Verleden

A.M.E chan
Chapter #8

Masa Lalu Takahashi, Magelang 1995

"WADAW!" Aku menjerit saat tubuhku tiba-tiba membentur sesuatu yang keraaas banget bagaikan batu! Untung masih selamat. Hup! Aku langsung bangkit dengan susah payah. Encok, boo. Sakit pinggang, sakit punggung, sakit bahu dan ... HAAAH?! Mataku langsung melotot saat sadar dimana aku sekarang. Undakan batu-batu hitam. Memang batu lho!

"Pasti sakit ya."

Set! Suara yang bikin orang pengen nyumpel mulutnya pakai cobek sambel geledek ini pasti ... tuh kan benar saja si mulut pedas Gerald! Gerald dengan wujud hologramnya. Hih, dasar licik! Enak banget dia tidak merasakan sakit encok sepertiku.

"Kenapa kamu nggak minum obat anti pengurai?" Aku mengutarakan rasa penasaranku pada Gerald. Kok doyan banget jadi hologram daripada wujud manusia? 

"Kamu pasti ngerasain sendiri kan sakitnya jatuh membentur batu? Aku nggak mau ambil resiko badanku kesakitan. Jadi aku lebih milih jadi hologram. Toh nggak selamanya aku jadi hologram. Ngomong-ngomong, candinya bagus, yaa. Aku suka tempat ini." Ooh! Aku baru sadar! Setelah aku lihat-lihat ternyata ini Borobudur! Aku manggut-manggut. Baru sadar, sekarang ini kami sedang berada di Magelang. Kota yang paling aku sukai kedua setelah Bandung. Ah! Kepalaku langsung tengok kiri-kanan mencari Takahashi san. Lho kok nggak ada?

"Takahashi san kemana?"

Gerald mengedikkan bahu. "Nggak tau. Aku belum liat dia."

Mukaku langsung berubah pucat. Jangan-jangan Takahashi san ketinggalan di jaman penjajahan Jepang?! Aku gigit-gigit kuku saking khawatirnya. Takut banget membayangkan kalau memang benar begitu. Dihukum gantung? Tembak? Atau...dipenggal? Hiiii!

"Yaah parnoan deh. Lo emang parnoan gini ya? Bukannya cari-cari keliling dulu kek?"

Aku menoleh garang segarang Bu Breda—penjual warteg dekat rumahku kalau sedang menagih hutang ke tukang ojek. Apa tidak bisa kata-katanya tuh dilembutkan sedikit?

"Heh! Kalo mau ngejek sekalian aja. Nggak usah setengah-seteng ..."

"Tuh, suami lo. Hahahaha, ini istri saya Keiko! Sumpah! Akting Takahashi luar biasa sekali!"

Bluush! Mukaku memerah! Ternyata dia dengar perkataan Takahashi san saat dikepung tentara Jepang! Kurang ajar! Kan aku jadi teringat lagi! Ah, cuek saja deh! Aku menoleh ke arah yang ditunjuk dengan dagunya yang panjang itu. Takahashi san ngapain sih berdiri mematung di undakan paling bawah? Aku malas menduga-duga, langsung saja aku susul ke bawah.

"Takahashi saan! Anda sedang ..."

Oh, my God! Takahashi san menangis! Gerald yang mengekor di belakangku pun sepertinya ikut kaget saat melihat sebutir air mata turun di wajah beliau yang kuning bersih. Beliau kenapa sih? Jangan-jangan sakit encok gara-gara dilempar mesin waktu Gerald? Atau jangan-jangan...sepatunya kena kotoran kucing seperti nasibku? Mataku melorot ke bawah memeriksa sepatunya. Bersih kok. Bola mataku kembali naik ke atas memandang wajahnya. Matanya ternyata lurus menatap sesuatu di depan. Apaan sih sampai ditatap penuh penghayatan dan dramatis gitu? Sampai menangis segala lagi. Mataku ikut melihat ke arah yang sedang dilihat Takahashi san. Ada seorang bapak yang masih muda sedang memotret-motret Candi Borobudur. Kalo aku taksir nih, usianya sekitar empat puluh ke atas. Aku berani jamin, bapak ini waktu mudanya pasti ganteng. Tapi tunggu dulu! Kenapa Takahashi san menangis melihat bapak ini?

"Maaf, Takahashi san ..."

Takahashi san sepertinya sangat kaget sampai reflek agak melompat menjauh dariku. Sampai buru-buru juga mengusap-usap wajahnya. Lebay amat! Lama-lama, Takahashi san minta digotong juga ke rumah sakit jiwa!

"Minta maaf, ya Tia san, Gerarudo san. Saya tadi pergi tinggalkan Anda semua."

Bahasa Indonesia belepotan ala Takahashi san sudah balik lagi. Ternyata efek permen bahasanya ada batas waktunya. Matanya kelihatan sedih campur sayu saat menatapku dan Gerald. Gerald sih cuek, aku yang kepikiran. Siapa sih Bapak itu sampai Takahashi san ...

"Papa!"

Set! Mukaku yang tadi sedang menatap wajah Takahashi san jadi belok menatap ke arah bapak tadi. Seorang anak laki-laki berusia sekitar enam tahun dengan cerianya memegang layang-layang berbentuk ikan warna oranye. Iiih! Lucu banget anak itu! Tampan! Putih mulus rambutnya hitam cepak ... Eh? Bentar-bentar deh. Kok rasanya anak laki-laki ini ...

"Jangan-jangan bapak itu ...

"Iya, Tia san. Dia ... papa saya."

"Bagaimana kamu ini. Aku saja sudah sadar dari tadi. Bodoh."

Aku tidak peduli ledekan Gerald. Aku tahu sekarang kenapa Takahashi san menulis tahun 1995. Takahashi san ingin bertemu Ayah yang dirindukannya! Ayahnya kan sudah meninggal. Aku masih ingat kata-katanya saat meminta tolong padaku untuk membantunya mencari pulpen dari mendiang Papanya itu.

"Ayahmu Arkeolog, ya?"

Set! Kepala Takahashi san dengan cepat menoleh ke arah Gerald. Raut mukanya menunjukkan darimana-lo-tau-soal-itu.

"Dia bawa kamera, kaca pembesar, dan catatan. Selain itu, terkadang wajahnya serius menatap ornamen Borobudur. Tidak ada pekerjaan lain selain Arkeolog kan?"

Takahashi san tersenyum tapi ... pahit. Sepahit buah Maja yang aku sendiri belum pernah coba makan. Memang tebakan Gerald salah ya? Huu dasar Gerald sotoy! Kasihan deh lo tebakan lo ...

"Hebat. Ilmuwan ... memang hebat, yaa. Tahu semua. Apa karena kacamata Anda itu?"

Benar?! Aku garuk-garuk kepala bingung. Sebenarnya Takahashi san ini kenapa sih? Tebakannya benar tapi kenapa tadi senyumnya asem banget? Serasa tebakan Gerald tadi tebakan yang tidak ingin didengarnya. Hmm ... jiwa-jiwa penasaranku mulai demo minta kejelasan. Yaah, walau sadar kalau tahu sekalipun tidak ada hubungannya denganku. Tapi apa salahnya kan memberantas rasa penasaranku ini?

Dengan langkah tegap ala komandan upacara tujuh belasan, aku berjalan mantap menuju bapak dan anak yang sedang ceria-cerianya itu. Bodo amat deh sama Takahashi san dan Gerald yang sedang berisik memanggilku untuk menyuruhku kembali. Waah, keluarga Takahashi san sepertinya keluarga idaman nih. Bahagia begitu. Ketawa-tawaaa mulu.

Lihat selengkapnya