1 tahun kemudian (Sabtu, 23 April 2022)
Aku memandangi pantulan diriku di cermin besar hotel Aston Cirebon. Tidak ku sangka aku bisa secantik ini dengan pakaian adat Jawa setelah wajahku juga didandani seorang perias pengantin. Mamaku pun tidak henti-hentinya memujiku cantik dan manglingi. Membuatku ge-er saja Mamaku ini.

"Mba, kamu cantik banget ternyata kalo make-up begini!" Mia adikku yang nomor dua, tumben sekali memujiku. Karena biasanya, adikku yang menyebalkan ini suka mengejekku dekil karena saking bedanya warna kulit kami. Aku menoleh ke arah Mia. Aku melihat ia memakai kebaya biru muda yang cantik seperti Mama dan Karin adikku. Satrio yang akan menjadi wali nikahku pun memakai setelan biru muda dengan kain batik ala Jawa sebagai ornamen setelannya.
"Tumben kamu muji aku. Hahaha." Aku tertawa sambil mengacak-acak rambut adikku yang maksudnya iseng. Tenang saja, rambutnya belum ditata oleh penata rambut yang sudah aku dan Takahashi booking.
"Tapi beneran, lho. Mba Tia cantik banget! Dan Kak Takahashi juga orangnya baik banget! Mba beruntung banget dapet cowok kayak dia." Karin ikut-ikutan komentar. Yah, kalau dipikir-pikir benar juga sih. Aku sangat beruntung mendapat calon suami seperti Takahashi yang baiknya bagaikan malaikat, pintarnya tidak diragukan lagi dan sangat menghargaiku. Sampai rela memeluk agama yang sama denganku dan melakukan hal-hal yang diwajibkan dalam agamaku, membuatku merasa 'apa pantas aku mendapatkan dia?'.
SET! Tiba-tiba tanganku seperti disentuh seseorang. Mama? Aku mengangkat wajahku, memandang Mama yang ku lihat makin terlihat kerutannya padahal sudah dirias.
"Mama ikut senang akhirnya kamu menemukan jodohmu. Kamu berhak bahagia, Nak. Terimakasih sudah berjuang buat Mama dan adik-adikmu. Walaupun kamu sudah menjadi istri dan ibu di masa depan nanti, kamu tetap anak Mama. Semoga kamu bahagia, makin banyak rejeki untuk keluargamu nanti, dan sehat selalu."
Kata-kata Mama ini membuat air mataku tumpah tak terbendung. Aku memang sedang grogi, deg-degan, ketakutan karena ini hal besar dalam hidupku yang akan ku lakukan. Mendengar Mama bilang begini, rasa tadi tiba-tiba lenyap berganti menjadi terharu dan sedih. Aku memeluk Mama—orang tuaku satu-satunya setelah Papa meninggal. Orang paling dekat yang selalu mendukungku. Orang yang paling mengerti aku. Orang yang selalu sabar....
Tok. Tok. Tiba-tiba terdengar pintu kamar kami diketuk. Membuat suasana mellow yang tadi mengalir di seluruh penjuru kamar, mendadak hilang.
"Iya? Siapa ya?" Kataku sambil mengelap mukaku pelan-pelan dengan tisu.
"Saya Wenny dari W.O Swastika Kencana."
Oh, orang dari wedding organizer. Aku bangkit dari kursi rias dan berjalan menuju pintu.
"Saya mau memberitahu kalau sudah waktunya Anda menuju venue."
"Terimakasih." Kataku kemudian menoleh ke arah Mama dan adik-adikku. Mereka kompak bangkit dari duduknya lalu berjalan menghampiriku.
"Semangat, ya Mba. Semoga lancar." Dua orang perias dan penata rambut menyemangatiku setelah keluar kamar bersama kami. Setelah aku mengucapkan terimakasih, tim perias dan penata rambut yang terdiri dari empat orang itu, pamit pulang karena sudah menyelesaikan tugasnya. Setelah itu dipandu Wenny menuju hall hotel, kami berjalan pelan. DEG! DEG! Duh! Lagi-lagi, rasa deg-degan dan grogiku muncul lagi. Tenang, Tia! Jangan sampai aku jatuh saking tidak bisa mengontrol emosiku.
SET! Tiba-tiba ada yang meraih tanganku. Satrio?
"Mba, nggak pa-pa. Kan ada aku. Aku bakal bikin akad nikah kakak lancar nggak ada masalah!"
Aku tersenyum tulus. Adikku yang dulu saat masih SD pendek banget sekarang sudah tinggi menjulang melebihi aku. Bahkan dia bisa tahu kalau aku sekarang ini merasa tegang, deg-degan, grogi, dan berusaha menenangkanku. Aku benar-benar bersyukur punya adik saling support seperti Satrio dan adikku lainnya.
"Makasih, ya Satrio. Yuk, cepet jalannya! Aku nggak mau calon suamiku yang ganteng itu nungguin di meja akad." Kataku dengan ekspresi ceria dan langkah semangat.
********
"SAH!"
Aku menitikkan air mataku. Benar kata Satrio. Acara akad nikah serasa berlangsung cepat dan lancar tanpa masalah! Padahal aku melihat Takahashi san seperti kesusahan membaca ucapan akad nikah dalam bahasa Indonesia di kertas yang sudah disiapkan. Tapi syukurlah! Sekarang kami sah menjadi pasangan suami-istri! Sembari aku menandatangani buku nikah, otakku memutar kembali kenanganku bersama Takahashi san saat pertama kali diperkenalkan wakil direktur Kuriyama san untuk membantuku mencarikanku kos-kosan. Kenangan saat aku meeting bersama, makan bersama di pantry, sampai saat setahun lalu kami saling mengungkapkan perasaan di restoran, terus mengalir di otakku.
"Tia san. Sudah selesai ya duduknya. Sekarang foto." Takahashi san menepuk-nepuk pundakku yang bikin aku tersadar dan pikiranku balik lagi ke dunia nyata.