Verleden

A.M.E chan
Chapter #7

Dilema Orang Jepang: Takahashi vs Letjen Moritaka

Cprot! Hah? Apaan ya ini? Aku merasa seperti menginjak sesuatu yang lembek-lembek gimanaa gitu. Astaga naga! I ... ini ...? kotoran! Kurang ajaaaar! Ya, bagus sekali! Sepatu kerja yang aku sayang-sayang, semir setiap hari, belinya juga mahal eeeh, harus tragis dengan menginjak kotoran! Lagian juga, siapa sih yang menganggap hutan ini tuh wc darurat?! Aku menangis meratapi sepatuku. Sepatu pantofel kulit asli, berhak tiga senti dan berwarna hitam cantik yang aku beli setelah usaha keras mikir, tawar-menawar sambil nyolot dan muter-muterin outlet selama tiga jam, harus mengenaskan dengan ketempelan benda paling menjijikan di dunia! Nasiiib ... nasiiiib.

"Ano oranda jin doko ka naa? Hayai naa ..."[1]

SET! Lupakan soal sepatu kena kotoran dan aku langsung menyembunyikan tubuhku di balik pohon besar. Ada dua tentara Jepang yang akan datang ke arahku. Aku berdoa sama Tuhan dalam hati semoga tentara Jepang itu ... Ya! berhenti tepat di balik pohon tempatku sembunyi?! Baguuuus! Sekalian saja muncul di depan hidungku! Aku menangis lagi. Doaku tidak terkabul. Wajahku sudah tidak karuan jeleknya seperti apa saking ketakutan. Jantungku bukan lari maraton lagi, ini mah sudah seperti amblas saja ke dasar jurang. Hidup-mati-hidup-mati. Kalau tentara-tentara itu cepat pergi berarti hidup kalau ketahuan yaa mati. Begitulah hatiku bukannya ngasih support malah menakut-nakuti. Apalagi saat aku mendengar percakapan mereka, kalau aku dan Takahashi san juga jadi target pencarian mereka! Duh, tambah disko lah hatiku ini. Ah! Mataku berbinar-binar saat melihat dua tentara menyebalkan itu pergi. Alhamdulilaah! Aku menepuk dadaku dan ... BLEP! Mulutku tiba-tiba dibekap! Siapa? Tentara Jepang? Moritaka san? Aku ketahuan ya? Aku ketahuaan! Tidak! Aku tidak mau matiii!

*****

KRAUK! Aku gigit jari-jarinya sampai si empunya jari mengaduh kesakitan dan melepaskan bekapannya. Mampus lu! Eh? Mukaku langsung pasang wajah cengok saat melihat orang di depanku. Gerald?! Aku reflek bungkuk-bungkuk ala orang Jepang punya salah besar.

"Ah, udahlah nggak usah sampe segitunya. Gigitan lo nggak beracun kayak ular juga kan?"

HAHAHA. Harus yaa pake ngeledek di tengah perang begini? Di tengah ketakutan begini? Yaa, tapi memang salahku juga sih karena sudah menggigit telapak tangannya. Lagian dia main bekap mulutku saja! Dia bilang alasan dia membekap mulutku tuh supaya tidak kaget lebay saat melihat dia. Kenapa harus kaget? Wujud dia kan sudah manusia bukan hologram lagi. Eh? Lho ...

"Gerald! Le ... lengan kamu ..."

"Ah, keserempet dahan pohon pas kabur tadi."

Bullshit! Bohong! Tipu! Dusta! Aku ungkapkan semua kata itu dalam hati. Memangnya dia sedang berbicara dengan anak TK? Percaya begitu saja itu luka gara-gara kena dahan pohon? Lagipula, mana ada sih kejadian dahan pohon bisa bikin lengan sampai berdarah gitu? Aku yakin itu kena sabetan samurai tentara Jepang. Aku melepaskan kerudung biruku. Aku kan pake kerudung daleman, jadi tidak masalah deh kalo aku jadikan kerudung biruku untuk membalut lukanya. Seram juga sih lihat luka terbuka di lengannya.

"Dankjewel." [2]

"Hah?"

Dia tidak menjawab respon tidak mengertiku. Tiba-tiba saja ia mendekatkan wajahnya ke wajahku. Kenapa sih dia? Memang di wajahku ada tompel? Ada kutu? Budukan? Kenapa dia melihatku sampai begitu? Duuh, di saat begini jantungku malah jedag-jedug main tinju. Wajah ganteng maskulin Gerald dengan keringat yang masih tersisa tipis di dahinya ... dekat banget!

"Ngerasa nggak kalo dari tadi bau kotoran?"

Blusssh! Mukaku jadi seperti buah tomat yang direbus. Kurang ajar sekali si Gerald ini. Aku tahu Gerald tipe orang tidak bisa melawak alias perkataannya ini seratus persen pasti jujur. Aku cengok mulutku mangap. Dengan malu-malu, ku lepas sepatu yang sudah 'tewas' kena kotoran sialan itu.

"Sepatuku. Sepatuku menginjak kotoran." Aku menunduk. Malu-maluin banget sih akuuu! Sudah lega bisa ketemu Gerald, eeh tapi dalam keadaan bau kotoran. Sepertinya Gerald sama sekali tidak tersenyum apalagi tertawa. Dia tingak tinguk mencari sesuatu. Dia ambil banyak daun kering dan dahan pohon kecil.

"E ... eh?! Ng ... nggak usah Gerald!"

"Udah lo liat aja deh. Mumpung gue lagi nggak ada kerjaan nih. Mau gerak juga nggak bisa kan karena banyak tentara Jepang nyebar di hutan ini?" Masih dengan efek permen bahasanya, dia membersihkan sepatuku dengan dedaunan kering itu. Waah, aku terdiam. Di mataku sekarang ini...Gerald bagaikan seorang pangeran. Perawakannya lolos standar banget untuk tipikal pangeran negeri dongeng. Tinggal tambahin baju kerajaan, jubah, mahkota dan ...

"Mitsuketa!"[3]

Khayalanku tadi langsung lumer kebawa kata-kata menggelegar seorang tentara Jepang. Kayak hantu banget sih lu! Muncul dadakan, merusak khayalan orang, plus bikin kaget dan ... dan ... parahnya kami tidak bisa berbuat apapun. Tubuhku kaku, tubuh Gerald juga sepertinya kaku. Mungkin saking kagetnya tiba-tiba tuh orang gila perang muncul tanpa permisi di depan kami. Mana mereka mengarahkan samurainya ke arah kami segala lagi!

Lihat selengkapnya