Cikarang, 2021
Dan akhirnya waktu demi waktu berlalu. Tak terasa sudah dua puluh satu tahun berlalu sejak Aan pindah ke Solo. Dan aku? Ya! Aku GAGAL mencari tahu kenapa dia mendadak berubah saat itu. Ah! Ditambah pekerjaanku sebagai interpreter bahasa Jepang yang sibuknya sudah seperti kepala mau pecah ini, bikin aku makin tidak sempat memikirkan masalah nyebelin itu. Tapi jangan kalian kira selama dua puluh satu tahun aku tidak usaha apa-apa lho. Aku sudah cari info sana-sini. Neli, Risa, Ima, sampai ke Tante Rosa—Ibunya Aan yang cantik dan modis itu, aku wawancara semua. Tapi hasilnya? NOL!
"Fiuuh. Kok gue jadi kangen yaa sama tuh orang. Sekarang, pasti lagi kerja juga ...." Mataku menerawang ke langit-langit yang ada noda bocor. Pikiranku melayang kembali ke masa-masa sebelum Aan pindah. Saat aku masih baik-baik saja dengan Aan. Saat dia datang ke rumahku bermain rumah-rumahan. Saat aku deg-degan mengantar bingkisan selametan adikku Satrio yang sukses menginjak usia setahun. Saat aku ....
"Kamu sedang apa, Tia san[1] ?"
Grereeek! Jdag! Aduuuuh. Kakiku membentur sisi depan meja dan kursi berodaku juga sukses bergeser jauh dariku saat mendengar suara rendah seorang cowok. Bahasa Indonesia yang kaku ala orang Jepang, aku kira dia bosku—Kuriyama san. Eeh, ternyata manajer Akunting yang juga orang Jepang—Takahashi san. Huh! Bikin kaget saja!
"Ahahaha ... kamu tidak perlu kaget seperti itu yaa." Takahashi san yang masih muda itu tertawa sambil menyeruput sesuatu dari mug.
Yaps, aku cuma bisa ketawa. Yaah lebih tepatnya ketawa meringis. Enak banget dia bisa ketawa sambil minum di depan orang yang sedang puasa Senin sepertiku! Aku juga sedang galau memikirkan Aan sialan itu. Tapi ...aku kan tidak mungkin marah-marah pada Takahashi san. Kenapa? karena secara tidak langsung beliau ini atasanku! Apalah aku yang hanya Senior Officer ini.
"Banyak kerja, ya?"
"Iya. Ahaha ..." ah, aku jawab saja sekenanya supaya beliau pergi. Tapi ....
"Saya juga banyak kerja tapi kopi dulu."
Siapa yang nanya? Begitulah rutukanku dalam hati. Tapi ... hatiku tidak bisa memungkiri kalau cowok ini keren juga. Usianya aku taksir sudah pertengahan tiga puluh, tapi wajahnya masih baby face alias masih awet muda. Walaupun pakai seragam yang sama denganku, tapi tetap saja dia kelihatan paling beda diantara cowok muda atau bapak-bapak di kantor. Bahasa Indonesianya juga lancar jaya—yaah walau masih belepotan bin kaku bagai robot uji coba sih, dan kadang kebalik-balik juga. Hihihi. Oia, satu lagi. Paling rempong kalau tugasku harus menemani beliau. Kenapa? Karena pasti ada saja cewek-cewek kepedean yang datang minta foto bareng! Padahal masih jam kerja lho! Yah, tapi memang ku akui wajah Takahashi san ini memang bagaikan idola-idola ganteng Korea.
"Enak yaa bisa minum kopi. Saya ... puasa. Pu.a.sa bahasa Jepangnya danjiki." Aku sengaja menyindirnya supaya beliau pergi. Terkabul! Yaah, cuma menjauh sambil menjauhkan cangkir kopinya dariku sih. Tingkahnya kadang aneh juga.
"Minta maaf, ya. Saya tidak tahu kamu puasa."