dibesarkan dari keluarga yang berbeda. Aku diajarkan untuk bertahan hidup, kamu dibesarkan untuk menikmati hidup,” ujarku pada Hadi.

Hadi tidak membalas hanya diam setelah mendengar ucapanku.

“Aku gak bermaksud menyinggung kamu, Hadi!” jelasku.

“Kamu gak salah kok, mungkin kamu lagi share tentang pendapatmu. Dan it’s okay!” balasnya.

“Kamu juga masih muda, punya koneksi, dan tujuan. Tinggal lanjutin aja” balasku lagi.

Hadi tertawa mendengar perkataanku.

“Eh, ya ampun. Sorry aku gak sadar aku udah menjudge kamu!”.

“Hahaha” Hadi ertawa.

Suasana kembali hening di antara kami, hanya radio yang sedari berjalan kini mengisi sudut-sudut mobil.

“Han?” panggil Hadi.

“Hmm?” sahutku.

Dia memandang sejenak ke arahku.

Aku yang menyadari tatapannya dibuat bingung dan seperti mendunga maksudnya

“Um, gak jadi deh!”.

Aku menghela napas.

“Oh iya, kamu suka nyanyi ya?” tanyanya.

“Hm?” sahutku, mengernyitkan dahi menerka maksud pertanyaanya.

“Kamu masih ingat ngak? Waktu itu aku sedang terluka dan kamu di sana,” ujarnya

Aku mengangguk karena tidak mungkin aku melupakan kejadian itu, kejadian di mana dulu aku dan Lili mengalami hal yang sama. Kenangan itu masih membekas di otakku, tak bisa menyelamatkannya karena harus menyelamatkan diri, hingga akhirnya dia mati dengan luka yang dibawanya.

“Aku gak cukup pandai, cuman aku lakuin itu, buat nolong kamu.” Tambaku lagi, "Mungkin suaraku yang jelek bisa menundamu untuk mati." 

Hadi malah semakin tertawa.

Tidak terasa ternyata perjalanan kami hampir tiba.

Lihat selengkapnya