Keesokan harinya, pukul 08.15
Aku melihat Takahashi san berdiri menatap jendela besar yang memberikan pemandangan gedung-gedung tinggi. Aku masih ragu ingin menyapa beliau. Sejak mendengar nasib Jepang di masa depan dari Gerald kemarin, Takahashi san lebih banyak diam. Pada akhirnya kemarin, aku hanya bisa ngobrol dengan Gerald karena Takahashi san terus mengurung diri di kamar seharian sampai melewatkan makan siang dan malam!
"Kenapa nggak disamperin? Samperin aja."
Aku reflek menoleh. Gerald!? Sejak kapan dia ada di belakangku dan bisik-bisik begitu? Ah, ya sudahlah. Aku berjalan pelan mendatangi Takahashi san. Puk! Ku tepuk lembut bahu bidangnya yang membuat beliau membalikkan badannya dengan cepat. Mungkin karena kaget.
"Tia san. Minta maaf yaa saya diam saja. Sekarang saya sudah tidak apa-apa." Takahashi san berkata begitu sambil tersenyum. Fiuh! Syukurlah! Takahashi san sudah baik-baik saja. Yah, walaupun bahasa Indonesianya kembali ke mode pabrik-kaku dengan logat Jepangnya yang khas.
"Kalau kamu udah baikan, makanlah. Aku udah buatkan roti panggang. Kamu kemarin nggak makan siang dan malam kan? Hebat juga masih bisa hidup."
SET! Wajah garangku kini ku arahkan ke Gerald. Dasar raja tega! Cara bicaranya yang menyebalkan tetap saja keluar dari mulutnya.
"Gerald!"
SWIIK! Gerald membalikkan badan lalu berjalan santai ke dapur yang menyatu dengan ruang makan.
"Takahashi san ja... jangan diambil hati ya kata-kata Gerald." Aku meringis keki. Untungnya Takahashi san tipe manusia super baik hati-murah senyum-beraura positif, beliau hanya menggeleng.
"Tidak apa-apa ya, Tia san. Saya justru berterimakasih karena Gerald sudah mengizinkan kita menginap lama. Karakter orang beda-beda, saya harus mengerti."
Aku tersenyum. Luar biasa sekali hatinya, beda dengan diriku yang mudah emosi dan kesal kalau Gerald sudah memuntahkan kata-kata nyelekitnya.
"Tapi... Anda benar-benar sudah tidak apa-apa, kan? Sa... saya khawatir Anda...."
"Tia san. Sebenarnya saya sebagai orang Jepang sudah berpikir Jepang akan tamat, ya. Karena angka kelahiran juga kecil, orang tua banyak. Jadi saya pikir ada masa Jepang akan tamat-zero. Saya cuma kaget ternyata faktor Jepang tamat bukan hanya karena faktor kelahiran kecil, tapi karena perang dunia tiga dan kudeta. Itu apa boleh buat, ya. Jadi saya memutuskan untuk menerimanya. Lagipula di tahun 2115 saya pasti sudah meninggal ya."
"Takahashi san!"
"Hahahahaha. Minta maaf ya. Tabu ya."
Aku mengangguk namun sekaligus lega. Takahashi san benar-benar sudah baik-baik saja!
"Hei! Kalian mau sampai kapan disana! Gue makan bagian kalian nih, biar kalian kelaparan!" Mendengar repetan Gerald, kami langsung berjalan cepat menuju ruang makan. Mencuci tangan dan menarik kursi yang kosong. Roti panggang dengan telur ceplok yang estetik ala anime Jepang membuat perutku makin keroncongan minta diisi.
"Kalo kalian tidak keberatan, setelah ini gue mau ngajakin kalian ke tempat yang paling penting buat gue."
Aku berbinar-binar membayangkan pasti tempatnya sangat menakjubkan dan belum pernah kami lihat.
"Gue mau! Gue mau!" Aku reflek mengangkat tangan dengan wajah ceria.
Gerald melirik ke arah Takahashi san. Walaupun Gerald tidak bicara sepatah kata pun, tapi aku yakin ia pasti bermaksud menanyakan pendapat Takahashi san.
"Saya ikut saja. Pasti tempatnya bagus ya. Saya mau ambil foto."
"Maaf, untuk tempat ini aku harap kamu tidak mengambil foto."
"Lho? Kenapa?!"
Gerald menoleh ke arahku yang bertanya dengan raut heran. Wajar aku heran karena Gerald tidak pernah melarang Takahashi san foto atau merekam video saat di perpustakaan atau di jalanan atau di rumahnya.