VENTO GEHEIM

Oky Rizkiana S
Chapter #31

Pamit

Aku menemukan foto di atas tumpukan kertas dalam brangkas Herlan. Memandang foto itu mengingatkanku pada saat terakhir kali kami melakukan foto studio untuk foto pra-nikah. Sebelum memutuskan untuk menyampaikan kabar tentang rencana menikah pada keluarga Herlan. Tapi semua rencana itu hanya tinggal rencana, Om Hendrajat menentang dan tidak menerima aku sebagai calon menantunya. Ternyata selama ini, Herlan sudah dijodohkan dengan anak teman om Hendra, tapi dia tidak pernah menceritakannya padaku. Herlan mengajakku untuk menikah diam-diam dan pergi jauh, namun aku menolak ajakannya. Aku masih punya malu dan sangat menghargai keluarga Kakek. Hingga akhirnya Herlan marah dan memutuskan menikahi Silvi. Walau aku tahu semata dilakukannya untuk meneruskan usaha dan agensi.

Tiga hari berlalu setelah penguburan Herlan, aku masih belum percaya, dia telah meninggalkanku. Shena dan Herton datang beberapa kali untuk menghiburku. Kedatangan mereka membuat suasana menjadi ramai. Namun, saat semua kembali ke aktivitasnya, pilu itu datang menghantuiku. Aku menghujat dan menyalahkan diriku sendiri.

“Ning?” ucap ibu mengejutkanku.

Sontak aku memutar keran wastafel saat menyadari air meluap saat baknya penuh.

Ibu menghela napas panjang, menjamah pundakku dan menatap dengan iba.

Air mataku lagi-lagi berurai. Ibu meraihku membawanya ke dalam pelukannya. Dalam pelukan ibu, aku meluapkan tangisku dan tidak sanggup menahannya lagi.

Ibu hanya diam, menepuk-nepuk punggungku. Walau tak berucap, aku yakin ibu sangat mengerti perasaanku.

Menghela napas panjang. Aku menguatkan diriku, dan kembali membantu ibu menyiapkan bahan masakan.

Saat hari sudah sore, sosok yang tak asing berkunjung ke rumah. Ekspresi wajah ibu tak bisa berbohong saat senyumnya sumringah ketika melihat Hadi. Aku menyuguhkan teh di meja dekat tempat duduknya. Sedari tadi Hadi nampak memandangku.

“Kamu sehat, Han?” tanya Hadi.

Aku mengangguk.

“Mukamu pucat dan kantung matamu!” ujar Hadi.

Aku tertunduk. “Gak papa,” balasku.

“Oh iya turut berduka, Han!” tambahnya. “Cindy ngasih tau aku, temen kamu meninggal”

Aku tersenyum menahan air mataku. Mengangguk. Namun air mataku tak terbendung ketika mengingat Herlan.

“Han? Aduh, sorry! Sorry!” ucapnya menyesal.

Aku menggeleng. “It’s okay”.

Hanya diam yang tersisa di antara kami.

Beberapa pria berseragam polisi mendatangi rumah kami, ibu menyambut mereka.

“Benar ini kediaman Ibu Hanna?” tanya salah satu dari mereka pada ibu.

“Iya benar, Pak,” sahutku sambil melangkah mendekat ke arah mereka.

“Bu Hanna, ibu ditahan untuk sementara karena terindikasi dugaan penyusupan ke kantor IKAPEL?” jelas polisi itu.

Lihat selengkapnya