Verleden

A.M.E chan
Chapter #5

Ini Mesin Waktu?! Riau, 1942

Mereka bertiga telah masuk ke dalam gedung. Kepala Gerald bergerak ke kiri-kanan seperti mencari sesuatu. Giliran kami deh yang bingung melihat si hologram ini. Untung saja sekarang sudah larut malam, jadi jarang ada pegawai yang lewat. Bisa dibayangkan kalau ada seseorang yang lewat dan melihat wujud Gerald? Pasti langsung kabur dikira penampakan.

"Disini nggak ada komputer? Harusnya tahun 2021 sudah ada komputer kan?" Gerald akhirnya membuka pembicaraan.

"Kamu ini nanya atau menghina sih? Yaa jelas ada lah! Jadi daritadi kamu nyari komputer. Bilang dong." Aku geleng-geleng kepala, lalu langkah kakiku dan Takahashi mengarah ke ruang General Affair.

"Waaah! Komputer jadul! Luar biasa!"

Aku tahu sih Gerald pasti jujur ngomong begitu, karena tadi kan dia mengaku datang dari masa depan. Padahal semua komputer yang ada disini menggunakan komputer terbaru, LCD tipis dan tentu saja Pentium terbaru.

"Memangnya di masa depan komputer seperti apa ya?" Dengan bahasa Indonesia kaku khasnya, Takahashi san penasaran.

"Hmm, pakai sinar ultraviolet. Jadi memanfaatkan energi matahari yang disimpan dalam suatu remot dan diurai menjadi layar komputer. Jadi cukup tekan tombol pada remotnya, nanti muncul deh layar dan keyboard nya."

Penjelasan Gerald cukup bikin aku mabok--pusing memikirkannya. Tapi bagi Takahashi san ini seperti ilmu baru baginya. Matanya masih berbinar-binar menatap Gerald yang sedang mengamati komputer kerjaku.

"Hmm, sepertinya komputer ini bisa dihubungkan dengan mesin waktuku itu."

"Mana? Mana mesin waktunya?" Aku dan Takahashi san kompak mengutarakan rasa senang.

"Kotak yang dipegang Tia itu," jawab Gerald santai.

"Ini ... time machine?" Tuh, kening Takahashi san saja sampai berkerut menatap kotak kayu yang aku pegang.

"Iya. Kotak itu seperti penghubung dengan komputer super cepat di ruang penelitian supaya mesin waktunya bisa berfungsi dimana saja. Ah, Tia bisa tolong pasangkan listrik ke komputer ini dan lakukan apa yang ku pinta?"

Waduh!? Aku sama sekali tidak mengerti soal komputer! Yaa aku cuma bisa gigit jari dan memandang melas ke arah Takahashi san. Lho kok yang ditatap cuek-cuek saja sih? Bukannya ge-er nih, biasanya kan dengan wajah ramah dan senyum baiknya, beliau pasti bertanya padaku. Tapi ini? Jangankan senyum, menengok saja tidak! Matanya terus saja berbinar-binar tajam menatap kotak kayu yang ku pegang! Memangnya segitu antusiasnya kah dengan mesin waktu?

"Saya mau coba, boleh ya?" Takahashi san sudah duduk saja di depan monitor sebelum dikasih izin oleh Gerald. Yaa, Gerald sih cuma angkat bahu saja. Mungkin karena dia tidak peduli siapa yang membantunya. Karena yang terpenting, mesin waktunya bisa dihubungkan dengan layar komputer yang ada disini.

"Tia san."

"Ah! Haik!" Aku reflek menjawab panggilan tiba-tiba Takahashi san. Lagipula, beliau sama sekali tidak menengok ke arahku. Benar-benar nih, Takahashi san sudah tenggelam dalam keantusiasannya.

"Saya tidak begitu bisa bahasa Indonesia. Jadi, Gerarudo san no kotoba wo yakushite kudasai."[1]

"Hai, wakarimashita," [2] jawabku dengan kaku.

Woow! Tangannya terampil banget menyambungkan kabel dari kotak kayu itu ke LCD komputer! Cepat banget pula mengetik tombol-tombol keyboard! Memang yaa kalau soal elektronik, orang Jepang jagonya! Lihat saja! Monitornya sudah mulai memunculkan lingkaran hijau aneh yang berputar-putar. Padahal, aku rasa nih terjemahanku juga seharusnya tidak seratus persen tepat.

"Oke, udah cukup. Terimakasih, Takahashi. Nah, sekarang tulis tahun yang ingin kalian tuju di layar itu."

Aku memandang Takahashi san begitu juga dengan dia. Kami saling berpandangan agak lama. Kalo aku sih ingin langsung kembali ke tahun 2000, saat masalah Aan muncul. Saat dia tiba-tiba berubah dingin padaku di hari kepindahannya. Aku berharap sih, semoga Takahashi san menyerahkan pilihan padaku. Sungkan saja kalau aku langsung main tulis tahun yang aku inginkan. Soalnya kan aku juga menghargainya sebagai atasan di kantor. Ditambah lagi, beliau juga sih yang sudah sukses mengaktifkan mesin waktu dengan komputer sebagai medianya.

Takahashi san menulis angka di layar dengan telunjuknya. Seribu sembilan ratus empat puluh dua. Hah? Mau ngapain beliau ke jaman sejarah? Heloo?! Tidak mungkin kan mau belajar sejarah langsung saking senangnya bertemu mesin waktu?

"Hmm ... Takahashi san. Kok tahun 1942? Kenapa ingin pergi ke tahun itu?"

"Saya ingin memastikan sesuatu."

Hah? Memastikan apa? Nenek buyutnya nikah sama kakek buyut pujaan gitu? Atau memastikan sejarah negaranya? Ah, tidak tahu ah gelap! Ditambah lagi, Aku merasa pusing melihat lingkar-lingkar hijau di monitor yang bergerak-gerak. Aku merasa agak takut juga sih kalau monitor ini benar-benar mesin waktu Gerald. Reflek, kakiku mundur beberapa langkah. Rasanya ingin pingsan-ingin kubur diri atau kabur saja deh yang gampang. Tapi, tanganku seperti ada yang menggenggam. Takahashi san? Masa iya beliau tahu kalau aku berniat kabur?

"Tolong temani saya. Jangan takut. Zettai Tia san wo mamoru kara."[3]

"Ah! Sebelum itu ..." Gerald menurunkan tasnya dan merogoh-rogoh sesuatu. Kemudian, ia mendapati semacam tabung kecil berisi banyak kapsul.

"Kalian minum ini dulu ya. Ini obat pencegah penguraian. Biar nggak jadi hologram sepertiku. Sebenernya sih nggak minum juga nggak pa-pa, tapi bakal makan waktu lama untuk kembali ke wujud manusia."

"Berapa lama?" Tanya Takahashi san. Sepertinya Takahashi san sebisa mungkin tidak mau minum obat mencurigakan itu. Takut narkoba. Apalagi Gerald makhluk tidak jelas yang baru ditemuinya.

"24 jam."

Takahashi san seperti berpikir keras. Kepalanya menunduk, terkadang menengadah ke atas. Yaah, wajar sih. Aku juga takut. Jangankan minum obat tidak jelas itu, mau coba mesin waktunya saja pikiranku sudah memberikan gambaran-gambaran kemungkinan terburuk.

"Oke, aku minum. Tia, Anda minum juga ya. Hologram (baca: horoguramu) mengerikan ya."

Aku pasrah. Kalau Takahashi san sudah memutuskan, aku yakin hasilnya akan baik-baik saja. Menurutku, orang Jepang kalau mengambil keputusan pasti tidak sembarangan. Tadi saja beliau seperti berpikir keras begitu. Jadi, aku memutuskan untuk percaya beliau.

"Oke, siap ya. Tempelkan telunjuk kalian di layar itu."

Benar-benar pasrah saja deh jariku menyentuh layar, begitu juga dengan Takahashi san dan Gerald. Beberapa saat kemudian, dunia serasa berputar. Cahaya putih seketika itu menyilaukan mataku. Ruangan jadi tak berbatas tak bersudut. Luaaaas sekali bagaikan ruang angkasa! Setelah itu semuanya menjadi gelap.

Sebenarnya ... sebenarnya apa yang sedang terjadiiii?!

*****

Lihat selengkapnya