Venture into Turmoil

Jose Justin
Chapter #5

Dendam

Beberapa pihak militer berpakaian camo berpostur hormat saat Mercedez kami melewati gerbang besar pembatas Istana Merdeka. Bukan kepada sosok di dalam, tetapi lebih ke bendera Amerika yang terikat di kap hitam yang tak memantulkan cahaya.

Pengemudi mobil interior luas ini, seorang StigCell dengan kekuatan pencipta area kedap suara, tampak gugup. Setiap beberapa detik sekali, kacamata hitamnya menoleh ke spion, lidahnya kadang menjilati kulit kering di bibirnya. Senapan serbu di kakinya memang tak bisa dibilang tersembunyi dengan baik, meskipun masuk bersenjata lengkap bukanlah hal yang tabu untuk agen asing. Untuk agen Amerika.

Tangan robotku menyiapkan peredam suara di pistol USP.

Leila yang duduk di sampingnya menoleh ke belakang, tak bersenjata. Mukanya acuh tak acuh. “Kau yakin itu cukup?”

Aku menoleh ke luar jendela. Awannya mendung, kondisi matahari tak mendukung. “Aku harap aku juga bisa menenteng senapan serbu seperti supirmu, Leila.”

“Kenapa? Kau tak pernah dilatih cara memakainya?”

“Sebagai gantinya, aku lebih tahan sakit dari yang dapat kau bayangkan.”

Professional seperti biasanya, ketebalan di balik rompi para penjaga seperti tak menyembunyikan pistol. Pisau mereka tak tersarung dengan benar, dan mata mereka memancarkan semangat bangun pagi.

Mereka bukan veteran.

“Di mana Alfianus dan Angelita?”

“Berburu, mungkin. Kalau intel kita becus.” Berburu manusia, bukan hewan.

Taman dengan tikungan tajam yang dibatasi rumput kotak-kotak setebal satu meter membatasi formasi prajurit-prajurit yang berdiri layaknya patung. Tatapan intens mereka menusuk saat kami melewati mereka, berhenti di parkiran outdoor.

Seseorang berpakaian formal jas dan celana panjang hitam datang membawa payung, dengan sopan mengoperkan pegangannya kepadaku. “Ms. Leila Schmider dan Mr. Executioner. Kami menerima notifikasi anda. Anda ingin bertemu Pak Presiden?”

Leila memiliki profesi samaran sebagai diplomat, dan aku sebagai perwakilan StigCell yang menjadi pengawalnya. Begitulah dongeng penyusupan kami.

Atasan palsuku mengangguk. “Kami punya sejumlah pertanyaan kepada Pak Presiden.”

“Seperti?” Andrian, sekretaris pribadi Presiden, memimpin rute kami masuk. StigCell dengan kemampuan peredam suara mengikuti kami setelah melepas senapan apinya.

“Seperti penggunaan orang Russia untuk kasus yang seharusnya ditangani kami.”

Pria itu membuka pintu kayu bertemakan vintage yang digantung rangkaian bunga, menunjukkan dokumen pengenalnya kepada penjaga. “Pak Presiden tak puas dengan performa sekutu Baratnya.”

“Our sniper is ready, excuse me!” Leila mengencangkan intonasi nadanya saat kami melewati sekumpulan orang berdasi merah. Menteri dan kroni Mahfianus.

Andrian bisu seribu kata, menatapku tajam.

“Penembak jitu kami sudah berada di posisi, Pak Andrian. Alasan kami tak langsung menghentikan mereka adalah untuk membuntuti komplotan mereka.”

Ia masih tak menjawab saat menaiki tangga marmer putih yang melingkari area ruang pribadi Presiden. Jalan lurus terus mengarah ke balkon bundar yang bahkan cukup untuk dijadikan lapangan tenis. Lantai kayu berkarpetkan bulu domba halus melepas wewangian eksotis saat aku menginjaknya, berbelok ke kanan dibawah siluet cahaya kuning retro menuju dua pintu kayu tipis yang klasik.

Leila menatapku, senyum di bibir penuh lipstiknya kecil saat terpantul dari kaca.

“Pak Presiden, ini Andrian.”

Sunyi untuk beberapa detik, jarum detik pada jam tanganku berdetak kencang layaknya denyut nadi.

“Masuklah.” Sebuah suara serak namun berwibawa menembus pembatas kayu.

Andrian mengetuk pintu dua kali, isyarat bahwa ini bukan tipu muslihat musuh. “Sebagai sekretaris kepresidenan, saya berhak mempertanyakan maksud dari peletakkan sniper anda di sini tanpa konfirmasi sama sekali.”

“Kami tak bermaksud keras kepala.” Aku mengeluarkan pistol, menodongkannya beberapa centi sebelum kepala Andrian.

“Lalu, apa maksud ...”

Suara seperti panah ditembakkan melewati telinga, hampir tak terdengar jika bukan karena modifikasi pendengaranku di lab StigCell. Leila bersiul senang.

Andrian bersimbah darah di depan atasannya yang jatuh dengan lutut di tanah.

Mahfianus menunjukku, kemudian Leila dengan tangan gemetar. “K-kalian ...”

“Zaman lama telah selesai. Sekarang, reformasi dipimpin saya.” Ini kata-katanya saat berada di mimbar yang dulu kami persiapkan kepada Raja palsu ini, bukan?

Badan tuanya buru-buru bangkit, berusaha meraih telepon putar klasik di meja kerjanya.

Total tiga lubang bersarang di pelipis dan tengkorak Mahfianus Iffendy.

Ia tersungkur jatuh, mata terbelalak, telepon baru tersambung setelah kematiannya.

Mari kita lihat keberuntunganku.

Jeda satu ketuk.

Dua ketuk.

“Halo?” Suara pria.

Jackpot.

“Alfianus, ini aku, Executioner. Ayahmu tiba-tiba terkena serangan jantung. Segera pulang untuk mengarahkan perawatannya di rumah sakit.”

...

...

...

“Saya Indriana, melaporkan langsung dari TKP pada 15 Juni 1998. Berikut adalah kejadian di jalan Ahmad Yani yang dilansir dari kamera.”

Suara mesin yang mirip manusia terasa jauh, seperti teriakan seseorang yang berenang di pantai. Lemah, namun kau dapat mendengarnya.

Dari sana, visual seorang pria tinggi yang terbaring mati ditutup kain putih, diangkut ke mobil ambulan berwarna loreng, dikawal sejumlah aparat bersenapan serbu. Sebuah lubang di kepalanya disensor sehingga tak menunjukkan kengerian darah pada penonton di bawah umur. Label bertuliskan James Ribbentrop alias Commander/Hydra mengikuti kasur jenazah hingga sosoknya tertutup staff dan awak media yang membelakangi sejumlah massa yang penasaran.

“Sosok teroris James Ribbentrop, lebih akrab dipanggil Commander, telah ditembak mati oleh militer karena tindak kriminalnya dalam membocorkan rahasia negara untuk membantu sel teroris lainnya. Menyusul pada insiden dimana ia diselamatkan komplotannya, pihak StigCell Indonesia dan militer serta kepolisian, dengan bantuan agen asing, berhasil mengejar dan memastikan dia bukan ancaman lagi.”

Video amatir memperlihatkan detik-detik sebuah truk abu-abu menyerempet Jeep kami dan menyerang masuk. Wajahku adalah satu-satunya yang terekspos, dilabeli ‘Lotus’.

Aku menembak dua orang pasukan khusus militer Russia yang masuk, namun gagal menahan tubuh tak bernyawa Commander terselip keluar dari mobil.

“Meskipun teman sekomplotannya berhasil kabur, tetapi kepolisian telah melakukan pelacakan besar-besaran dan menangkap hampir semuanya. Oleh karena itu, masyarakat diharapkan untuk tidak panik dan tetap beraktivitas seperti biasanya.”

Hanya berita lama yang diulang-ulang, namun setiap sudut yang dijepret dari berbagai sisi dan perbedaan intonasi si reporter membuatnya terasa hidup.

Terasa segar, seperti baru saja terjadi kemarin. Seperti mereka masih hidup.

Tiba-tiba aku muntah.

Tak sempat berlari ke kamar mandi, meja plastik yang menjadi satu-satunya furnitur di bilikku menjadi korban cipratannya.

Aku mengelap-ngelap bekas cairan hijau di ujung kukuku. Seperti cipratan darah hari itu.

Ingat, dia tumbalmu agar kau bisa selamat.

Diam, bajingan.

Aku mendobrak pintu kamar mandiku.

Di dalamnya hanya ada sabun, sikat gigi, dan odol hampir habis. Sebuah kloset duduk di tengah, dan bak mandi, lalu pengepel.

Tumpahan di lantai lagi-lagi berwarna merah.

Jantungku berdegup kencang, melihat pintu yang sudah kuborgol beberapa lapis gembok.

Di sana tak ada siapapun.

Tak mungkin ada siapapun disana.

Zero, Enigma, Rot Warden, VI-PEER mungkin akan datang.

Tidak mungkin juga.

Kematian VI-PEER, Rot Warden, Zero, atau Enigma tak pernah ditayangkan di televisi. Mungkin untuk mencegah terlalu banyak kelemahan pemerintah diketahui rakyat biasa.

Negara asing telah masuk, menguasai seluruh Indonesia dari balik bayangan. Russia atau Amerika, sama saja. Sama sekali tak ada kesempatan menang lagi.

Jemariku terselip ke setumpukan buku dibawah sofa yang baru kuselesaikan semalam.

Data orang Russia yang terlibat dalam penembakan, buku kode yang digunakan Executioner dan Marshal Steam untuk memerintah, jumlah dan kontak detail agen Russia, Amerika, dan milik Mahfianus sendiri yang berkeliaran di jalan, apa yang akan terjadi pada hari-hari berikutnya dari pemerintahan ini, dan rencana invasi.

Mereka tersusun rapi, tanpa memberikan manfaat apapun.

Ponselku berdering halus, ringtone lagu tidur yang iseng dimasukkan VI-PEER.

Tak ada niat yang dapat kubangkitkan untuk melakukan sesuatu.

Semua akan berakhir sia-sia saja.

Deringan suara anak-anak yang dimasukkan pak tua kembali berbisik halus, mengingatkan bahwa aku belum makan apa-apa sejak kemarin.

Satu persatu gembok dan rantai terlepas saat aku memasukkan lubang kunci. Keluar dari apartemen kecil yang kusewa di pinggir Jakarta, wig palsu berwarna blonde kurapikan saat aku berjalan menggunakan sandal jepit, dengan baju lusuh dan jeans kumuh.

Lihat selengkapnya