Aku terbangun. Kedipanku cepat, tiga kali.
Atau lampu operasinya yang berkedip?
Semacam besi tajam menusuk pembuluh arteri lengan kiriku.
Jeritanku diredam bola pembungkam yang diikatkan ke mulutku.
Dadaku terbakar, cairan sepanas lava dialirkan melalui selang-selang yang tertancap di kepala, leher, perut dan paha. Ketukan konstan dari mesin penghitung angka menyerap ketenangan yang tersisa dari ruang putih yang penuh dengan derap langkah dan bisikan sana-sini.
Detak jatung, tekanan darah, temperatur, saturasi oksigen, jumlah cortisol, adrenalin. Semuanya diukur untuk mendorongku ke ambang batas kewarasan manusia.
“Injeksi insulin. Naikkan standar levelnya ke bahaya.”
“Suntikan dilakukan. Pemantauan dimulai.”
Manekin-manekin berpakaian hijau dengan topi putih memelototiku dengan wajah bertopeng datar. Hal yang tak bisa berhenti mereka lakukan adalah mengambil antibiotik atau obat penenang, atau membelah organ dalamku.
Korban pertamaku saat berhasil kabur dari sini adalah mereka.
“Ketidakstabilan emosi terpantau. Kadar serotonin menurun.”
“Naik turunkan angkanya hingga batas maksimal. Jangan sampai dia menggila.”
“Setuju, aku tak mau lagi meminta pasien pada kepala tim itu.”
Jadi, aku hanya yang kesekian dari tikus percobaan yang kalian bedah?
BAJINGAN ...
“Gelombang beta melonjak drastis. Tubuh subjek meronta-ronta.”
“Kencangkan pengaman kasur dan baju pengekang. Suntik morfin jika diperlukan.”
“Alirkan anti-depresan melalui pembuluh darah paha.”
Tenagaku hilang, cahaya yang hidup dan mati sudah digantikan oleh ruang putih yang kosong, beberapa manusia rapuh berbisik-bisik.
Seperti lalat yang berdengung memperebutkan feses saja.
“Delta ... gelombang delta malah melonjak drastis.”
“Bentrok pada dua gelombang otak? Bagaimana dengan alpha dan theta?”
“Naik turun dengan cepat. Mesin kita tak dapat mengikutinya.”
Sirkuit listrik bertemu satu sama lain, menghasilkan percikan api kuning.
Ukurannya masih mini, mungkin sebesar leher manekin yang berdiri di sana?
Para monster berdasi hitam di layar mengutarakan sesuatu, suara microphonenya kencang, namun sama sekali tak dapat memberikan arti pada setiap kalimatnya.
“Dopamin meningkat drastis, detak jantung mencapai 200 bpm.”
“Subjek #666, kau bisa dengar aku? Tenangkan dirimu ...”
“Percuma, ia sudah tak bisa mendengarnya.”
Pengaman dilepaskan. Kotak amunisi diisi. Baja karbon hitam ditodongkan ke tempurung kepalaku. Sentuhan sedikit saja di sana sudah membuatku gila dengan rasa sakitnya.
Itu pemicu yang tepat untuk membuatku memuntahkan pengekang sihir kata-kataku.
“Tunggu, jangan ...”
“Masih disana? Masih disana. Kenapa tak pergi? Kubunuh? Kubunuh kalian. KUBUNUH KALIAN SEMUA!”
“Orang gila ini ...”
“Jangan tembak sembarangan. Tunggu personel keamanan ...”
Dorr. Dorr. Dorr. Dorr.
Dorr.
Boneka-boneka tergeletak bersimbah darah, semuanya menjadi karpet dan alas kaki untuk keluar dengan elegan. Daging mereka berlubang hanya dengan satu tembusan timah panas. Aktor fiksi didalam layar juga telah mati. Hanya kesunyian dan suara mesin yang menemaniku di dalam istana ini.
Sungguh menyenangkan ~~.
Siapa lagi yang perlu kudiamkan? Atau kuajak main dengan silet di ubin dingin? Oh, ada orang disana. Nametagnya bertuliskan Commander.
Hehe.
...
...
...
Aku terbangun. Kedipanku cepat, tiga kali.
Atau lampu operasinya yang berkedip?
Tanganku penuh balutan kain putih. Menggerakkan jari-jarinya memerlukan perhatian ekstra, otot wajah kaku, dada, perut, serta sekujur kaki sedikit mati rasa. Dibalut seperti mumi, dengan ujung jahitan yang tak sempurna dan terkesan amatir. Selang putih terhimpit saat mencoba melawan rasa pedih yang membara untuk bangun, mesin pengukur data yang terpasang bermodel sama dengan yang digunakan laboratorium StigCell dulu.
Perasaan tak enak pada kulitku mereda saat aku berhenti bergerak.
Langit-langit pada ruangan ini tak serendah lab itu. Jaring laba-laba menempel di sudut-sudut, mengumpulkan debu dan nyamuk malang yang terperangkap. Satu pandang ke jendela menyatakan bahwa ini adalah tempat bobrok yang sebentar lagi akan tumbang. Tak ada cahaya yang masuk, sekelilingnya gelap gulita.
Manekin-manekin yang mengoperasiku bertengkar satu dengan yang lainnya. Satu berbadan gemuk memegang kedua tangan teman kurus jangkungnya yang memulai perkelahian, sesekali terantuk lampu operasi yang menyala dengan warna putih artifisial. Satu orang lainnya yang lebih pendek dengan luka bakar di sekujur lengannya kewalahan menahan pinggang si jangkung tersebut.
Bukan. Bukan manekin. VI-PEER dan Bane.
Visualku yang tadinya kabur telah perlahan kembali, kocokan pada perutku belum mereda.
Dan si jangkung itu ... siapa?
“VI-PEER, Lotus.”
Bane melihatku dengan panik, seperti aku adalah hantu saja.
“Hah?” Masih menggenggam erat pria umur 20an itu, VI-PEER mendapati mataku yang rasanya tak ingin membuka.
“Lotus!”
Pak tua santai itu panik? Kakinya menjebol lantai kayu hingga sepatunya terbenam. Urat otot yang katanya malas dipakai juga sedang dalam mode menyala.
Mata pria jangkung itu melotot, namun pandangan sayu. Telapak tangannya membentuk tinju, kakinya diayunkan, namun sebenarnya tak bertenaga. Postur tubuhnya canggung.
Ia terhipnotis.
Karena aku? Tapi aku bahkan ...
Eh, bodo amat. Akan kucoba menghentikannya.
Memaksakan urat jari tengah dan jempolku, suara jentikan jari yang lembut namun bergema menyasar seluruh ruangan. Amukan pria gila itu berhenti, disambut kakinya yang melemas, lunglai jatuh ke tanah. Mata tunggalnya yang baru kusadari berwarna emerald hijau langsung tertutup, dibarengi dengkuran halus.
VI-PEER dan Bane terduduk, pihak pertama hampir terjerembab lubang yang dibuatnya.
“Huh, penyiksaan selesai.”
“Setuju.”
Nafas ngos-ngosan mereka membuatku tak bisa membedakan siapa yang mengatakan apa.
“Jadi, aku tak sengaja menggunakan hipnotis?”
VI-PEER menyeka keringatnya. “Yah, begitulah.”
“Huh?”
Ia menatap ke sekeliling, sebelum berbalik ke mukaku. “Ini mengingatkanmu tentang hal tak enak, bukan?”
“Lab StigCell.”
“Yup.” VI-PEER menunjuk pria jangkung yang sudah terlelap dalam mimpinya. “Dia Linear, kawan yang disebut Bane. Ingat?”
“Tentu. Dia dokter pembedahku?”
Bane mengangguk. “Anda berada pada keadaan parah, dengan banyak serpihan kaca masuk ke pembuluh darah. Mengeluarkannya satu-satu sambil memastikan anda masih hidup adalah keajaiban yang hanya bisa dilakukan temanku ini.” Ia menggopoh pria berambut sepanjang bahu dengan jaket medis dan celana kamuflase itu ke sofa, membaringkannya sambil menutupinya dengan selimut.
“Tentu saja dengan bantuan pandangan mikroskopikku juga.” VI-PEER dengan bangga menunjuk dirinya sendiri.
“Jadi kekuatan supernya kuasumsikan ...”
“Pemutar waktu.” Bane menyodoriku gelas kaca, aroma ekstrak kuat bertebaran di udara.
Oke, itu di luar dugaanku.
“Tidak ada batasan penggunaan kekuatanya. Masalahnya, seperti kita, terdapat limit pada kekuatan ini. Yaitu, hanya bisa digunakan ke luka.” Bane bangkit, memberi jalan pada VI-PEER yang memutar knop pintu, keluar dengan hentakan keras.
“Ups, tak sengaja! Sorry.”
Dia masih sama konyolnya seperti dulu.
“Lalu ...” Bane menoleh ke pintu plastik itu, menelan ludahnya sekali.
“Oh, ngomong-ngomong, bagaimana dengan ...”
Tak ada Commander di sini. Ejekan pedasnya seharusnya sudah berdengung di telinga, mengomeli kecerobohanku saat menerjunkan diri dari ...
Oh.
“Commander telah ditangkap kepolisian Jakarta dan dinyatakan sebagai teroris level bahaya tertinggi. Eksekusinya akan dilakukan di lapangan penjara Cipinang pada jam 12 siang, tiga hari dari sekarang, tanggal 31 Mei. Disiarkan langsung di televisi nasional.”
Tenang, tenang. Biarkan logika menguasai pembuatan pilihan, bukan emosi.
“Bane, berapa lama aku sudah terlelap?”
“Anda sudah koma sejak kami menyelamatkan anda pada 26 Mei.”
“Tanggal berapa sekarang?”
“29 Mei, jam satu subuh.”
“Kenapa tak ada yang coba membangunkanku? Harusnya jika dengan kekerasan, bahkan insting otakku pun akan merasakan bahaya.” Gelas kaca di tanganku meretak, remahan kecilnya menggores kulit luarku.
Sakit tentu, tapi aku tak bisa berhenti melakukan ini.
“Uhm, kami mencobanya setiap hari dan hari ini juga. Lalu ...” Bane menoleh ke Linear.
Ah, tentu saja. Efek samping sialan ini.
Muka jelek dalam cermin ini juga. Jika otak yang berada di dalamnya bisa lebih pintar memprediksi, maka si sombong itu juga tak akan mendekam di jeruji sel dingin kepolisian bangsat itu. Jika bukan karena ketidakmampuanku ...
Bantingan gelasku dihentikan Bane. Tepat sebelum bentuknya remuk, ia dengan tegas memegang punggung tanganku.
“Tolong tenang, senior Lotus.”
Tatapannya tenang, menyembunyikan tsunami kemarahan yang menggebu-gebu.
Benar juga, aku perlu tenang.
Commander belum mati. Aku masih bisa membuat rencana. Masih ada besok. Masih ada lusa. Masih ada 59 jam.
“Kau benar. Aku telah terbawa emosi.”
Bane tersenyum lega, akhirnya melepaskan tangannya dariku.
“Kau merasa aku gagal menjadi seorang pemimpin, Bane?”
“Tidak, senior. Posisimu berat, lagipula tak ada yang bisa memprediksi datangnya serangan itu.”
“Betul juga.”
Bane menarik selimut hingga menutupi leherku, menyembunyikan baju tipisku yang sudah basah oleh keringat. Sambil mengambil gelas yang kugenggam dan menggantinya dengan cangkir stainless steel, ia mematikan lampu operasi di atas kepala, menyalakan lampu tidur bentuk penguin di samping laci tempat tidur.
“Buka LED bulat di atas, Bane.” Aku menonjolkan jari telunjukku. “Ambil ponsel lipatku, siapkan peta lokasi. Kumpulkan semua informasi yang kau punya ke sini.” Aku menaikkan lututku, rasa sakit di sana tak terlalu menyiksa.
“Uhm, kurasa anda perlu ...”
“Mulai merencanakan rencana penyelamatan si arogan itu. Kita perlu dia, Bane.”
“Tapi dengan tubuh anda ...”
“Kita tak punya waktu untuk berdebat, anak baru.”
Bane mengangguk pelan, langkahnya dipercepat ke pintu plastik yang dibanting VI-PEER.
Belum beberapa saat setelah menggerakkan otak, pak tua itu kembali. Di belakangnya, tiga orang aneh kuasumsikan sebagai StigCell kontrakannya.
Orang yang berada tepat di belakang VI-PEER menggunakan topeng anti-racun, selang plastik hitam menjulur layaknya gading gajah. Layar hitam menutupi matanya yang berkedip merah, mungkin kamera terpasang di balik pupilnya.
Rot Warden, StigCell yang dijuluki raja racun.
Lalu, seorang wanita yang mengikuti VI-PEER duduk berhadap-hadapan dengan Linear yang masih tertidur pulas. Tatapannya terkunci padaku, matanya menyipit seperti baru membaca rahasia terdalamku, rambut hitamnya disisir ke samping layaknya gestur yang kupakai saat mengaktifkan hipnosis dormanku.
Zero, si pembaca pikiran, model luar negeri bernama asli Elizabeth McRowan yang berani tak melindungi identitasnya. Atau mungkin, ia sedang bertukar rahasia dengan kami.
Dan terakhir, wanita seperti anak kecil yang tinggi badannya hanya mencapai perutku. Mencopot masker medisnya, ia merapikan kacamata tebal yang mengaburkan visual pupilnya, menguap lebar, menampakkan remahan permen karet di sudut giginya.
Yang ini, siapa?
VI-PEER menunjuk ke bocah ingusan yang melototiku dengan acuh tak acuh, mulutnya mengunyah. “Codename Hera, kekuatannya pemulihan energi. Dia istriku.”
“Hah?!” Batukku tak mau berhenti bagaimanapun aku mencoba menelan ludah.
Hanya saat melihat mayoritas manusia di sini yang berusaha menahan tawa dan wajah tak peduli Rot Warden, baru aku bisa menenangkan diri.
“VI-PEER, dia siapa?”
“Oke, oke. Dia salah satu dari tiga orang yang kurekrut ke EZ.”
“Dengan bayaran tak murah, tentunya.” Zero menyela, menyodorkanku sebuah slip kosong. “Aku dengar Commander punya banyak aset.”
Aku mengangguk. “Aku yakin dia bukan orang pelit.”
“Mantap.” Zero menepuk tangannya dua kali, sebelum duduk di samping kasurku.
“Dan, kalian berdua?” Aku menoleh ke Hera, kemudian ke Rot Warden yang mengintimidasi.
“Kesenangan!”
“Mayat.”
Hmm, yang berteriak pertama kali adalah Hera. Mungkin perlu kusugesti dia secara perlahan untuk tak meninggalkan kami saat keadaan genting.
“Kau licik juga.” Zero berbisik di telingaku.
“Kau ingin merasakannya juga?”
“Tidak, terima kasih.” Zero menggeleng kepalanya, mendekati Rot Warden yang langsung mengambil langkah menjauh darinya.
“Lotus, pembantai ratusan manusia dengan satu perintah.” Kegetiran melekat pada nada bicara Rot Warden, lingkaran merah pupilnya meloncat-loncat dari kepala menuju lukaku.
“Jika kau ingin memanen mayat, maka aku bisa memfasilitasinya.”
Pria itu tertawa seperti maniak. “Lotus, aku sama sekali tak percaya dengan pembohong sepertimu. Tapi aku percaya pada motifmu. Pada insting haus darahmu.”
Rot Warden ... dendamnya dalam.
“Baik, baik. Seluruh harapan kalian bisa terpenuhi melalui misi penyelamatan Commander, operasi Hydra Rebirth. Uang, kesenangan, mayat, penggoyangan kestabilan pemerintahan, semuanya bisa didapatkan.”
Satu hal yang perlu diperhatikan dalam eksekusi Commander, adalah waktu.
Mengapa perlu menunggu lima hari?
Jawabannya simpel, karena dia adalah umpan.
Lalu mengapa perlu jam 12 siang? Mungkin StigCell kuat Amerika akan muncul, dan kekuatannya paling maksimal digunakan saat matahari sedang terik-teriknya.
Tapi apapun itu, jika sudah diberi panggung, maka aku takkan mundur.
Demonstrasi dari kubu anti Mahfianus? Mungkin, tapi tak akan terlalu manjur, mereka sudah terlalu lemah. Sabotase politik dan ekonomi dari petinggi partai yang dikontrol Commander? Tidak, mereka belum pernah bertatap muka denganku.
Menggerakkan sebagian kecil militer? Mungkin. Memberlakukan keadaan darurat? Mungkin. Serangan udara? Mungkin. Pemboman, pembakaran, huru-hara, sangat mungkin.
Dasar dari rencana kubeberkan pada semua yang berada di ruangan ini.
Semuanya menerima, atau setidaknya tak ada yang menolak, minus Linear yang terlelap.
Semuanya pergi.
Detak jarum jam yang menunggu dengan sabar layaknya gerimis di luar jendela kembali terdengar. Kesunyian menghiasi gudang terbengkalai yang diubah menjadi rumah sakit darurat oleh Bane dan VI-PEER, awan gulita menyembunyikan secercah sinar hangat yang menyinari Jakarta, menandakan badai yang sedang dalam perjalanan.
Tersisa VI-PEER, dan Zero.
Statistik acak-acakan di meja kaca, tumpahan kopi hangat di sana-sini, semuanya diperparah dengan pendingin ruangan yang sirkuit listriknya tak stabil, menaikkan turunkan suhu layaknya ia punya kesadaran sendiri.
VI-PEER mengeluarkan sebuah tas yang tergeletak di bawah sofa berongga.
“Pak tua?”
“Tas parasutmu. Tangkap.” Ia melemparkan tas di pelukannya.
Menelan ludah, aku mengambil dokumen pertama yang dapat kuraih dari dalamnya.
Secarik kertas.
Note for Lotus.
Pertama, kemampuanku bukan otak super seperti yang kau bayangkan hingga hari ini. Aku punya penglihatan masa depan.
Commander, sial kau.
“Apa yang ada didalam sana, Lotus?” VI-PEER mendekatiku.
“Sesuatu yang rahasia.” Zero menyeletuk.
“Hah? Urgh, stop baca pikiran, Zero!”
“Aku tak bisa mematikannya bahkan jika aku mau, oke?”
Kekuatanku tidaklah praktis, karena mereka datang secara acak dengan interval tak jelas. Kadang aku bisa mengetahui posisi musuh dengan detail, di lain waktu aku malah tahu kapan aku akan menginjak ekor kucing.
Kedua, terdapat kelemahan fatal pada kekuatanku. Kadang tak akurat.
Sejak operasi StigCell yang berhasil, aku mendapat beberapa ramalan terkait masa depan. Diantaranya, seharusnya ada dua yang tak benar.
1. Commander akan mati.
2. Indonesia akan dibombardir.
3. Akan terdapat perang besar StigCell.
4. Keseimbangan kekuatan dunia akan goyang saat StigCell tipe baru terbangun.
5. Perang StigCell akan menghasilkan satu StigCell yang berhasil bertahan hidup di Indonesia.
James Ribbentrop, a.k.a Commander.
“Hei, Lotus. Apa kontennya? Surat wasiat?” VI-PEER bertanya.
Huh, semoga saja ini lelucon konyol. Tapi, Commander bukan tipe orang yang suka melawak. Isi dalamnya juga tak menyiratkan adanya keanehan.
Di luar ekspektasi? Tentu. Di luar nalar sehat? Malah kebalikannya, semuanya masuk akal, mengingat keterampilan pria itu dalam menyuplai EZ dengan informasi.
“Lotus, jangan hanya diam saja.” VI-PEER menengadahkan bahunya, berusaha mengintip kertas yang kupegang.
“Wow. Perlu waktu untuk mencerna ini.” Zero membuka gorden, membuka pemandangan pemukiman kumuh yang didominasi rumah dengan cat terkelupas dan balkoni berdebu.
“Zero, kau percaya?” Aku menyerahkan kertasku pada VI-PEER.
“Hmm?”
“Tentang isi surat ini.”
“Aku percaya percaya saja. Menurutmu, Commander membohongimu?”
“Mungkin dia menulis ini untuk mengecoh musuh, seandainya barang ini ditemukan.”
“Untuk apa dia membeberkan nama aslinya, kalau begitu?”
VI-PEER meronyok kertas tulisan tangan Commander dan membuangnya ke lantai.
“Hei!” Protesku disertai dengan suara serak dari batuk.
“Entah benar atau tidak, kau juga tak akan berhenti merencanakan operasimu, kan, Lotus?”
Aku mengangguk.
“Kalau begitu, kau tahu apa yang perlu dilakukan.”
...
...
...
Kabut terbentuk dari embun tebal yang berkumpul di luar jendela. Kuncup bunga melati menatap ke dalam ruangan berpendingin dengan iba, tak bisa masuk karena ia akan mati tanpa akarnya, namun jika tak masuk juga akan mati karena air sudah menggenang di tanah tempat ia tumbuh.
Begitulah jalan yang tersedia bagi sosok angkatan darat di depanku.
“Tongkat atau wortel, kurasa sudah jelas mana yang anda pilih?”
“Uhh.” Hanya ditemani ajudannya, cahaya lampu kuning terpantul dari kepala botaknya. Keringat memenuhi permukaan kulit gusarnya, cemasnya tak mampu disembunyikan dengan menggigit puntung rokok di giginya.
“Ayolah. Cukup perintahkan unit elite anda untuk melakukan pemalakan.” Aku menekan nadaku di kata terakhir. “Tak akan sulit, bukan, Jendral?”
“StigCell Hera, aku bisa saja melaporkan ancamanmu ini ke unit StigCell Pak Presiden.”
“Bobrok pengamananmu saat kasus StigCell Enigma juga akan terungkap jika kau berulah, Jendral. Kau akan beruntung jika hanya pangkatmu yang copot.” Aku mengeluarkan kertas memo yang diberikan Lotus, menempelkan bagian lengketnya ke sudut meja yang diduduki singa lemah ini.
Jika ia ragu, maka serahkan lembaran ini.
“Ini?”
“Pesan dari atasanku. Coba baca.”
Telanan ludah dari pria paruh baya ini sangat jelas, bahkan suara sepatunya yang akhirnya kembali melangkah ke lantai masih kalah nyaring.
“Keterlibatanku takkan pernah dibocorkan.”
Senyumku keluar dengan natural saat aku menerima jabatan tangannya. “Tentu saja.”
Lotus, licik juga dia.
Putrimu adalah calon menteri masa depan. Putus hubungannya dengan diplomat Inggris. Pria itu pernah memasang penyadap di kantor Mahfianus Iffendy dan telah diinvestigasi.
Tugas selesai.
...
...
...
Gerimis yang ada semakin membesar saja.
Pandangan dibalik topeng racunku mulai mengabur, tertutup bulir-bulir putih.
Orang di hadapanku menggunakan topeng duffel, mengulurkan tangan kosongnya.
“Bayarannya?” Suaranya seperti orang yang baru sembuh dari pilek.
“Ada di dalam koper ini. Dan aku harap kau bisa menyelesaikan apa yang diminta.” Aku menjatuhkan koperku ke tanah.
“Kubunuh kau jika jumlahnya tak sesuai.”
“Coba saja, jika kau bisa.”
Kunci yang terkait ke pegangan koper terbuka dari gulungan besi pengaitnya. Preman berkacamata hitam itu mengulurkannya pada lubang bergerigi, memutarnya.
Sambil dipayungi seseorang yang sedikit lebih pendek, ia dengan hati-hati memegang kertas barter resmi tersebut. Segunung gepokan uang yang diikat rapi dengan kertas bank.
“Bagaimana?” Aku menghela nafas.
“Uangnya pas. Tak terlihat palsu juga.”
“Bagus.”
“Tak kusangka kau akan mendengar perintah orang lain, Rot Warden.”
“Bukan urusanmu.”
“Hanya berkomentar. Tenang saja, aku akan melaksanakan peranku nanti.”
Aku berbalik badan, membesarkan langkah kakiku, tanpa sengaja menginjak kotoran kucing yang terbawa arus.
Bajingan. Awas saja Lotus jika ia tak mengabulkan keinginanku.
Kupastikan ia mati dengan nafas yang hilang secara perlahan.
...
...
...
Pintu masuk menuju parkiran Plaza Indonesia menampilkan desain stylish, dengan peletakkan kaca berbentuk setengah lingkaran yang menampilkan keanggunan dan kecanggihannya. Dengan hujan yang mereda, kios-kios makanan di jalan menyerbuku dengan semerbak gorengan dan kue panggang, semuanya kutolak dengan liur di mulut.
Pada lantai paling atas, setidaknya sepuluh StigCell generik sedang menikmati es krim. Kocek mereka tebal, isinya uang dan ... granat.
Dengan asumsi bahwa tempat teramai di Indonesia akan memiliki penjagaan ketat, aku merapikan lipatan di celana jeansku sambil menepuk dada, memastikan pistol yang tersembunyi masih tersedia.
Tiga orang StigCell generik mendekatiku, tanpa senjata.
Baru saja menaikkan kacamata hitamku dan bersiap bertarung, sesosok anak seumuran Lotus dengan sepatu pantufel dan rambut seputih salju yang disisir tajam ke depan mengulurkan tiga jari ke arahku.
Lambang pertemuanku dengan pengusaha migas.
“Yo, menungguku?” Aku membalas salamnya.
“Anda masih santai seperti biasanya, ya?” Daniel menyalamiku, senyumnya penuh kebohongan formal yang wajib ada saat menyapa.
“Seseorang harus percaya diri untuk menjalani hidupnya.”
“Kurasa yang anda maksud adalah untuk menghindari pantauan mereka, bukan?”
Teropong para anjing pemerintah mengarah ke sini, atau lebih tepatnya, ke pakaian hitam abu-abu khas aparat StigCell yang legal, atau setengah legal.