Venture into Turmoil

Jose Justin
Chapter #6

Isolasi

17 Juni, hari-H telah tiba.

Tengah malam telah lewat, meskipun langit masih ditelan kegelapan.

Aku mengetuk pintu setebal tanah di kaki yang kupijak.

Suara halus besi menggesek satu sama lain terdengar.

Wajah familiar muncul dari celah pintu yang kuncinya dirantai.

“Lotus?”

“Bane.”

Masih dengan tatapan sayunya sejak terakhir bertemu, ia menghela nafas.

Satu persatu, rantai dilepaskan dan gembok dibuka. Ruangan segelap gua menyapaku dengan hawa pendingin yang artifisial. Cahaya inframerah menjadi satu-satunya penunjuk jalan, selain lampu pijar yang tergantung di langit-langit yang ditutupi jaring laba-laba.

“Lotus.”

Aku tak melepas stocking, hanya menanggalkan sepatu hak tinggiku.

“Kukira kau tak datang.” Ia mengalihkan pandangan dariku, menggantung jaket wol yang kupakai di gantungan belakang pintu.

Jam dinding menunjukkan dua jam setelah jam pergantian hari, kurang satu menit.

Aku menavigasi langkahku melalui lantai licin yang jelas baru dipel, masih berbau cairan pembersih. Lorong koridor sempit membatasi satu-satunya jalan menuju ruang tamu, sebuah kamar pribadi di sana, tak terkunci.

Aku memutar knopnya sambil berkedip, mengaktifkan penglihatan gelap. Di dalamnya hanya ruangan pribadi berantakan, dengan kasur raksasa dan bekas sachet kopi, lalu remahan buah yang berceceran. Televisi kotak menyala dengan siaran statik berwarna pelangi, meja tulis penuh dengan kertas utuh atau ronyokan, entah berisikan member potensial untuk organisasi EZ, atau intel dari koneksi dengan saudagar kaya.

Tak perlu dibaca. Tak penting untuk operasi masa depan, lagipula orang yang membuatnya sudah tiada.

Aku menutup kembali pintu tersebut dengan pelan, melangkah ke ruang tamu yang kontras dengan pemandangan tadi.

Bersih, rapi, dengan penerangan setara lampu sorot yang digunakan untuk memandu pesawat. Toples-toples makanan berisikan stik coklat dan biskuit kering menutupi mata seorang pria berambut biru kusam yang mendengkur dengan pulas di atas sofa yang pas menyangga kakinya. Dibawahnya, seorang wanita bertinggi kurcaci mengunyah apel hijau, membaca laptop berlatar belakang hitam yang berisi informasi acak, sesekali berpindah ke halaman tentang nasihat dokter tentang tinggi badan.

Dari meja kaca di depan wanita itu, aku menyadari sebuah senyum terbentuk di bibirku.

Setidaknya, rasa kekeluargaan yang pernah ada belum sepenuhnya hilang.

“Kau datang, pemimpin gagal.” Wanita pendek itu menatapku dengan senyum sombong, kata-katanya tanpa racun.

“Seseorang perlu bertanggung jawab untuk kekacauan ini.” Aku mengambil laptopnya.

Lesung pipinya hilang, digantikan muka datar dan garis bibir yang rata. “Kukira kau akan lebih sombong dari ini.”

“Mungkin.”

Isi layarnya adalah arsip percakapan melalui pesan singkat, dengan orang Russia.

Cahaya dari ledakan oranye menembus gorden yang sudah menutupi jendela-pintu geser. Beberapa detik kemudian, disertai guncangan tanah mirip gempa berskala kecil, membawa bau mesiu yang kabur namun tak bisa dihilangkan. Dari atas, baling-baling helikopter yang terbang rendah menggores udara dengan tikungan tajam, suaranya tertutupi intimidasi artileri anti-udara yang dipasang orang Amerika di setidaknya setengah kota Jakarta.

Dua bajingan sama saja.

Sebuah tangan kasar memegang bahuku. Saat berbalik badan, goresan pada matanya tampak menyakitkan. Kebencian dan rasa percaya bercampur di sana. “Lotus.”

“Panggil saja nama asliku.” Aku melepaskan bahunya.

“Rheva. Aku menemukan namamu setelah membaca catatan lama VI-PEER.” Bane mengulurkan sebuah buku note kecil. Sampul depannya setengah terkoyak, beberapa halaman hampir lepas dari kawanannya.

Buku pria humoris itu, eh? “Begitu.”

Aku memasukkannya ke kocekku.

“Tentang rencana kita ...” Linear terbangun, mengelap air liur yang hampir mengenai guling pelukannya. Hera yang baru menyadarinya langsung mengambil seribu langkah menjauh.

“Kurasa kalian sudah tahu intensiku sejak aku memutuskan menemui orang Russia.”

“Mengambil kembali senjata rahasia dari markas Commander. Lagi?” Bane menembakku dengan muka kebingungan.

Aku mengangguk. “Karena itu, aku perlu orang Russia untuk menjadi tameng. Umpan kita.”

“Tapi, mereka bahkan tak pernah menyetujui proposal kita?” Linear mencoba duduk tegak di tengah tumpukan kapas dan bungkusan permen di sofa.

Aku menatapnya dalam diam. Senyum kecil yang puas terpampang di bibir.

Perpaduan ekspresi kejut dan horor ada di mukanya. “Kau ... menghipnotis mereka?”

Tak ada jawaban.

“Oi.” Linear menggeleng kepalanya dua kali. “Bagaimana?”

“Hanya bercanda.”

“Hah?”

“Mereka tak punya pilihan lain. Seluruh dunia penasaran tentang misteri dari penelitian pertama StigCell, dan orang Russia tak akan bisa tahu sebelum mereka menendang orang Amerika keluar. Itulah kenapa Amerika mendahului mereka melakukan invasi. Mahfianus sepertinya menolak untuk memberi tahu bule-bule barat itu.”

“Tentang ... apa?” Linear adalah satu-satunya orang yang masih belum paham dengan keseluruhan gambar puzzle ini.

“Mantan presiden itu sudah lama tahu ada sesuatu lain yang disembunyikan mantan kepala lab Commander sejak tempat tersebut hancur. Ada dua.”

Linear menunjukku. “Kau, si penghipnotis paling menyeramkan yang pernah dibuat di sana. Dan satunya lagi, alat rahasia lain?

Aku mengacungi Linear jempol. “Yup. Ia tak bisa mengerahkan pasukan besar karena akan menarik perhatian dunia internasional. Pasukan elite kecil yang dibentuknya terus digagalkan oleh StigCell yang berafiliasi dengan pemimpin Hydra. Dia tak punya pilihan lain selain menggaet superpower dunia untuk membantunya.”

Mengganti wig palsuku menjadi rambut merah pendek, lensa abu-abu keputihan seperti orang buta didorong masuk ke kelopak mata. Ikat pinggang dikencangkan, Desert Eagle peninggalan Commander siap ditarik.

“Tapi Mahfianus berbohong kepada orang Amerika, lalu dia dibunuh.” Hera menyeletuk.

“Sekarang, giliran anaknya.” Aku meletakkan foto Alfianus Iffendy dan Angelita Iffendy di meja kaca. “Lindungi mereka.”

“Aku tak sudi menyelamatkan orang yang membunuh VI-PEER.” Bane berkomentar.

“Tak perlu sampai sejauh itu. Cukup jaga dia untuk tak membeberkan informasi laboratorium rahasia Commander.”

Bane menatapku dalam diam.

Aku membalas adu tatapannya.

Akhirnya, ia mengangguk.

“Lalu, kami?” Linear menunjuk dirinya sendiri, kemudian Hera.

“Hera ikut denganku untuk bantu staminaku dalam hipnotis nanti. Linear, bantu Bane.”

Lagi-lagi, tatapan dalam diam antara anggota EZ baru.

Tak ada tolakan. Tak ada sanggahan atas rencanaku.

“Lindungi sejarah laboratorium kita. Mereka adalah kunci kemenangan kita.”

Keinginan Commander akan dipenuhi.

“Tapi yang pasti, utamakan keselamatan kalian jika situasi mendesak. Tinggalkan aku jika itu berarti kalian selamat.”

...

...

...

Manusia hidup jatuh dari udara dalam suksesi dekat, menggelapkan langit.

Berat dari zirah khusus buatan peneliti Amerika mulai menghambat pergerakanku. Nafasku terengah-engah saat melakukan tendangan pengecoh kepada seorang StigCell generik dengan kain parasut putih terikat di ransel punggungnya.

Mulutnya menyembur api, membakar bangku jalan saat lehernya kupatahkan.

Dua StigCell generik dengan kemampuan yang tak kuketahui masih berusaha bangkit dari kecanggungan akibat baru mendarat. Kuhantam kepala mereka satu dengan yang lain.

Mengangkat kedua badan mereka, aku melepaskan pin granat di ikat pinggang mereka dan melempar ke arah Leila yang sedang dipojokkan kombinasi pengguna petir dan angin.

Serpihan dari ledakan menguliti lengan wanita gorilla itu, daging merah melotot keluar.

Yah, setidaknya musuhnya mati, sih.

Kami punya jeda beberapa menit sebelum gelombang kedua jatuh dari langit, pesawat pembawa para StigCell penerjun payung sudah menampakkan matahari terik lagi.

Harusnya ini yang terakhir, jumlah prajuritnya juga hanya lima.

“Urgh! Mereka datang terus, para bastards!” Leila bersandar pada punggungku.

“Itu berarti kita sudah dekat dengan mereka, Leila.”

“Kau yakin orang Russia sedang bersama mereka, komandan baru?” Ia menambah nada berat di gelar baruku.

Sial, dia mengejekku.

“Sangat.” Aku mengaktifkan interkom. “Jendral Malcolm, bagaimana geludmu?”

“Kukira ada ribuan interceptor yang mengawal paratroopers, sialan. Misil dan bombers mereka sulit dilawan dengan AA guns saja. Fighter kita tak cukup!”

“Mana AA-missiles kita, sih? Australia bekerja sama dengan kita, kan?”

“Sudah diluluhlantakkan, man. Kau bocorkan rahasia kita ke orang Russia?”

Tch, tak ada mata-mata di orang Amerika. Yang berarti Lotus. “Mana mungkin, bodoh. Intinya, jaga pelabuhan sampai semua ini selesai. Aku tak mau lagi ada fiasco dengan PBB.” Interkom terputus.

Waktunya tepat saat lima orang StigCell terakhir mendarat.

Projektil peluru tak bekerja karena ada semacam pelindung yang disediakan satu StigCell yang paling cepat dalam mengambil kuda-kuda. Bersandar di sebuah truk terbalik, ia melindungi temannya yang sedang membakar parasut yang berserakan.

Mendekat dengan cepat, tinjuku disambut punggung tangan seseorang yang berjenggot tebal. Genggamannya hampir membantingku seandainya aku tak menghilang.

Ekspresi kebingungannya adalah yang kubutuhkan untuk menendang wajahnya.

Diblok oleh seseorang lainnya yang berbadan kekar.

Tanganku yang lain melepaskan sarung pisauku dan memutuskan pergelangannya.

Masih mendengar teriakan kasarnya, aku menjatuhkan pisau dan menarik pelatuk pistol USP. Asap putih tampak lebih jelas dibanding suara tembakan yang diredam.

Masing-masing dua peluru bersarang di dahi kedua StigCell generik ini.

Leila juga sudah membersihkan tiga orang lain, lumuran darah mewarnai sarung tangannya.

“Kau yakin mereka di sini? Kudengar anak perempuan Mahfianus punya kemampuan tracking posisi.” Luka di lengannya sudah pulih, meninggalkan bekas jasnya yang terkoyak.

“Kami belum pernah tatap muka selama 24 jam. Angelita tak bisa menemukan lokasiku.”

“Dan umpanmu kepada Alfianus dari telepon?”

“Kota ini ada pada tangan kita. Kau pikir ia bisa lari hanya dalam setengah jam?”

Leila mengangguk, akhirnya setuju dengan logikaku. Mengambil posisi di depanku, ia yang pertama masuk ke terowongan bawah tanah di depan rumah mewah dekat pesisir pantai. Aku mengikuti sambil mengaktifkan kemampuan menghilangku, mencubit hidung untuk mengusir bau busuk air comberan.

Aku melambatkan nafas. “Terowongan ini mengarah ke pintu rahasia menuju bandara.”

Leila mengangguk, bahasa tubuh intens dan waspada.

Ia menoleh ke belakang, sosokku yang menghilang terpancar kamera inframerah. Bagian zirah dadaku gelap, terkontras lampu pijar di langit-langit terowongan yang rendah.

Hawa busuk menyertai hantu apapun yang bersembunyi di sana.

Apapun yang dilihatnya, aku hanya berharap ia melakukannya sambil berjalan ke depan. Terowongan ini memiliki banyak liukan, namun tak ada jalan terpisah.

Dari ujung belokan, sebuah moncong pistol ditodongkan ke Leila.

Sebelum tembakan sempat dilepaskan, Leila sudah merangkak ke samping, hampir menceburkan dirinya ke rawa sampah saat ia mentekel seorang pria berjas hitam.

Tubuhnya tumbang, mulutnya membentuk teriakan saat aku menarik pelatuk senjata api.

Di belakangnya, dua temannya melontarkan makian bahasa Russia, membabi buta dengan senapan serbu.

Lompatan sana-sini Leila membuat cipratan mirip tsunami ke mana-mana.

Mengaburkan pandangan musuh, ia membawa satu wanita turun ke air dan menahan lehernya. Temannya yang ragu untuk menembak Leila atau aku yang mengacungkan USP, memberiku waktu untuk menghajarnya ke tanah dan mendudukinya.

Rontaan kedua lengan dan kaki dari wanita terakhir itu berhenti setelah beberapa menit.

Leila menghela nafas. Begitu juga aku.

Tidak dengan pria yang sedang kududuki. Kepala kinclongnya digantikan rambut putih lebat, dengan wajah tampan layaknya anak orang kaya. Hidungnya mancung, mimisan saat kedua tangannya kukunci di tanah.

Alfianus tertangkap.

Angelita, adik perempuannya yang berlari sekuat tenaga ke jalan keluar berupa pintu besi dengan tuas putar dan gembok sebesar bola, dikejar Leila dengan lari ala militer.

“Durhaka juga kau, Alfianus. Ayahmu terkena serangan jantung dan kau tak kembali.”

Lihat selengkapnya