Verleden

A.M.E chan
Chapter #19

The Hurtful Facts

Aku turun dari taksi, diikuti Gerald dan Takahashi san. Mataku membulat melihat rumah di depanku. Kecil. Terpencil. Aku menggerakkan kepalaku ke kiri dan kanan. Hanya ada sekitar tujuh rumah yang bentuknya sama persis dengan rumah di depan mataku. Setelah itu hanya ada hamparan tanah luas berumput tinggi. Kenapa Mama dan adik-adikku harus pindah ke tempat seperti ini? Yaah, walaupun tidak kumuh tapi rumah yang dulu jauh lebih baik daripada ini. Aku cuma bingung.

"Tia san. Kami tunggu disini ya." Takahashi san mendorongku pelan mendekati rumah di depanku. Aku mengangguk lalu wajahku kini ku arahkan ke Gerald. Gerald memalingkan muka dan memegangi kepalanya. Tentu saja dengan wajah datar dingin khasnya. Aku membuka pagar dan mengucap salam sebelum masuk ke rumah.

"Saya menyerah." Gerald membuka pembicaraan sembari menatap langit malam yang cukup cerah bertabur sedikit bintang. Takahashi berbalik kemudian memandang Gerald. Takahashi menghela nafas pelan.

"Anda benar-benar menyukai Tia san ya?"

"Kalau saya bilang iya, kamu mau apa?"

Takahashi terdiam. Entah kenapa mulutnya kelu, seperti ada yang mengunci mulutnya. Ia bingung harus menjawab apa. Menurutnya pertanyaan Gerald ini lebih sulit daripada menghitung perpajakan yang biasa ia lakukan di kantor.

"Makanya saya bilang saya menyerah."

"Saya... masih belum tahu. Karena saya belum tahu Tia san menyukai siapa. Biar Tia san saja yang memutuskan."

"Kalau seandainya Tia menyukaimu?"

SET! Wajah Takahashi menegang menatap Gerald. Gerald tersenyum tipis, setelah itu wajah datarnya ia arahkan ke hamparan padang rumput. Terdiam. Membiarkan rambut pirang gondrongnya tertiup angin malam semilir.


"Apa maksud kata-kata Anda ya?"

"Pertanyaan itu suatu saat kamu akan tahu sendiri. Yaah, itu kalau kamu bisa... mengingatnya kembali."

"Hei! Anda bicara tidak jelas apa ya? Apa maksud Anda?"

Gerald hanya diam. Sorot matanya sendu menahan kesedihan yang tidak mereka tahu. Baginya, belum saatnya mereka tahu. Takahashi san menatap Gerald dengan perasaan tidak enak. Ia merasa akan ada hal yang tidak mengenakkan terjadi entah kapan.

********

Mama terkaget-kaget melihat kedatanganku. Mama mengira aku masih di Jepang. Mama memelukku seperti orang tua yang sudah lama tidak bertemu anaknya. Aku jadi makin susah menanyakan soal rumah di kota. Mama langsung membuatkan makanan kesukaanku : Sop Bakso dan Ayam goreng.

"Makan, Nak. Kamu pasti kangen masakan Mama, kan." Mama menyendokkan nasi ke piringku, kemudian sop dan satu potong paha ayam goreng. Masakan Mama masih sama rasanya seperti di tahun 2021. Membuat air mataku reflek mengalir. Sudah lama aku tidak makan masakan Mama karena sibuk merantau di Jakarta.

"Mia, Karin, dan Satrio gimana kabar, Mah?"

"Mia udah punya anak lagi, lho. Jadi sekarang Mia punya dua anak. Kamu tau kan Mia nikah lagi abis cere dari suami yang pertama. Nah, sekarang Mia punyak anak perempuan dari suaminya yang sekarang. Karin alhamdulillah sudah keterima kerja di bank terkenal jadi Teller. Hebat lho adikmu itu! Dari ratusan ribu pelamar, dia salah satu dari delapan puluh orang se-Indonesia yang diterima!"

Aku tersenyum tipis. Lega sekali adik-adikku sekarang sudah memiliki kehidupan nyaman. Ah! Satrio?

"Oia, Satrio gimana, Mah?"

"Satrio... Satrio nggak pa-pa, Nak. Ka... kamu nggak usah khawatir."

Mencurigakan! Tidak biasanya Mama bicara gelagapan. Tandanya Mama sedang berusaha berbohong padaku. Aku menghentikan aktivitas makanku.

"Aku mohon, Mah. Cerita aja. Apapun itu aku siap mendengarkan."

Mama seperti ragu menatapku. Tapi ekspresiku yang menatap tajam Mama ditambah Mama tahu sifat keras kepalaku, pastinya tidak akan bisa menyembunyikan apa-apa dariku secara langsung. Mama hanya menghela nafas pelan. 

"Satrio belum bisa menyelesaikan kuliahnya tepat waktu. Satrio sempat cuti setahun karena down Papamu meninggal. Satrio yang paling terpukul Papa meninggal, sampai tidak sanggup kuliah. Jadi Mama menyarankan untuk cuti dan membawanya ke psikiater."

Lihat selengkapnya