Setelah memesankan bakso 3 mangkok untuk Pak Asoy, Ayana berputar mengelilingi sekolah mencari keberadaan Satya yang memang sudah menghilang sejak Ayana menyusul. Langkah cowok itu benar-benar tak mampu terkejar oleh siapapun. Kehilangan jejak seperti ini bukan kali pertama bagi Ayana. Namun tetap saja akhirnya Ayana tahu ke mana cowok itu. Ada satu tempat yang terkadang suka dia kunjungi. Gudang belakang sekolah. Hanya tempat itu satu-satunya yang belum Ayana pastikan setelah seluruh tempat yang biasa Satya jadikan tongkrongan bersama kesendiriannya.
Langkah Ayana cepat-cepat menelusuri jalan menuju gudang belakang. Melewati UKS, Perpustakaan, kemudian ruang Laboratorium dan lorong kosong gelap menuju jalan gudang belakang sekolah. Ayana sudah beberapa kali pernah datang ke tempat ini, jadi dia sudah sedikit tau kondisinya. Biasanya tempat itu menjadi salah satu jalan untuk siswa yang berniat membolos.
Dari sini Ayana bisa melihat Satya yang tengah berdiri sembari menatap ke atas langit yang cerah dengan mata terpejam. Tak berniat menghampiri atau mendekat, Ayana lebih suka berdiri menyaksikan Satya dalam jarak yang jauh. Punggung cowok itu berdiri tegap, wajahnya terlihat begitu terang apalagi dengan dukungan cahaya matahari yang cukup terbilang panas hari ini. Walau begitu Satya akan tetap jadi cowok ganteng yang tak pernah bisa luntur.
“Suka banget ya sendirian di tempat yang gak banyak di kunjungi orang?” Ayana memutuskan bersuara dengan terus memperhatikan Satya yang kali mengubah posisi jadi menunduk dengan kedua tangannya yang masuk ke dalam saku celana.
Tak berapa lama Satya berbalik badan tapi bukan untuk menoleh atau menghampiri Ayana, melainkan untuk pergi meninggalkannya tanpa mau menatap sedetikpun ke arah Ayana yang kini hanya mampu mendesah lesu.
“Untung sayang.” Gumam Ayana.
Kebiasaan Satya ini memang suka banget berkunjung ke tempat yang sepi. Berbicara juga langka kalau gak dalam keadaan yang mendesak atau memang membuatnya tak punya pilihan. Satya itu benar-benar jadi cowok dingin yang tak tersentuh.
Percaya gak kalau selama 2 tahun lebih mereka satu kelas belum pernah sekalipun Ayana punya kesempatan berbicara lebih jauh dengan Satya?
Tapi memang kenyataannya begitu. Kalau di hitung sudah lebih dari puluhan ribu Ayana mengajak Satya bicara dan hasilnya tertolak oleh Satya. Diamnya Satya mengartikan kalau cowok itu menolak.
“Woi cowok Venus, tungguin napa!” Ayana kembali mengejar langkah Satya yang sudah semakin jauh. “Gak capek apa lari mulu dari gue?”
“Gue capek tau ngejar lo, tapi gue gak mau nyerah sebelum lo nyerah lebih dulu.” Cerocos Ayana tanpa henti meskipun sama sekali tidak mendapat respon dari Satya.
Ya beginilah Ayana, yang rela kehabisan napas hanya untuk mengejar langkah Satya yang terus menjauh. Tak pernah ingin berhenti untuk terus berbicara meski sering kali hanya mendapat balasan transparan alias tak terlihat dan tak terdengar. Tapi Ayana sangat suka melihat kehadiran Satya dalam kondisi apapun asal itu masih terjangkau dalam pandangannya.
° ° °
“Abis dari mana lo?” sergah seorang cowok begitu Ayana sampai pada belokan kantin.
“Gak perlu jelasin juga lo tau kok.” Jawab Ayana menatap Kai nama dari cowok itu dengan malas. “yang lain mana?” sambungnya begitu sadar hanya ada Kai sendiri di sini.
“Ucup masih sidang di ruangan pak Asoy, Yole ada urusan sama OSIS yang lain.” Jelas Kai.
Ayana hanya mengangguk kemudian berjalan mendekat pada salah satu warung yang ada di kantin ini untuk beli beberapa camilan sebelum jam istirahat di mulai. Ayana gak mau repot-repot berdesakan dengan murid lain hanya untuk sebuah makanan. Untung saja guru Sejarah itu keluar lebih cepat 20 menit sebelum jamnya. Mungkin pak Asoy sudah terlanjur gatal untuk menceramahi Ucup.
“Di gudang ada Gema, Ay?”
Ayana menggeleng menjawab pertanyaan dari Kai sembari mengambil selembar uang dari saku seragamnya untuk dia serahkan pada Ibu penjualnya.