Venture into Turmoil

Jose Justin
Chapter #1

Prolog

Ribuan orang berkumpul di bawah lapangan tanpa atap, seperti kawanan semut yang diperintahkan untuk berhenti oleh pimpinannya. Keringat bau hampir pesing membasahi punggung, tak ada yang cukup kaya untuk memakai deodoran. Di tengah-tengah mereka, rasa gerah dan pengap menjadi tak tertahankan, dahaga pada tenggorokan tak dapat dihilangkan dengan satu dua teguk air mineral kemasan.

Kegetiran mereka terpusat pada gedung besar bergerbong-gerbong yang menjalar layaknya kereta api, dengan polesan dinding mewah dan ruangan berkaca-kaca yang merupakan sebuah pemandangan jarang, bahkan di ibukota sekalipun.

Gender bukan pembeda, kelas sosial juga mungkin bukan. Pemuda disampingku mengernyitkan dahi, emosinya marah dan menggebu-gebu. Ibu tua di belakangku lebih parah lagi, mengeluarkan teriakan kesal dalam interval tetap.

Dengan timing yang terlihat seperti direncanakan, mereka menatap tajam ke aparat keamanan yang balik melotot dari batas barikade demo.  Setelah puas melakukan adu intimidasi layaknya kekerasan akan kembali terjadi, massa mendongakkan kepala ke gedung Jakarta Convention Center, menanti keluarnya suara pemimpin mereka yang telah ditelan umur, hanya selangkah lagi mendekati peti matinya.

Membaca pergerakan manusia secara massal sebenarnya tidak sulit, tetapi mengikuti alur mereka agar dapat tetap fokus yang sulit.

Untungnya, subjek fokus dari semua kejadian ini telah menampakkan dirinya.

Yang pertama keluar adalah iring-iringan pengawal dan pejabat resmi pemerintahan. Menyebrangi aula yang diberi nama Plenari, pegawai-pegawai negara berpakaian rapi hitam segera menempati posisi mereka di samping-samping perpaduan dinding batu bata dan semen. Tamu kehormatan yang terdiri dari jurnalis mancanegara, pejabat berpangkat sedang, serta diplomat, bangkit berdiri.

Penerangan ruangan yang berkedip tak membuat mereka bergeming, hingga pusat perhatian diarahkan untuk menyambut tamu kehormatan yang melangkah masuk.

Seorang pria tua berpeci hitam, rambut putih menjulur di kedua sisi pelipisnya. Dengan kacamata terpasang, sosok tegaknya masih memancarkan bayangan kekar khas seorang pensiunan militer. Gerakan tubuh Presiden Soeharto terkesan berwibawa namun lemah, lambat saat mengiyakan permintaan ajudannya untuk membetulkan microphone yang terpasang di panggung.

Suaranya lantang saat berpidato, aura pemimpin yang berkuasa, yang berpengaruh besar.

Dulunya.

Setelah momen ini, dia seharusnya tak lebih dari sekedar mayat di ruang otopsi.

Pidato dimulai dengan bisik-bisik dari tamu-tamu. Tak terdengar sampai sini, namun cukup untuk memberikan kesan bahwa sang singa memang telah jatuh dari kekuasaannya.

“Sejak beberapa waktu terakhir, saya mengikuti dengan cermat perkembangan situasi nasional kita, terutama aspirasi ...”

Aku berkedip dua kali, merasakan perubahan visual saat kamera thermal yang tertanam di kedua mataku diaktifkan. Dengan semacam teknologi pemindaian ilegal yang dijual pasar terlarang, posisi rekan-rekanku dalam pembunuhan berencana ini terlihat jelas.

Lunar berada sekitar 10 meter dariku, gambar merah dari seluruh tubuhnya masuk diolah otakku, menjeda waktuku untuk menyadari bahwa ia sedang mengangguk. Kemudian Enigma, membaur di antara petugas keamanan yang berdiri di belakang Presiden yang sedang tenggelam dalam upaya terakhirnya untuk terlihat anggun. Terakhir VI-PEER, aku tak dapat melihat perbedaan warna mencolok darinya layaknya orang-orang di sekitarku, terutama saat ia sedang berada di suatu menara acak, siap dengan senapan jarak jauhnya.

“Dalam keinginan untuk melaksanakan reformasi dengan cara sebaik-baiknya ...”

Aku melirik telapak tanganku, melihat naskah curian di balik pergelangan jaketku.

Cukup satu jentikan tanganku, dan arteri besar yang mengalir dari dan menuju jantung si Smiling General akan terhenti, meledak dengan pelan sehingga masih dapat dikategorikan sebagai kematian natural.

Hipnotisku sebentar lagi akan menunjukkan taringnya.

Pupil Soeharto tampak berkaca-kaca dalam sepi, tak mampu menunjukkan keretakan hatinya, meskipun mulutnya masih melanjutkan teksnya. “Pernyataan saya berhenti dari jabatan sebagai Presiden RI ...”

Sudah hampir saatnya.

Aku menekan interkom yang tertempel di telingaku dua kali. Selang beberapa detik kemudian, dengungan halus dengan jumlah sama dipantulkan kembali.

“Sesuai dengan Pasal 8 Undang-Undang Dasar ’45, maka ...”

Lihat selengkapnya