Verleden

A.M.E chan
Chapter #13

Fakta yang Menyedihkan

Dunkin Donnuts Grage, Cirebon 2021

Aku sengaja ambil cuti hari Jumat, biar bisa fresh and up to date saat ketemuan sama Aan. Ya, hari ini tepat hari Minggu. Minggu pertama di bulan Oktober tanggal tiga. Setelah seminggu lalu aku dan Takahashi san 'berwisata' menjelajah waktu bersama si Ilmuwan jutek Gerald, badanku serasa rontok sampai ke tulang-tulangnya. Capek banget! Tapi... semua itu tidak mematahkan semangatku yang berapi-api untuk bertemu Aan. Aku memilih tempat duduk di dekat jendela lalu mengeluarkan kaca kecil dari tas ranselku. Kerudung merah mudaku sudah oke tidak ada yang berani miring-miring, riasanku juga cantik banget hasil si jago make up—Mia adikku. Baju gamis terusan warna merah muda yang warnanya lebih tua dari kerudungku pun sudah mantap punya. Siap ketemuaan!

"AAAAAAN!" Teriakanku sukses bikin bapak-bapak genit yang ku sadari daritadi melirikku sambil main mata keganjenan, jadi cemberut saat melihat cowok berjaket abu dengan kaos hitam yang menyembul dari balik jaket, langsung menghampiriku dari pintu masuk toko. Jujur saja nih, mataku berkaca-kaca hatiku terharu melihat Aan versi dewasa sekarang ini. Wajahnya masih manis seperti dulu. Gayanya masih oke punya. Cuma rambutnya saja yang agak beda dengan cukuran ala-ala Robert Pattinson di Twilight. Jadi keliatan lebih dewasa dari versi kecilnya. Namun, bukannya terharu, Aan seperti heran melihatku.

"Lho? Bukannya Mba Elis yang ingin bertemu denganku? Kenapa jadi kamu?"

GLEK! Hampir saja aku keselek cola yang ku minum. Iya juga ya. Saat itu aku memang tidak bilang kalau yang akan bertemu dengannya adalah Aku sendiri.

Oh, tidak! aku lupa bilang ketemu Tia! Pantes lah dia heran yang dateng aku.

"Ngng, Mba Elis tidak bisa datang hahaha. Ah! Ngomong-ngomong, aku nggak nyangka kamu jauh-jauh dari Solo buat dateng kesini!" Aku langsung saja menembakkan kata-kata kangenku. Wajar sih kami saling diam. Lha kan sudah dua puluh taun lebih tidak bertemu.

Aan tersenyum tipis tapi menyejukkan hatiku. "Kamu lupa kalo aku orangnya nggak bisa ingkar janji? Aku udah janji sama sodaramu, Mba Elis. Jadi yaa aku dateng. Masih ku inget lho janjinya. Hebat, kan? Fiuuh, sayang banget Mba Elis nggak bisa dateng."

Aku hanya bisa senyam-senyum keki. Mba Elis? Fiuuh! Seandainya dia tahu kalau 'mba Elis' itu tokoh fiksi alias tidak ada, bakal jadi apa mukanya. Pastinya... dia tidak akan mau bertemu aku lagi. Secara, dia tuh paling benci dibohongi.

"O... ooh gitu ya. Makasih, ya."

Seketika hening. Aan menghirup kopi, sementara aku masih saja makan donat. Kali ini donat green tea.

"Tia..."

"Aan..."

Ups! Kami malah saling panggil nama. Dengan baik hatinya Aan mempersilahkanku bicara duluan dengan gestur tangannya. Lady's first katanya.

"Hmm... aku masih nggak abis pikir sama kamu, An. Kenapa sih dulu kamu cuekin aku, nyindir aku, jutek nggak jelas gitu sama aku? Terus, kamu juga jadi nggak pernah mau main sama aku. Sama Neliii mulu. Kenapa? Ayo jelasin!" Sudah habis rasa sabarku untuk menunggu semua jawaban dari pertanyaanku ini. Aku tidak mau tahu, pokoknya Aan harus jawab pertanyaanku tadi. Masalahnya, sudah bikin aku pusing tujuh puluh keliling sampai melewati puluhan tahun dan kepikiran di tempat kerja! Aku harus tahu jawabannya langsung dari mulut dia!

"Itu jaman kapan, ya?"

Aku reflek melotot. Helooo? Dia tidak kena amnesia kan? Nggak banget deh kalo aku harus ngomong panjang lebar dari awal ketemu dia sampai dia memusuhiku secara sepihak.

"Kalo kamu lupa beneran, sepatu wedges ku ini cukup berat kok buat bikin kamu inget."

"Hahahaha... kamu tuh masih lucu aja yaa."

Lha? Ini orang malah ketawa.

"Aku serius, An! Uuh, gara-gara kamu tau, kerjaanku jadi nggak beres kepikiran tingkah lo dua puluh satu taun yang lalu itu. Ayo jelasiiin." Lho kok aku jadi merajuk manja begini?

Mataku melihat jelas wajah Aan yang penuh tawa tadi, seketika itu berubah datar. Persis seperti yang ku lihat saat menjelajah waktu dan bertemu dengan Aan kecil.

"Aku senang kamu baik-baik aja."

Hah? Aku melongo. Aku tanya apa dia jawab apa.

"Aan..." Aku mulai jengah. Kok berbelit-belit begini sih? Cuma mau jelasin pertanyaanku saja, seperti aku menyuruhnya mengangkat barbel satu ton.

Lihat selengkapnya