Ribuan orang berkumpul di bawah lapangan tanpa atap, seperti kawanan semut yang diperintahkan untuk berhenti oleh pimpinannya. Keringat membasahi punggung, gerah dan pengap menjadi tak tertahankan, dahaga pada tenggorokan tak dapat dihilangkan dengan satu dua teguk air mineral kemasan.
Kegetiran mereka terpusat pada gedung besar bergerbong-gerbong yang menjalar layaknya kereta api, dengan polesan dinding mewah dan ruangan berkaca-kaca yang telah menjadi sejarah masa lalu.
Tayangan tanggal 20 Juni itu tidak kurang dari sebuah oasis keajaiban.
Orang-orang mendongakkan kepala ke gedung Jakarta Convention Center, menanti keluarnya pemimpin baru mereka. Pemimpin kharismatik yang mampu mengusir pengaruh asing dan memonopoli penggunaan StigCell untuk kebaikan orang-orang.
Tidak, bukan itu.
Tak ada yang menyangka bahwa manusia yang seharusnya telah berada dalam kubur akan bangkit lagi.
Habibie, dengan postur tegap gagah, dikawal beberapa orang yang pastinya bukan pion Mahfianus Iffendy, mendekati mimbar bicara, menyorot kamera dengan tatapan tajam. Mengenakan batik, terdapat sedikit ketebalan di baliknya, rompi anti-peluru. Pegawai negara berpakaian rapi hitam menemaninya dari belakang, bunga-bunga putih dan ungu bertebaran menghiasi aula. Tamu kehormatan, orang lokal atau asing, berdiri menyambutnya, namun dengan cepat dihentikannya dengan sebuah gestur tangan.
“Saudara-saudari mungkin bingung tentang kemunculan saya. Saya berhasil selamat dari penembakan waktu itu, dengan dibantu orang-orang lokal dan asing yang identitasnya mereka ingin saya rahasiakan. Tapi, hari ini bukan berfokus pada itu.”
Teriakan dan tepuk tangan gembira penonton berkontras dengan suasana live waktu itu. Dulu suram dan penuh dengan insting haus darah, sekarang damai dan penuh pengharapan.
“Saya mengutuk invasi yang dilaksanakan Amerika, Russia, dan sekutu. Mereka datang untuk menguasai aset StigCell yang ditinggalkan di sini. Indonesia mengutuk keras, namun tetap memilih jalan damai dalam penyelesaian masalah. Jangan diskriminasi para orang luar, tetap fokus untuk berbenah dan perkuat kekuatan kita. Saya bersama anda-anda sekalian.” Suara Habibie tenang, raut wajahnya kalem saat menundukkan kepalanya.
Riuh ricuh rakyat yang mendengarnya membuatku mengecilkan volume televisinya.
Dari sudut buta mata kiriku, Hera menempelkan sekaleng soda dingin ke pipiku.