26 Mei 1998, jalanan sepi.
Lima hari telah berlalu sejak demonstrasi besar-besaran dan pembantaian yang mengikuti. Sampah plastik dan botol besi menghiasi trotoar, ditendang orang jalanan yang rata-rata menundukkan kepala mereka. Personel kebersihan kota lambat dalam mengemasi serakan yang ada, jumlah mereka berkurang drastis karena bolos, dipecat, atau didiamkan.
Café Batavia menjadi saksi bisu dengan dinding semennya yang menjadi korban vandalisme, atap topi yang bolong-bolong akibat lemparan batu, dan kaca retak di lantai keduanya yang sedang berusaha diperbaiki teknisi.
Pelayan toko yang biasanya energetik dalam mencatat pesanan gugup mendekatiku, suaranya lebih kecil daripada coretan penanya. Anak kecil penjaja koran langgananku terang-terangan menghindari klien favoritnya, tas jinjing yang biasanya penuh dengan kertas penuh informasi sekarang hanya berisikan udara, matanya tak mampu menatapku.
Kebebasan pers telah dikekang penuh, dan masa pemalakan preman telah kembali. Belum lagi dengan bercak darah di gang sepi yang sudah menempel layaknya cat kering.
Korban pemerkosaan. Mungkin lebih keji lagi.
Hanya perlu bersabar lagi.
“Kak Zara, berikut pesanan kopi Espresso anda.” Pelayan wanita yang seumuran denganku meletakkan cangkir bunga-bunga dengan pelan, terlalu hati-hati untuk membuat kesalahan layaknya aku adalah agen rahasia pemerintah.
“Tentu.” Aku menawarkan senyuman manis berlipstik merah kepadanya. “Apa perlu bayar langsung?”
“Seperti biasa saja, kak.”
Aku mengangguk, mengulurkan secarik uang sepuluh ribu kepadanya.
Pelayan wanita itu baru bisa tersenyum kecil, nafasnya lepas saat menerimanya, menjabat tanganku yang ditutupi sarung tangan kulit usang. Sambil mendekatiku, ia berbisik. “Kemarin, kami dipalak anggota geng yang ingin minum gratis. Mereka hampir memukulku.”
Oh. Dia kira aku komplotan mereka. “Tak apa. Masa sedang sulit, aku paham.”
Ia mengangguk pelan, melambaikan tangan saat membuka pintu dapur.
Angin yang hanya bisa dirasakan oleh para penikmat kopi outdoor sepertiku hampir membuat segelas penuh cairan coklat kehitamanku tumpah.
Terutama saat seseorang bermantel coklat duduk di belakang mejaku. Mengistirahatkan pantatnya di seberang payungku, pria tua itu membetulkan topinya yang menutupi uban putih dan kepala botak tengahnya.
Secarik kertas tiba-tiba muncul di atas kursi kosong yang menjadi teman minumku.
Membuka lipatannya, konteks dalam kertas tersebut membuat nafasku tertahan.
Meneguk kopi sekali, aku mencermati cetakan biru yang memuat interior Istana Merdeka, lengkap dengan estimasi posisi penjaga dan shift ganti mereka. Di utara, penjagaan ketat dengan kamar tidur dan perpustakaan negara, ruangan sentral yang berada di tengah tempat jamuan makan dan pertemuan formal juga bukan ide bagus untuk didobrak langsung.
“Kita butuh tim baru.” Pak tua bersiul, melepas kacamata hitamnya, menonjolkan pupil abu-abunya yang terkesan seperti orang buta.
“Kau punya kandidat?”
VI-PEER menegakkan punggung sambil mengusir pelayan wanita yang hanya ingin menawarkannya rekomendasi minuman. “Kau pendiri tim ini, jadi kau yang cari.”
“Terakhir kali aku melakukannya, satu orang berkhianat dan yang lainnya mati.”
“Dan?”
“Kau ingin kita jatuh ke lubang yang sama dua kali?”
Remasan botol plastik air mineral menggelitik telinga, menemani suara tersedak dan tertawa yang ditahannya. “Kau yang jatuh dua kali. Aku sih belum pernah.”
Pak tua berkode VI-PEER, seorang StigCell menjengkelkan dengan kemampuan penglihatan teleskopik dan mikroskopik. Dia adalah orang pertama yang berhasil kabur dari eksperimen kejam kroni Mahfianus Iffendy. Ceroboh dan cenderung terlalu relaks, ia adalah orang pertama yang kurekrut masuk dalam tim penghancur eksperimen StigCell, dan satu-satunya yang berhasil kabur dari demo 21 Mei lalu, selain aku.
Misi pembunuhan Soeharto berhasil, Mahfianus Iffendy gagal. Habibie yang merupakan kandidat pemimpin bagus telah dihabisi, dan pengkhianat didalam tim sudah tewas.
Sudah saatnya membuka lembaran baru bagi tim ini.
“Cari satu orang. Itu tugasmu.” Aku menenggak habis minuman di cangkirku, melepaskan ikatan jepit di rambut panjangku.
“Kemudian menyusup ke Istana Merdeka untuk membunuh si preman Indonesia baru?”
Aku mengangguk. “Ilmuwan-ilmuwan gila telah bermain dengan gelombang otakku, memberikanku kemampuan hipnotis. Tapi, Mahfianus Iffendy tahu tentang StigCell. Aku takut ia punya semacam rencana untuk menghentikan kemampuan itu.”
Enigma gagal menghabisi Presiden baru itu.
Mereka tahu kami akan datang lagi.
VI-PEER menghela nafas dalam. “Oke. Tapi ini perlu waktu.”
“Aku tahu.”
Dengan gerakan pelan terlatih untuk bangkit, aku meletakkan selembar uang seribu dimeja, kemudian meronyok uang dua ribu lainnya dan melemparnya ke meja VI-PEER. “Jangan jadi pengemis, pak tua. Apalagi sampai menganggu pengunjung lainnya.”
VI-PEER menghentak meja kayu tua Café Batavia sekali, memasukkan recehan yang sudah kuselipi kertas lokasi pertemuan berikutnya. “Kurang ajar, aku veteran perang, tahu!”
Aku tak menghiraukannya, menebar senyum manis kepada si pelayan toko yang ramah sambil bersatu dengan orang-orang di jalanan.
Di sudut gang sempit dimana pipa air mengalir tak terkendali, terdapat satu orang. Lalu, di atas gedung pencakar langit, ada sekelompok orang yang mengawasi areaku.
Bukan khusus mengikutiku, tapi area ini secara keseluruhan.
Agen rahasia Mahfianus Iffendy memang banyak.
Kadang aku heran. Berapa lama lagi hingga budget negara habis untuk menyewa agen semacam mereka? Bayaran kepada Amerika atau Russia tentu tak murah.
Sumber daya negara sedang dirampok, baik secara fisik melalui pertukaran sumber daya alam dan konversi sumber daya manusia untuk eksperimen, atau secara inflasi, melalui pinjaman yang tak mungkin bisa dikembalikan.
Tapi apapun itu, uang sedang berada dalam peredaran yang banyak.
Menggunakannya untuk jangka pendek akan menjadi sangat gampang.
Langkahku berhenti di depan pintu kaca yang membuka secara otomatis. Satpam bank Perdanier menyapaku dengan senyum ramah, menanyakan maksud kedatanganku, menawarkanku semacam permen mint.
Sejenis kamera pengawas berteknologi tinggi seperti yang diberlakukan di markas Commander memelototiku dalam diam, cahaya merah yang berkedip-kedip seperti memintaku untuk memberhentikan hal bermoral ambigu yang sedang kurencanakan.
“Teller, Pak.” Aku sopan menolak tawaran permen satpam tersebut.
“Dan keperluannya, Kak? Kalau saya boleh tahu.”
“Ingin menarik uang.”
“Baik, Kak.” Bapak keamanan ini melewati selorong panjang penuh dengan staf customer service, terkadang menoleh ke belakang untuk memastikan aku mengikutinya.
Ruangan brankas berada di sudut kanan dalam, manajer tinggi beserta beberapa bawahannya sedang mengecek kelayakan uang yang akan disetor masuk ke dalam mesin penarik uang. Mereka tak memedulikan kedatanganku, sibuk mengurus pekerjaan yang ada.
Mengurus uang. Uangku.
Satpam tersebut pamit pergi setelah aku tiba di garis antrian kosong yang disediakan.
Plaform berbasis kaca yang mengkilap menyembunyikan setengah dari badan pegawai bank yang duduk mengetik keyboard komputer. Saat tanganku baru diistirahatkan, pegawai pria itu sudah mendongakkan kepalanya, senyuman formal terpampang di mulutnya.
“Ada yang bisa dibantu, Kak?”
Ketukan pelan dua kali di meja kaca, kemudian aku merapikan rambut depanku. “Aku ingin menarik keluar setengah dari rekening Ibu Margareta Laceria.”
Pria umur 20an membeku, otot tangannya menjadi kaku dalam sekejap kedipan mata, matanya berkedip dengan cepat tiga kali. Ketikan di komputer kantornya seperti ingin merusak barang yang disentuhnya saja.
Lalu, ia bertingkah seperti tak terjadi apa-apa, kembali menghadapiku dengan senyuman formal. “Baik.”
Aku mengedipkan sebelah mataku sekali. “Terima kasih banyak, Felix. Pindahkan ke rekening atas nama Jane Inggrid. Dan jangan arsipkan bukti penarikan apapun.”
“Tentu saja. Semuanya sesuai permintaan anda.”
“Terima kasih, Felix.” Aku kembali mengetuk meja kaca di depannya dua kali.
Felix duduk dengan tenang, matanya terbelalak seperti orang kesurupan.
Ia akan kembali menjadi normal dalam lima menit, ingatan melayaniku tertimpa oleh sesuatu yang tak dianggap otaknya sebagai menarik. Rekan disampingnya mengabaikan raut wajah anehnya, otaknya sudah kuprogram untuk terbiasa dengan pemandangan semacam ini.
Meninggalkan meja pelayanan, aku kembali dibimbing oleh satpam yang tadi keluar bank.
Sebelum melewati pintu kaca otomatis, tolehanku ke belakang menyiratkan fakta bahwa Felix telah melakukan omongan santai dengan rekan kerjanya.
Tak akan ada tanda bahwa ia sedang berada di bawah pengaruh sugesti.
Kekuatan super ini memang menyeramkan, dan menyenangkan.
Terutama jika dipakai untuk merampok rekening palsu yang dipakai Jendral Abianus Mahmud dalam melakukan pencucian uang. Buat rekening dengan nama palsu, tarik beberapa gepok uang yang ada pada rekening nominee Panglima Angkatan Darat itu, kemudian hapus akun. Lakukan berulang kali melalui beberapa bank, dan pastikan staf di lembaga keuangan tersebut sering diganti karena kesalahan kecil, dan keberadaan uang yang hilang takkan pernah bisa dilacak.
Ponsel lipatku berdering sekali, pesan yang muncul di layar monochromic biru membuat hatiku berdegup tak sabaran.
Danamu sudah masuk.
Commander.
Penjamin komunikasi, sekaligus member bayangan dari tim penghancur StigCell. Tak ada yang tahu muka seram macam apa yang ada dibalik topeng futuristiknya.
Taksi yang berada di pinggir jalan berhenti, pengemudinya menaikkan tuas gigi pada mobil manual koplingnya. “Taksi, nona?”
“Boleh, pak. Ke apartemen Menteng.” Aku menutup pintu taksi dengan agak kasar.
Bapak paruh baya berpakaian singlet dan celana pendek itu mengernyitkan dahi, namun tak menegurku.
Ia menatap pakaianku. “Oh. Orang kaya baru, kah?”
Tak ada yang spesial. Hanya baju hitam berlengan panjang yang kerahnya mencekik leher, dan rok kain selutut kotak-kotak yang menyembunyikan pistol kaliber tinggi.
“Itu teman saya, Pak. Bukan saya.”
“Ohh.” Pengemudi taksi itu mengangguk bosan, tak tertarik melanjutkan dialog.
Aku juga, sekarang sedang menatap ke luar jendela.
Mobil pickup berlalu lalang, membentuk konvoi pembawa kayu jati yang seharusnya masuk dalam kategori pohon dilindungi. Di belakangnya, beberapa mobil berplat hitam mengklakson sopir salah satu gerombolan kurir yang sedang merokok, memprotes gaya kemudinya yang ugal-ugalan.
Apa aku perlu seorang pengemudi untuk kabur dengan cepat?