"Tia. Tia."
Aku mendengar seorang wanita memanggilku. Aku terbangun dan terkejut saat melihat siapa yang memanggilku. Bu Lena—Asisten Manajer HRD! Mampus aku! Aku langsung berdiri.
"Si... siap, Bu! Ada apa?"
"Ibu cuma bangunin kamu aja. Waktu istirahat udah habis."
Aku reflek melihat jam tanganku. Jarum pendek di jam tanganku menunjukkan pukul satu, dan jarum panjangnya mengarah ke angka tiga. Aku meringis keki. Hanya bisa senyam-senyum sedikit. Malu banget bisa-bisanya ketiduran sampai lewat jam istirahat!
"Hehehe... maaf, Bu."
Ibu Lena melengos pergi dengan cueknya. Aku pun tidak ambil pusing. Setidaknya beliau sudah berbaik hati membangunkanku. Karena bagiku tidak ada yang namanya 'teman tulus' di perusahaan manapun. Aku melanjutkan pekerjaanku seperti biasa. Ikut meeting sana-sini bersama bos-bos Jepang dan terkadang bersama Takahashi san. Sungguh melelahkan jiwa-raga bekerja sebagai penerjemah bahasa Jepang!
Tak terasa akhirnya waktu menunjukkan pukul lima sore! Yosh! Waktunya pulang! Aku jarang sekali lembur kecuali ada hal darurat yang mengharuskan aku stay lebih lama di kantor atau ada orang Jepang baru yang sama sekali tidak bisa bicara bahasa Indonesia. Setelah mengucap salam ke semua orang Jepang dan ibu-bapak yang masih ada di kantor, aku melesat bagaikan jet menuju mesin absen. Sedikit lagi....
"Tia san."
Ckiiit! Aku mengerem langkah cepatku menuju mesin absen, dan menoleh ke arah seseorang yang memanggilku. Takahashi san?! Ngapain sih manggil aku di saat jam pulang gini?! Eh? Tunggu! Kok rasanya dejavu ya? Aku merasa pernah mengalami ini. Ah, sudahlah! Sabar sabar! Mungkin saja Manajer Akunting ini memang butuh sesuatu dariku.
"Nan deshou? [1]" Dengan suara seperti orang pasrah, aku menghela nafas setelah bilang begitu. Berharap semoga saja bukan hal yang mengharuskan aku untuk lembur. Sumpah! Hari ini aku benar-benar capek karena daritadi mengeluarkan suara, berpikir seharian, ikut stres seharian karena meeting isinya marah-marah melulu. Rasanya ingin cepat-cepat naik bis kantor dan bertemu kasur untuk rebahan!
"Minta maaf, ya. Saya ingin bicara dengan Tia san. Ada waktu ka?"
Tidak ada! Aku mau pulang! Rasanya aku ingin memuntahkan kata-kata itu di depan Takahashi san. Tapi apa daya. Aku hanyalah seorang bawahan. Kalau disuruh atasan lembur, yaa mau tidak mau harus lembur kan? Risiko pekerjaan.
"Apakah saya harus lembur?"
"Oh, bukan bukan. Ini soal pribadi, ya. Jadi saya mau minta tolong untuk menunggu saya sampai hmm..." Takahashi san menatap jam dinding bulat putih di ruangannya.
"Jam tujuh, ya? Bagaimana? Mau tidak ya?"
Soal pribadi? Aku sangat heran. Aku yakin Takahashi san bukan tipe bos Jepang yang mata keranjang seperti bos-bos Jepang yang ku temui selama ini. Walaupun masih muda, tapi beliau orang yang sangat baik dan sopan. Kalau beliau bilang ingin bicara soal pribadi denganku, aku jadi heran dan ragu. Tapi aku juga penasaran. Hal apa yang ingin diutarakan bosku ini padaku soal pribadi? Nggak mungkin kan cuma ingin ngobrol-ngobrol sambil minum kopi di kafe? Aaah, sebenarnya aku capek tapi aku juga penasaran. Rasanya ingin ku acak-acak rambutku, tapi kerudung menghalangiku melakukannya.
"Tia san?"
"Ah! Minta maaf! Saya bengong! Hmm, boleh deh."
"Wah! Bagus ya! Kalau begitu tunggu di ruangan Anda ya. Nanti saya pergi ke ruangan Anda kalau pekerjaan saya sudah selesai. Minta maaf ya, nanti saya antar Anda pulang. Kos Anda kan searah dengan saya."
Ah, aku baru ingat. Takahashi san lah yang berbaik hati mencarikanku kos-kosan saat aku diterima bekerja. Karena maklum saja, aku baru kali ini menjejakan kaki di Jakarta raya ini. Benar-benar definisi manusia berhati baik!
"Terimakasih, ya Takahashi san." Kataku sambil tersenyum.
*******
Luar biasa memang orang Jepang dalam ketepatan waktu! Beliau benar-benar datang menemuiku tepat jam tujuh malam! Dan sekarang ini, aku sedang berada di dalam mobil yang dikemudikan Takahashi san sendiri! Aku baru tahu kalau beliau punya SIM Indonesia!
"Ternyata Anda bisa menyetir, ya." Kataku membuka pembicaraan daripada diam canggung.
"Ah! Saya baru dapat SIM Indonesia tahun lalu, ya."
Mataku berbinar-binar. "Wah luar biasa! Berarti Anda jago sekali menyetir, karena tes dapat SIM Indonesia susah ya kalau tidak pakai uang."
Hening seketika. Kebetulan lampu lalu lintas berubah merah, jadi Takahashi san menghentikan laju mobilnya.
"Saya bayar, ya. Dua juta."
Mulutku reflek mangap, tapi buru-buru ku tutup lagi. Aku kira dengan orang asing benar-benar murni pakai tes, tidak ada sogok-menyogok. Ternyata sama saja!
"Minta maaf, ya. Saya pikir Anda dapat SIM karena lulus tes mengemudi!"
"Kenapa Anda minta maaf? Hahahaha." Takahashi san santai sekali tertawa sembari melajukan mobilnya karena lampu sudah berubah menjadi hijau.
