Verotica's Secret

andra fedya
Chapter #5

4. GURU SIHIR

HARUS kuakui, makanan yang disajikan kafe langganan Alex sungguh lezat. Tak banyak pengunjung yang datang sore itu—hanya kami dan tiga pria yang membawa peralatan pancing yang duduk di meja seberang—sehingga kami dilayani lebih cepat. Dalam perjalanan kemari aku sudah memutuskan untuk tidak membahas masalah di lapangan barusan. Aku tidak ingin merusak suasana sebab Alex kelihatan sangat senang setelah aku mengatakan menerima tawaran untuk meneruskan sekolah di sekolahnya itu. Alex juga berjanji akan mengurus persyaratanku sampai tuntas.

    “Aku akan minta Mom atau Sam untuk mendaftarkanmu, lalu aku bisa mengurus kelas, jadwal, dan urusan administrasi lanjutan lainnya,” katanya, nadanya riang seperti anak yang baru diberi hadiah—dan aku agak merasa bersalah tentang yang satu ini; mau tak mau, sebagian dalam diriku menyerukan kebenaran hal itu, bahwa cowok berambut hitam itu yang ... entahlah ....

    Dengan tulus aku berterima kasih pada Alex untuk bantuan-bantuannya, tapi seperti biasa ia menganggap kebaikannya bukan sesuatu yang perlu dibesar-besarkan. Setelah itu kami hanya berkonsentrasi pada makanan kami. Sekali Alex memang mencetuskan lelucon lucu yang membuatku tersedak, namun setelah ia melihat bagaimana kentang yang menyumbat tenggorokanku itu membuat aku terbatuk parah, ia berhenti mengatakan hal-hal menggelikan dan membiarkan aku menghabiskan makananku dengan tenang.

 “Well, kau mahir menyihir, Sandy?” Alex mendadak bertanya saat aku sedang mengelap mulutku dengan tisu. Dari mimiknya, aku yakin ia sudah menunggu momen untuk mengatakan itu padaku. Apa Lucy belum memberitahu mereka yang satu itu, ya?

“Kau pasti mahir, ya, kan? Mengingat dari keluarga mana kau berasal,” imbuhnya sebelum aku mengatakan apa-apa.

 “Er ... sebetulnya tidak juga,” dustaku—kebenarannya, aku sama sekali tidak bisa menyihir, tapi Alex tak perlu tahu itu kecuali—

“Tunjukkan padaku,” pintanya dengan cengiran merekah, ujung-ujung rambut pirangnya bergoyang pelan tertiup kipas angin putar di atas kepala kami. Kadang di tempat yang lebih redup, rambut Alex tampak lebih sewarna gandum ketimbang platina. Aku lebih menyukai warna gandum ketimbang campuran emas dan perak pada rambutnya. Setidaknya warna gandum memberikan kesan yang jauh lebih hangat pada wajahnya—sangat cocok dengan sifatnya yang periang.

Aku menelan ludah. “Ah, tidak usah saja, tidak baik pamer di depan orang lain ...”

 “Bagaimana kalau anggap itu sebagai ucapan terima kasih karena aku akan mengurusi persyaratan sekolahmu nanti,” usulnya.

Aku kontan menatapnya galak. “Aku tidak pernah memintamu. Kau yang menawarkan diri!” aku mengingatkan dengan separo kesal. “Lagian ada Dumdey di sini, kita tidak boleh menarik perhatian.” Membayangkan tidak akan ada sesuatu meletup dari ujung jariku membuatku ngeri sendiri.

“Ayolah, Sandy, sihir kecil-kecilan saja,” bujuknya dengan senyum menggoda. “Seperti ... gerakkan benda.” Wow, gerakkan benda, meletupkan api saja aku tak bisa—sihir paling dasar di alam semesta. “Atau coba buat pelayan itu kepeleset—namanya Ellen, percayalah dia cukup pantas untuk dikerjai. Dulu Jorge pernah hampir diusir lantaran tak sengaja memecahkan gelas di sini.” Alex menunjuk pelayan wanita dengan sepatu bot biru bermanik-manik yang wajahnya berkeriutan seperti siput.

“Tidak, aku tidak setuju. Jangan pernah menggunakan Dumdey sebagai kelinci percobaan, Alex, itu ilegal,” kataku setegas mungkin, kemudian menelan ludah sekali lagi. “Bagaimana kalau mematikan musik di mesin itu saja,” usulku begitu saja. Aku menunjuk mesin pemutar lagu di sudut ruangan dengan bimbang.

“Mm, ide bagus.” Ia langsung setuju.

Aku tak punya pilihan. Kugigit bibir bagian bawahku.

Aku mengembuskan napas pelan-pelan, berusaha berkonsentrasi pada mesin pemutar lagu itu. Oke, apa salahnya mencoba, siapa tahu keajaiban muncul.

“Fokus. Konsentrasi,” Alex menyarankan.

Aku mempertajam tatapanku ke mesin pemutar lagu itu. Kucoba mengosongkan otak dan memindahkannya ke dalam hati—teori gampang saja.

Fokus! Fokus! Fokus! Aku memerintah diriku sendiri, kucengkeram pinggiran meja dengan tangan kanan sementara tangan kiri kugunakan untuk menopang kening.

Aku terus memicingkan mataku ke arah mesin yang berkerlap-kerlip itu, Demi nama leluhur penyihirku… aku memerintahkan kepada Benda Mati—tunduklah pada kepada kekuatan gaib… Matilah… Jangan biarkan lagu ini tetap menyala di ruangan ini… Matilah… Berhenti… Tunduklah pada kekuatan gaibku… Berhenti… Ayo berhenti… Aku mohon… Please

Lihat selengkapnya