WANITA berwajah familier berbusana blus merah apel dan celana rok khaki yang berdiri di lengkungan pintu menatapku lurus-lurus sebelum melebarkan tangan untuk memelukku. Untuk wanita seusia Eve—well, sekitar awal empat puluh tahun, Eve bisa dikatakan sangat cantik dan awet muda. Rambut pirang madunya kelihatannya amat lembut, ikal, dan tergerai bebas menyentuh tulang belikat. Bola mata kebiruan seindah lautan tropis nan damai, bibir tipis yang selalu menekuk ke arah atas, dan pembawaannya yang sangat hangat; Eve adalah tipikal yang setiap kali kau menatap wajahnya, hatimu akan diliputi kehangatan sehingga kau tak ingin memalingkan wajahmu cepat-cepat.
Aku ingat, terakhir kali bertemu dengannya adalah ketika kakak tertua Lucy, Demien, menikah di salah satu gedung di Avenue Park tujuh tahun lalu. Aku dan Lucy menjadi penebar bunga dan beras yang memakai sayap-sayapan dari bulu angsa tiruan. Malangnya, ketika mengiring pengantin, aku terjatuh karena tersandung salah satu kaki tamu yang mencuat dari porosnya. Eve Brower adalah satu-satunya yang tidak menganggap kejadian itu lucu dan segera menolongku berdiri. Sejak itu, aku tidak pernah melupakannya. Lagian, sangat sedikit orang baik dan murah hati dalam hidupku. Salah satu alasan mengapa ketika Lucy, sahabat karibku, mencetuskan ide ini—yang belakangan agak disesalinya—tanpa pikir panjang aku langsung setuju. Eve berbaik hati sekali lagi mengulurkan tangannya untukku setelah Lucy menceritakan segalanya padanya.
Ibu Lucy, Loriette, adalah saudara sepupu Eve. Sama seperti keluargaku, keluarga Switchey adalah penyihir yang berkamuflase untuk alasan yang sudah ditetapkan. Sementara keluarga Switchey menjalani kehidupan kelas atas di New York, keluarga Brower memilih kehidupan sederhana di Verotica.
“Eve,” gumamku dengan ragu-ragu. Aku masih berpikir bahwa kedatanganku ke rumah keluarga Brower mungkin bukan pilihan yang bijaksana, terutama karena kami tidak pernah bertemu kembali setelah pesta pernikahan itu. Tapi sekali lagi, ketika menatap wajahnya yang dipenuhi ketulusan itu, hatiku merasa tak enak karena tidak bersyukur. “Aku hanya ... um, aku ingin berterima kasih sekali lagi untuk segalanya.”
“Oh, ayolah, Sayang, jangan sekaku itu padaku—kita sudah membahasnya di telepon jutaan kali,” sela Eve lembut, menyurukkan jemarinya ke sikuku. “Dengar, aku benar-benar senang kau sudah ada di sini. Sedari tadi aku cemas apakah bus yang kau tumpangi tepat atau tidak karena hanya beberapa bus yang kutahu mengantar sampai perbatasan Hoodsen. Sekarang, lebih baik ceritakan padaku mengenai perjalanan tadi sementara kubuatkan secangkir teh untukmu,” usulnya, menggiringku ke ruang keluarganya. Alex sendiri sejak tadi langsung menghilang naik ke lantai dua tanpa mengatakan apa-apa. Rupanya ia hanya tipe yang senang mengobrol, bukan tipe yang suka menguntit.
Sambil berjalan menuju sofa, mataku menjelajahi ruangan dengan selayang pandang. Well, ruangan keluarga tidak luas namun dipenuhi berbagai perabotan yang kelihatannya cukup nyaman; sofa cokelat dengan bantal-bantal gemuk menghadap kotak televisi kuno yang tidak terlalu besar dan berdiri di atas hamparan karpet eropa berukuran sedang. Aku mengamati elemen-elemen dasar di ruangan ini yang sengaja memasukkan unsur-unsur alami; dinding krem, lantai kayu, langit-langit datar rendah dengan kipas putar di atasnya; dari ruang televisinya kau bisa melihat dapurnya. Tak ada sekat yang membatasi ruangan satu dan yang lainnya kecuali rak dan lemari kayu sederhana. Aku bisa menyimpulkan, peniadaan sekat ada hubungannya dengan sifat penghuninya yang terbuka, kekeluargaan, dan hangat.
“Rumah kalian nyaman sekali,” pujiku tulus kepada Eve sambil mempelajari setiap detail ruangannya, merasa kagum. “Dan itu ...” aku menunjuk ke atas perapian tempat foto-foto berpigura berjajar. “Apa anak dalam foto itu Alex?” Anak yang sedang menangis di atas pelana kuda putih besar yang tampak anggun dan setia—sebetulnya itu bukan pertanyaan, rambut anak itu sepirang platina dan matanya begitu biru dan penuh tanda-tanda kebandelan.
“Itu diambil ketika Alex berumur lima tahun. Saat itu kami semua masih tinggal di Fort Collings, almarhum ayahnya yang mengambil gambarnya,” Eve menyahut.
Lucy juga sudah memberitahuku tentang tragedi yang dialami keluarga Evelyn. Dalam sebuah kecelakaan yang naas beberapa tahun silam, Andrew Brower, suami sekaligus ayah dari anak-anak Evelyn meninggal dunia. Sejak itu Eve-lah yang menghidupi kedua anaknya. Tentu saja, karena Eve memilih tidak lagi menggunakan sihir, ia benar-benar bekerja keras untuk menghasilkan setiap sen uang untuk dirinya dan keluarganya. Selain itu, menurut cerita Lucy, akibat trauma mendalam atas kepergian Andrew yang mendadak akibat kecelakaan mobil, Eve berhenti menyopiri mobil sendiri.
Membuka lemari peralatan makan, Eve lantas mengambil dua buah cangkir lalu membuatkan teh, sementara aku berkeliling ruangan melihat-lihat foto-foto sambil melepas topi bisbolku dan menggantungkannya ke kaitan sabuk pada celana jinsku.
Ketika kami sama-sama sudah duduk di sofa, dengan cekatan Eve mengangsurkan stoples dengan hiasan renda putih untukku. Dua cangkir teh yang mengepulkan kabut sudah tersaji bersamanya. “Kau harus coba biskuit kacang almond-nya, enak sekali diminum dengan teh.”
“Um, terima kasih banyak, biskuit itu tampaknya lezat. Tapi aku sangat menyesal sepertinya aku tidak bisa mencicipinya. Well, aku sedikit alergi pada kacang,” ujarku, tersenyum kecut meminta maaf, berusaha tidak merasa sedang menghancurkan hati Eve. “Dan kadang pada beberapa jenis keju dan rempah yang terlalu kuat,” tambahku dengan nada ironis. Lagi-lagi dalam hati aku mengutuki gen sial dalam tubuhku.
“Oh, ya ampun, bagaimana aku bisa lupa! Lucy mengatakannya di telepon tempo hari itu.” Eve meletakkan kembali stoples ke meja. Selain soal alergiku, aku tahu Lucy sudah menceritakan semua masalah yang menimpaku kepada Eve. Termasuk hal-hal yang tidak kuutarakan pada Eve pada sesi telepon kami.
Sambil menghirup teh, Eve lalu menceritakan kehidupan keluarganya semasa tinggal di Fort Collings dulu; suka dan duka menjadi penulis rubik anak untuk koran lokal hingga musim panas menyenangkan yang kerap ia dan keluarganya habiskan di pondok tradisional milik mertuanya. Aku berusaha mendengarkan kisah demi kisahnya dengan serius meskipun tanpa sanggup kukendalikan aku hanya membayangkan langit New York yang segelap tinta dan seolah hendak mencair dari jendela kamarku.
Selang Eve bercerita, sudut mataku mendadak menangkap wujud seseorang berdiri di dekat pintu samping dengan balutan celemek toska dan rok warna hijau muda yang berkesan kekanakan. Gadis itu melemparkan seringai lebar yang tak disangka-sangka padaku.
Samantha Brower, anak perempuan Eve; lebih tua empat tahun dari Alex yang berusia enam belas, memiliki postur langsing bak untaian kalung dan wajah memikat yang unik berkat bentuk rahang persegi dan tulang-tulang wajah yang menonjol—Sam sama sekali tidak mirip Alex yang menurutku sedikit mirip Eve dengan bentuk wajah lebih ramping namun kokoh. Garis-garis wajah Sam lebih mirip pria dalam foto yang sedang mengangkat hasil pancingannya. Tapi seperti anggota keluarga Brower yang lain, ia dianugerahi mata biru laut tropis memukau yang serupa. Rambut pirangnya yang lebih gelap dari warna emas bermodel bob sebahu di-blow masuk ke dalam, mengembang dan rapi sekali seperti rambut boneka. Melihat Sam membuatku merasa terdampar ke tahun 60’an, di mana potongan rambut semacam itu menjadi tren.
Sebelum aku menyapanya, Sam sudah duluan memperkenalkan diri dengan keriangan yang mengejutkan. “Oh, sebentar, perasaan kau mirip sekali dengan seseorang ... tapi siapa, ya?” ujar Sam setelah termenung sejenak. “Entahlah, tapi aku akan langsung memberitahumu begitu aku ingat.” Sam mengedikkan bahu seraya tersenyum.
Saat itulah Alex memanggilku untuk naik ke lantai dua. Keluarga Brower sangat bersikeras membuat kamar itu menjadi semacam hadiah-selamat-datang untukku. Meskipun aku sudah tahu kalau dindingnya diwarnai putih dari pengkhianatan Alex di mobil tadi.
Eve hanya mengantarku sampai ke depan tangga. Begitu aku mendekat, Alex segera bersandar pada tembok di sebelahku dengan mimik sok cool sementara Sam dengan gerakan perlahan mulai memutar kenop pintu di hadapanku.
Pintu terbuka. Ruangan itu mungil namun terang benderang karena cahaya matahari yang tak sungkan untuk masuk. Dindingnya memang putih bersih seperti warna susu, dan tampaknya dicat dengan spons untuk mendapatkan tekstur kasar yang artistik. Atap rendah, sebagian lantai kayu mahoni dilapisi karpet cokelat tebal hangat, kusen jendela berwarna cokelat agak mengilap dan dibingkai sepasang tirai warna madu. Tempat tidurnya mungil menghadap ke jendela, dibungkus seprai linen cokelat bermotif bunga tulip dengan sepasang bantal senada di atasnya. Ada juga lemari ek tua di sudut ruangan yang bersebelahan dengan meja rias bercermin oval. Di atas nakas bercat putih mengilat, aku melihat radio klasik warna hitam dengan spiker bundar.
“Jadi,” Sam bergumam, memecah perhatianku pada radio itu, “apa kau suka kamarnya?”
Aku menatap Sam dan Alex secara bergantian selama, masing-masing, sedetik. “Terima kasih banyak, aku sampai tak tahu harus mengagumi yang mana duluan. Kamar ini benar-benar cantik.”
“Komputer ada di kamar Alex, kalau-kalau kau ingin menggunakan Internet,” Sam memberitahuku.
“Tentu, aku perlu koneksi Internet untuk menghubungi Lucy,” sahutku penuh terima kasih.
“Dan kalau kau nanti butuh handuk bersih kau bisa mengambilnya di basement—mesin cuci dan persediaan rumah disimpan di sana,” ia menambahkan. “Kami tidak menggunakan jasa pembantu rumah tangga, jadi kuharap kau tidak keberatan membereskan kamarmu setiap hari.”
Sam dan Alex lalu saling pandang seperti sedang melakukan telepati. “Well, kalau begitu kami akan meninggalkanmu sendiri. Kau mungkin perlu sedikit waktu untuk membereskan pakian dan berkenalan dengan kamar barumu,” cetus Alex dengan pengertian.
“Sekali lagi terima kasih,” ucapku sebelum Alex menutup pintu kamarku.
Begitu kudengar langkah-langkah menjauh, aku segera membongkar barang bawaanku yang tidak terlalu banyak. Kuharap dengan begitu, aku bisa sepenuhnya memulai hidup baruku.
***
Pintu kamar Alex terbuka sedikit waktu aku akan mengetuk. Aku memang berencana akan langsung meminjam komputernya setelah merapikan barang bawaanku.
“Hei, boleh aku masuk?” Tapi tak terdengar jawaban, maka aku mengintip ke dalam dan mendapati Alex sedang membenamkan sebagian tubuhnya di kolong tempat tidurnya. “Apa yang sedang kau lakukan?”
Duk! Kepala Alex membentur tepian tempat tidurnya. “Sial,” makinya sambil menyentuh puncak kepalanya. Ia kemudian melihatku berdiri di ambang pintu. “Eh, hai. Masuklah.”
“Aku perlu menggunakan Internet,” aku mengutarakan, berjalan masuk ke dalam kamarnya dan langsung duduk di depan meja komputer, menyalakan monitor. “Aku tidak membawa ponselku karena khawatir orangtuaku mungkin pernah merapalkan mantra pelacak di benda-benda yang sering kugunakan.”
“Pakai saja. Komputernya tidak canggih, tapi tidak payah-payah amat,” gumam Alex tak ambil pusing dengan alasanku.
“Apa yang sedang kaulakukan barusan?” tanyaku sambil menggerakkan mouse di meja komputer.
Ia menarik sesuatu dari dalam tempat tidurnya, sebuah kotak. Ia membuka tutupnya, ternyata isinya sepatu basket berwarna putih baru, masih dibungkus kertas toko. “Mom akan menguburku hidup-hidup kalau tahu aku membeli sepatu basket baru lagi.” Ia lalu menutup kembali kotak itu dan menjejalkannya kembali ke dalam kolong tempat tidur. “Aku cuma memastikan sepatuku masih ada di tempatnya.”
“Kau bermain basket?” tanyaku.
“Aku tidak beli sepatunya untuk dipajang saja tentunya,” ujarnya, nyengir.
“Kebetulan sekali aku juga suka basket. Maksudku, aku sering menonton pertandingannya di TV,” kataku sambil menatap layar monitor, memikirkan apa yang akan kutulis di kolom pengirim pesannya.