Verotica's Secret

andra fedya
Chapter #4

3. REAKSI MATAHARI

AKU menyisir rambut merahku yang lebat, mengembang, dan bergelombang dengan sisir yang disiapkan seseorang dengan baik hati di dalam laci meja riasnya. Tubuhku yang mungil membuat rambut panjangku yang kusut tampak seperti gumpalan kapas terbakar di atas sebatang korek api. Setelah merasa rambutku cukup lembut aku lalu menggerakkan mulutku, melakukan serangkaian senam muka sederhana di depan cermin. Akibat kurang tidur semalam, aku bisa melihat lingkaran keunguan tipis seperti lebam di bawah mataku yang bulat. Tapi beruntung kelopak mataku tidak tampak menghitam, setidaknya aku bisa menyembunyikannya nanti dengan krim yang kubawa di tas perlengkapan kecilku.

  Sesudah merapikan tempat tidurku, aku segera pergi ke kamar Alex untuk mengecek e-mail-ku—tapi ternyata tak ada e-mail yang masuk. Berharap Lucy akan segera membacanya, aku meninggalkan e-mail tambahan untuknya.

 L, segera kabari aku begitu kau membaca pesan ini. Aku mau tahu apa yang terjadi di sana. Mereka pasti sudah mengontakmu, bukan?

    Setelah melakukan kegiatan bersih-bersih dan berpakaian, aku bermaksud turun ke bawah untuk mengecek keadaan. Aku mendengar suara mesin mobil Alex beberapa saat yang lalu ketika membereskan tempat tidur, dan tak lama kemudian mobil lainnya yang menjemput Eve untuk berangkat kerja. Sam yang pergi ke studio lebih siang, tampak sedang merangkai bunga di atas meja makan. Aku segera menghampirinya. Aku melihat belasan anyelir segar disebar di atas meja makan, sebagian lagi mawar yang masih berupa kuncup—aku lebih suka mawarnya.

    “Bunga-bunga ini cantik sekali,” pujiku takjub.

    “Barusan aku petik sendiri. Keluarga McKillick, tetangga sebelah, punya ruangan khusus untuk tanaman di belakang rumah mereka.” Sam memisahkan bunga-bunga berdasarkan ukuran dan warnanya; yang kemerahan di taruh di sebelah kiri, yang jingga di kanan—sisanya ditaruh di samping vas keramik.

    Kutarik satu kursi makan dan duduk di atasnya, mengamati semua bunga cantik itu. Dengan hati-hati aku meyentuh kelopak mawar merah yang berada dekat dengan sikuku, permukaannya sungguh lembut seolah diselimuti beledu. Perlahan-lahan jariku mulai menyusuri bagian tangkainya yang penuh duri setajam jarum itu. Setidaknya sebuah duri berhasil menggores telunjukku, walau tidak mengeluarkan banyak darah tapi lukanya cukup perih. Aku mengisap telunjukku yang tergores.

    Sambil membersihkan duri-duri mawar, Sam menceritakan sebuah mitos bunga-bunga itu padaku. Di mana anyelir dipercaya sebagai lambang persahabatan dan mawar sebagai lambang cinta sejati.

Bagiku, sulit memutuskan mana yang lebih penting; mungkin mawar, karena setiap makhluk hidup membutuhkan cinta yang nyata, mungkin juga anyelir sebagai simbol persahabatan yang tulus. Akhirnya kusimpulkan keduanya memiliki tempat yang sama-sama penting dalam hidup manusia.

    Setelah menaruh bunga-bunga itu ke masing-masing vas yang disebar di ruang depan dan ruang TV, kami memutuskan kembali duduk-duduk di kursi dapur. Sam melanjutkan dengan membaca koran, sementara aku berusaha menghabiskan setengah mangkuk sereal di atas konter. Setelah Sam selesai dengan korannya, ia kembali mengajakku ngobrol. Ia baru berhenti menceritakan pengalamannya berkeliling North Carolina sendirian beberapa tahun lalu saat menyadari waktu yang kami habiskan di dapur.

    “Keasyikkan ngobrol denganmu sampai hampir lupa hari ini aku janjian dengan Ellie,” cetusnya.

    Aku mengantar Sam sampai pintu depan ketika ia hendak pergi menggunakan sepedanya. Sam menyempatkan berhenti sebentar di mulut pintu untuk berpesan padaku.

    “Kalau terjadi apa-apa kau cukup menekan benda perunggu berbentuk lima jari di samping kulkas. Itu satu-satunya alat yang disihir di rumah ini. Lain kali aku akan menjelaskan fungsinya. Pokoknya kalau kebakaran atau ada penjahat atau ... pokoknya kalau kau merasa dalam bahaya tolong tekan saja, oke?”

    Aku jadi ingat waktu aku tadi mengambil kotak sereal, aku melihat cetakan tangan perunggu yang dilindungi kotak plastik transparan menempel di dinding di samping kulkas, tapi tak tahu apa fungsinya. Sebenarnya barusan kukira itu alarm kebakaran bermodel unik atau apa. Tapi jelas sekali dugaanku keliru.

    “Oh ya, rencananya nanti aku mau mampir ke supermarket. Kau mau titip apa? Barangkali kau butuh sesuatu.” Aku tahu Sam tipe yang baik dan senang menolong, tapi bukan berarti aku harus merepotkannya terus-menerus.

    “Kurasa perlengkapan bawaanku sudah cukup lengkap. Terima kasih sudah menawariku,” ucapku dengan tulus.

    Sam mengangkat bahu. “Baiklah kalau begitu. Well, kalau ada apa-apa kau bisa menelepon ke nomer studioku, kutempelkan nomornya di pintu kulkas.”

    Setelah Sam benar-benar pergi, rumah mendadak terasa hening dan sepi. Aku membaca koran lokal yang tergeletak di rak dapur saat menghabiskan sisa jusku, dan saat membacanya aku terkejut karena isinya ternyata lebih menarik dari perkiraanku. Di halaman pertama aku membaca berita seputar orang-orang berpengaruh di Verotica bulan ini; yang mengejutkan, dalam daftar itu tertulis bahwa di antara sepuluh orang dua di antaranya adalah seorang pengrajin dan penyuplai buah dari Hoodsen, dataran tinggi di sebelah barat Verotica, bukan orang-orang berdasi yang memiliki usaha modern. Di New York, hanya pengusaha dengan perusahaan bonafid yang bisa masuk jajaran macam ini. Aku lantas menekuri tabel berikutnya, memilih berita kriminal—menunggu kejutan lagi—yang bersambung ke halaman selanjutnya. Akhirnya aku menemukan satu berita yang cukup aneh, judulnya tertulis: DI THE MEADOW RUMAH YANG TELAH LAMA DITINGGALKAN PEMILIKNYA TIBA-TIBA DITEMUKAN RATA DENGAN TANAH.

     Aku membaca setiap paragrafnya, mengamati gambar puing-puing bangunan yang dikabarkan runtuh secara misterius kemarin malam itu—tak bisa menyimpulkan apa pun dari apa yang kubaca karena kejadian misterius itu masih diselidiki oleh polisi setempat.

    Saat sedang mencuci peralatan makanku dalam keheningan, telepon rumah yang berdering nyaring membuatku melompat.

    Ragu, aku meraih gagang telepon itu. Setengah berharap tidak membiarkan mesin penjawab telepon yang menjawabkan untukku bukanlah keputusan yang kurang sopan. Barangkali itu dari Eve yang ingin mengecek keadaanku mengingat Eve begitu perhatian kepadaku. “Halo, dengan kediaman keluarga Brower,” ujarku sembari menarik napas.

Terdengar suara bising di seberang sana. Ternyata telepon itu dari Alex yang memberitahuku bahwa ia akan pulang lebih cepat karena jadwal pertandingannya mendadak diubah. Setelah meletakkan gagang telepon ke tempatnya kemudian bergegas ke kamarku untuk bersiap-siap. Aku menarik rambut merahku ke belakang, mengikatnya dengan ikat rambut hitam kemudian memakai topi bisbol merahku—topi yang diberikan Lucy sebagai semacam benda keberuntungan sebelum aku naik pesawat. Benda yang segera kuanggap sebagai simbol pengikatku dengan sahabatku yang konyol tapi amat kusayangi itu.

Alex muncul sekitar lima belas menit sejak aku memutuskan menunggunya di ruang tengah. Mobilnya berdecitan ketika menembus pekarangan rumah. Dengan buru-buru ia langsung menyeretku ke kursi penumpang, dan meskipun aku meronta-ronta, ia tidak menghiraukannya.

 “Kita harus sampai dalam lima belas menit—kalau seluruh tim tidak mendaftar ulang sepuluh menit sebelum pertandingan, tim akan didiskualifikasi.”

  “Seharusnya kalian bertanding sepulang sekolah, kan?”

“Ya. Tapi begitulah jika panitianya adalah sekumpulan pecundang. Meskipun didanai walikota, tak akan menjamin semuanya terjadwal sempurna, apalagi kalau geng dari Hoodsen bertanding, mereka selalu ingin didahulukan. Sekolahku mengizinkan murid pulang lebih awal untuk ini,” katanya sebelum ban Cadillac-nya kembali berdecitan membelah aspal.

Alex lalu menyetir dengan serius, nyaris mengabaikanku sepanjang perjalanan. Satu-satunya dialog kami adalah ketika aku memprotes caranya ngebut di jalanan, dan ia hanya ber”Hu-uh” dan “Mm-mh” tetapi sama sekali tidak memelankan laju mobilnya; kami tetap berada di 70-90 km per jam. Walaupun Alex cukup lihai mengemudikan kendaraannya—seperti gaya yang bisa dilihat pengemudi di film aksi-otomotif Hollywood—bagiku itu tetap saja menyeramkan karena jalan raya di Verotica jelas tidak selebar jalan bebas hambatan di kota besar dan sepertinya memang tidak dibuat untuk kebut-kebutan ala mobil-mobil cepat macam di film itu. Mepet sedikit, melenceng dari garis putih, kami pasti jatuh ke jurang. Setelah melewati jalan raya, Alex terus mengemudikan mobilnya ke arah utara, jauh dari alun-alun dan pusat keramaian lainnya. Dan seperti dalam perjalanan ke Verotica di bus, jalanannya amat berkelok-kelok. Lewat kaca jendela, aku bisa melihat bukit dan tebing menjulang sekokoh kepalan tangan raksasa, lembah dan ngahrai tertutup kabut tipis di bawahnya, menyembunyikan sepenggal matahari jingga di balik puncaknya.

Akhirnya Alex memperlambat laju mobilnya menjadi 20 kilometer per jam saat Cadillac-nya memasuki kawasan perindustrian. Ada pabrik besar di seberang jalan dimana terdapat beberapa toko terlantar yang lebih mirip kotak berlumur seledri berjajar tak serasi di depannya.

Alex kemudian memarkirkan mobilnya di samping trotoar, tepat di belakang sedan tua yang sepertinya sudah tidak bisa jalan lagi—namun bisa jadi itu semacam BMW coupe terbaru di kota ini.

“Tempat apa ini?” Aku mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru yang bisa kujangkau tanpa memutar kepala.

“Ini kawasan perindustrian The Puffliger—dulu pabrik besar di depan sana itu dijalankan keluarga Puffliger sebelum mereka pindah ke luar kota dan memutuskan menutup pabrik ini empat tahun lalu.” Alex mengeluarkan tas olahraga hitam dari jok belakang. “Lapangan basketnya di sebelah sana—“ Ia menunjuk ke arah timur, aku melihat gerbang mungil dari besi tempa dililit tanaman liar yang bertuliskan “Hudson Park”—lebih mirip gerbang pemakaman di film horor—tidak ada lapangan atau tanda-tanda kehidupan, seperti planet sayuran, hanya pohon-pohon rimbun dengan ranting yang saling menjerat, bergesekan tertiup angin. “Baru diberitahu tadi pagi mendadak pertandingannya dipindah ke sini. Di Noelan J. Spring tetap ada pertandingan, grup lain. Kalau tidak salah ada jadwal grup SMA Malton melawan anggota pengurus gereja.”

Kami berjalan di atas kerikil dan daun kering. Ternyata memang ada keramaian di sana. Alex saja yang memilih memarkirkan mobilnya di luar jangkauan. Aku melihat ada dua lapangan basket yang digunakan untuk empat pertandingan three on three—jadi setengah lapangan untuk tiap pertandingan.

“Yo, A,” sambut seorang cowok jangkung berambut cepak pada Alex, mereka lalu melakukan tos singkat ala cowok. Cowok itu lalu mengalihkan tatapannya padaku, matanya yang hijau gelap sok dipicingkan-picingkan, berlagak mengenali. “Well ... kau pasti Sandy. Jorge—Jorge Norwood.” Ia mengulurkan tangannya yang kurus dan panjang padaku—bintik-bintik pada wajahnya mirip aku, hanya saja bintik-bintikku dua kali lebih banyak dan terang dari punyanya—dan menyebar lebih luas dan padat pada tulang pipi, hidung, dan dahi.

Barusan Sam sempat menceritakan sedikit tentang sahabat-sahabat Alex. Jorge adalah Si Aneh dalam geng Alex. Dengan canggung aku menjabat tangannya. “Senang bertemu denganmu.”

 “Waktu Alex bilang ada seorang cewek yang memutuskan pindah dari New York ke kota ini, aku benar-benar tak percaya, maksudku ....” Ia membentangkan tangannya kanannya dengan kikuk ke udara, menyuruh aku membandingkan sendiri.

 Dalam kepalaku aku membandingkan hutan teduh yang mengitari lapangan ini dengan gedung-gedung tajam berlapis kaca yang ada di Manhattan. “Verotica jauh lebih keren.”

Jorge melayangkan pandangan kilat padaku kemudian Alex—lalu tertawa, giginya yang besar-besar mengeluarkan bunyi desisan getir yang aneh. “Sori, Sandy, tapi aku rasa ada yang tidak beres dengan otakmu“—aku lebih dari setuju—“Verotica sama sekali tidak keren.” Ia meringis. “Maksudku, mau cari bioskop saja harus ke Tipplepot.”

Alex kontan menyenggol punggung Jorge dengan bahunya. “Kayak punya duit saja kau, J, pergi nonton ke Tipplepot segala. Bayar utangmu padaku dulu.”

Jorge merengut kecewa pada Alex. “Ck, ck, cuma sepuluh dolar saja ....”

“Sepuluh dolar sebelumnya juga,” protes Alex cepat. “Dan lima belas dolar sebelumnya—oh, dan tujuh dolar sebelum itu waktu kita bertaruh pertandingan Sox dan Orioles—aku punya catatannya di sini.” Alex mengetuk kepalanya dengan telunjuk, menunjuk otak.

“Oh, kukira yang lima belas dolar itu kau menganggapnya lunas waktu aku mengenalkanmu pada si pirang seksi itu.” Jorge menyeringai penuh arti. “Mau disebutin nih, namanya?”

“Hei! Awas kau!” Alex menonjok lengan bagian atas Jorge sangat keras—terlalu keras untuk bercanda. “Jangan asal bicara!”

Jorge mengerang. Lalu balas menonjok, tapi Alex menangkisnya dengan sikutnya. “Waktu itu kau kan naksir berat cewek itu. Kau berciuman sangat mesra dengannya di mobilmu, banyak saksinya.”

“Dia bohong, Sandy, jangan percaya!” cetus Alex padaku dengan panik. “Omong kosong si culun ini saja! Gini, waktu kami nongkrong di bar, ada segerombolan cewek dari Malton. Kami semua bertaruh siapa yang berhasil mendapatkan nomer telepon salah satu dari mereka—cuma iseng, aku bersumpah!” Alex menjelaskan padaku dengan cepat dan serius. “Salah satu cewek itu ternyata temannya kakak perempuan Jorge, lalu Luke, temanku yang lain, minta dikenalkan. Tahunya cewek itu mengira yang bernama Luke itu aku. Terus cewek itu memaksaku ikut dengannya ke pesta api unggun di Tipplepot, uh, dia tiba-tiba menarikku—pokoknya semuanya kecelakaan ....”

“Maksudmu kecelakaan yang romantis, ya?” godaku, sementara Jorge tertawa terpingkal-pingkal.

“Senangnya akhirnya punya kartu As-mu.” Jorge masih terkekeh-kekeh.

“Diam kau, berengsek!” Dengan wajah merah padam Alex menyikut Jorge, tampak ragu untuk melibatkan tatapan padaku.

Alex dan Jorge masih melanjutkan adu mulut mereka ketika muncul dua cowok lainnya yang langsung menghampiri kami; yang satu agak pendek, berambut spike cokelat dengan senyum lebar menyentuh alis dan mata—satunya lagi bertubuh besar berotot seperti atlet bela diri. Yang satu ini memiliki rambut hitam gondrong awut-wutan, dan pada lengan kanannya terdapat tato besar bergambar elang, warnanya hitam pudar kebiru-biruan seperti bekas tinju yang sangat keras.

“Nah, yang mirip bintang porno ini Luke Crowley—dan si besar ini Lee Swanson,” Alex memperkenalkan dua temannya yang lain padaku, dan aku langsung mengalihkan pandanganku dari tato yang bertubuh besar.

Lihat selengkapnya