AKU menatap bangunan megah bercat putih cemerlang yang terdiri dari tiga tingkat di hadapanku, dengan segala pilar menjulang tinggi bagaikan pohon palem berkerak kapur. Bagian terluarnya, sedikit aneh sebetulnya, semak-semak yang tampak tajam dibentuk sedemikian rupa untuk melindungi bunga merambat yang mirip Lathyrus. Namun seperti gedung pesta kebanyakan, lampu yang ditanam dan menggantung begitu rendah selalu mengekspos hal-hal yang seharusnya tidak terlalu istimewa. Membuat bola matamu bercahaya dan menebarkan kilauan yang tak lenyap dengan kedipan—padahal hatimu sedang semendung bayangan kental di bawah payung hitam.
Sebuah limusin dan beberapa mobil mewah lainnya berhenti di depanku, menurunkan tamu-tamu lainnya. Dengan reaksi berlebihan ibuku menyapa beberapa tamu yang dikenalnya, mengecupi pipi-pipi mereka dan bertanya kabar mereka meskipun tidak benar-benar ingin tahu. Dengan refleks aku memalingkan wajahku, agar ibuku tidak perlu melihat bibirku yang mencibir. Aku menyebut keramahtamahan palsu semacam itu sebagai tradisi New York-nya yang setingkat lebih gelap dari kefasihannya menyembunyikan aroma asap rokok yang menempel di pakaian-pakaiannya.
“Acaranya Ballard dan Sally,” ibuku memberitahuku setelah dua wanita terakhir yang dikenalnya masuk ke dalam gedung. Di rumah dan dalam perjalanan, ibuku tidak mengatakan apa-apa soal ini. Ia hanya meminta agar aku bersiap-siap (yang dalam kamusnya adalah berpakaian bagus dan tampil memesona bak seorang duchess; yang dalam kamusku adalah mengenakan segala atribut perang dingin yang terlalu heboh) sementara aku dengan setengah hati melakukan permintaannya bagai robot, enggan beradu pendapat apalagi menyulut pertengkaran baru—hal yang tak terhindarkan jika ibuku memiliki keinginan.
“Lalu?”
“Mereka berhasil mendirikan dua proyek perumahan mewah di Columbus dan Connecticut,” ibuku melanjutkan, dan aku mengangguk asal sebagai respons. “Katakanlah malam ini mereka ingin merayakan keberhasilan mereka itu, mengundang kenalan-kenalan penting mereka, yah, begitulah,” tambahnya sambil mengangkat bahu dengan tak acuh, seolah itu bukanlah berita utamanya.
“Pasti Mom berpikir acara ini begitu membosankan hingga perlu mengajakku.”
Sambil mengendurkan wajahnya, ibuku mendekat kemudian menyentuh kulit lenganku. Rambut-rambut halus di lenganku berdiri. “Kau tahu ikan salmon, Sandy? Mereka selamat karena mereka mengikuti arus takdir kehidupan mereka. Mereka melangsungkan ritual yang diwariskan orangtua mereka, nenek moyang mereka, menjadikan tradisi itu sebagai pedoman hidup.”
Aku berdecak, pengandai-andaian ibuku sering membuatku frustasi. Aku benci jadi harus membayangkan atmosfer resah dan putus asa yang dipancarkan ribuan ikan salmon yang tumpang-tindih berebut memasuki arus sungai sempit. Karena aku sendiri memang sering merasa seperti itu jika sedang berdiri di bawah gedung-gedung tinggi di New York City yang hanya menyisakan sepenggal langit sesak untuk dipandangi.
“Acara utamanya bukanlah mengenai peresmian itu. Kau akan tahu sebentar lagi. Jadi, ingat tentang ikan salmon itu jika kau akhirnya mengerti. Hanya… cobalah untuk tidak memikirkan diri sendiri jika iblis kecil dalam dirimu mencoba untuk memberontak. Ayo.”
Ibuku menarik tanganku sambil mengempaskan sejumput rambut cokelatnya ke belakang, membuat tulang lehernya yang kurus tampak menonjol dan menggantung aneh. Selain kami berdua sangat kurus dan seolah memiliki selusin tulang tambahan di tubuh kami, aku tidak pernah melihat ada kemiripan di antara kami, baik soal fisik ataupun jiwa. Ibuku jangkung, luwes, cantik, berkulit indah, berambut cokelat lurus yang berusaha dikembangkanya setiap hari dengan berbagai cara, aku mendapatkan gen-gen ayahku untuk menggantikan kecantikan dan hal baik yang seharusnya diturunkan ibuku: kulitku jelek, menurutku, karena jutaan bintik wajah terlukis samar memenuhi tulang pipi dan dahiku; aku juga tidak seluwes ibuku, tidak sejangkung, atau bahkan berambut memesona. Satu-satunya hal baik yang mungkin agak kubanggakan karena isi jiwaku tidak mirip dengan miliknya. Tapi sayangnya orang tidak melihat langsung ke dalam jiwa seseorang dan merasa tertarik. Jadi ibuku adalah pemenangnya karena ia sangat cantik.
“Ballard dan Sally akan senang sekali melihatmu di ruangan utama saat acara dimulai,” sambung ibuku sambil berjalan. “Jadi, jangan ada acara menghilang atau pulang duluan lagi. Aku akan membencimu jika kau melakukan itu. Berjanjilah padaku, kali ini—“
“Jadilah ikan salmon,” selaku dengan mendesah sambil berusaha menyamai langkah ibuku. “Meskipun jika Mom tahu ikan salmon pada akhirnya akan mati setelah mereka bereproduksi. Kalau Mom ingin aku segera mati, harusnya Mom tinggal bilang saja. Aku akan dengan senang hati melakukannya.”
Mom kontan melirikku. “Seperti biasa tidak ada humormu yang bisa menyentuhku. Jika kau mencari inspirasi hidup yang tepat, selain orangtuamu sendiri, kau bisa mencontoh cara hidup Ballard dan Sally. Lihat, apapun yang mereka lakukan selalu berhasil. Itu karena mereka bermain dengan cerdik, ajaran turun-temurun keluarga Landford. Aku bisa menghabiskan seluruh hidupku untuk mengagumi etika dan kedisiplinan keluarga mereka. Tak pernah ada ceritanya pembangkang lahir dari keluarga Landford.”
Well, sebenarnya pasangan suami-istri Landford benar-benar patut diacungi jempol tentang semua ini. Kamuflase mereka sangat sempurna. Seperti layaknya keluargaku, keluarga Landford adalah keluarga penyihir yang berkamuflase dan tinggal di kota besar. Tidak banyak penyihir yang bersedia berbaur terlalu intim dengan Dumdey—sebutan kami untuk bangsa nonsihir—terutama sejak kejadian ratusan tahun silam yang melibatkan pembantaian bersar-besaran di Inggris. Namun ayahku memiliki kewajiban sebagai ketua komite penyihir, organisasi kuno yang mengurus keseimbangan hidup antara penyihir dan Dumdey. Sebuah tradisi yang diturunkan dan diwariskan oleh leluhur kami kepada keturunan terpilih. Meski begitu mengikat, tak bisa dipungkiri bahwa sebagian dari kaum kami yang berhasil menduduki jabatan tinggi semacam itu menikmatinya. Contohnya keluarga Landford, Swolley, well, yah ibuku, atau mungkin juga ayahku yang kesibukannya melebihi presiden Amerika Serikat.
“Oh, tunggu, apa itu artinya aku akan bertemu dengan October?” Harusnya aku sadar lebih cepat tentang hal yang satu itu.
“Jangan bodoh. Tentu saja kau akan segera bertemu dengannya. Ini adalah acara orangtuanya.” Ibuku mengangkat alisnya seolah mempertanyakan kewarasanku. Kami sudah sampai di depan lobi. “Dengar.” Ibuku menatapku lekat-lekat. “Kuharap malam ini kau sedikit saja menurut, oke? Malam ini begitu penting untuk... kita semua. Kau tampak cantik. Ayo, kita masuk.” Ibuku mengapit lenganku.
“Entahlah, Mom, aku tidak yakin,” desahku. Rasanya sungguh aneh. Selama sebulan penuh aku menghubungi Oct, tapi tak sekali pun ia menjawab teleponku atau membalas pesan-pesan yang kukirimkan padanya. Dan sekarang, aku akan bertemu dengannya begitu saja ....
Ibuku yang sepertinya mulai kehilangan kesabarannya menghela napas jengkel. “Jangan mulai sekarang—“ ia berdeham lalu dengan kilat memaksa bibirnya tersenyum ketika menyadari sepasang tamu pria dan wanita yang menyapanya dan kemudian mendahuluinya masuk. “Baiklah, aku akan menunggumu di dalam—ayahmu sudah datang sejak satu jam yang lalu. Kita tahu ia sengaja menunda seluruh jadwalnya di Chicago untuk acara spesial ini. Lima menit lagi kau harus sudah masuk—tidak ada alasan,” ujarnya dingin sebelum meninggalkanku masuk ke dalam gedung.
Selama beberapa menit berikut aku hanya berdiri di depan pintu aula yang dijaga dua orang pria berseragam hitam dan bertubuh tegap yang disewa untuk mengecek daftar tamu undangan. Apa yang harus kulakukan sekarang? Aku tidak mungkin masuk ke sana dan berlagak semuanya baik-baik saja. Aku tahu ini mungkin terdengar sangat tolol, namun saat ini aku mendadak tidak siap bertemu dengan October. Bagaimana nanti kalau ia menertawakanku? Bagaimana jika rencana itu memang hanyalah omong kosong; hanya aku saja orang di dunia ini yang mencemaskan itu?
Oke. Aku harus menata ulang semua rencanaku, termasuk hal-hal apa saja yang akan kukatakan pada sahabatku itu, batinku.
Ketika aku hendak berbalik untuk meninggalkan gedung dan terpikir untuk mencegat taksi untuk pulang—(Mom mungkin akan menggila dan murka, tapi itu hanya akan berlangsung beberapa pekan—aku yakin masih dapat mengatasinya kalau ia bermurah hati membiarkanku hidup)—mendadak ada tangan hangat yang menarik sikuku.
October Landford menyeringai padaku. Rambut cokelat kemerahannya yang gondrong dan sedikit ikal kali ini disisir cukup rapi ke arah belakang. Sebenarnya aku yakin bahwa ia tahu gaya rambutnya tidak terlalu serasi dengan setelan jas semi-formal cokelat tua yang dikenakannya—tapi karena ia menyelipkan kedua sisinya ke belakang telinganya ia tetap terlihat maskulin dengan tambahan bahu atletisnya yang membentuk jelas. Matanya melengkung hangat kala menatapku, iris hijaunya tampak berkilauan terkena cahaya lampu. Seperti terakhir kali kami bertemu, ia tampak begitu bersahabat dan menawan.
“Jangan bilang kau mau pergi,” tegurnya, berlagak marah.
Sesaat aku hanya terpaku menatapnya. Aku sangat mengenali suara dan sorot mata itu. “Er ... sebenarnya aku baru saja akan masuk,” aku berbohong.
“Kalau begitu tunggu apa lagi?” Tanpa canggung ia kemudian meraih tangan kananku.
Saat itulah sesuatu mencubit kepalaku. “Oct, kita harus bicara,” ujarku dengan tegas, menarik kembali tanganku dan tetap diam di tempat.
Ia langsung berbalik dan menatapku. “Aku tahu,” gumamnya, sorotannya kontan berubah dan penuh antisipasi. “Tapi tidak di sini, oke?”