Taksi di Verotica tidak berwarna kuning seperti di New York—warnanya hitam kusam seperti bubuk mesiu dan bentuknya agak gemuk. Jumlahnya pun bisa dihitung dengan jari karena mereka tidak terikat pada agen melainkan pekerja mandiri yang mencari nafkah dari penduduk setempat yang bekerja di kota tetangga. Ketika sampai di tujuan, Sam sangat keberatan aku yang membayar ongkos taksinya. Tapi aku berhasil mengabaikannya dan pada akhirnya Sam hanya mendapat pilihan untuk menggerutu.
Sam dan aku harus mendorong pintu kayu yang sangat berat untuk masuk ke dalam toko pakaian yang ia rekomendasikan padaku. Di dalam toko, pria tua berpakaian kuno bergegas menyambut kami, langsung menawarkan untuk membantu menemukan apa yang kami cari meskipun pada akhirnya kami lebih memilih mencari semua keperluan sendiri.
“Kalau ada yang tidak kami temukan, kami akan mencari Anda, Mr. Otis,” Sam berkata sopan kepada pria itu.
“Pilih saja yang kalian suka,” jawab pria itu, sepertinya senang dengan tamu mandiri seperti kami.
Sam lalu membawaku ke pojok toko, ke tempat jaket-jaket digantung. Aku memilih mencari yang dilipat di atas meja. Tak ada pengunjung lain selain kami hari itu, aku tak heran karena pilihannya tidak banyak dan barang-barangnya tidak mengikuti mode, meskipun ironisnya beberapa barang cocok dengan seleraku. Tidak sulit menemukan warna yang tidak mencolok di sini, tapi rata-rata ukurannya besar. Bantuan Mr. Otis akhirnya diperlukan untuk mencarikan ukuran yang cocok di ruang penyimpanan. Selain itu, Mr. Otis juga membantu mencarikan tas yang cukup kasual dan bisa dipakai sekolah—selain koper, aku hanya membawa tas selempang kecilku yang jelas kelewat kecil menampung alat sekolah.
Kami berbelanja dengan cepat. Walaupun Sam cerewet tentang kualitas, harga, dan kerapian jahitannya, aku senang berbelanja dengannya. Setidaknya Sam memerhitungkan pendapatku dan memberi usul yang betul-betul tepat; lebih kepada fungsinya bukan modelnya semata. Kami tidak akan mampir ke toko alat tulis sebab Eve sudah berjanji akan membelikan seperangkat alat tulis dan meminjamkan beberapa buku pelajaran dari perpustakaan tempatnya bekerja. Seperti janjiku padanya, aku tidak memprotes pemberiannya itu. Eve berkata itu sebagai hukuman karena membayar uang sekolah sendiri.
Sebelum menuju supermarket untuk membeli persediaan kulkas, aku dan Sam memutuskan makan siang terlambat di sebuah restoran kecil yang kelihatannya sudah dibuka satu abad silam, berada persis di depan plaza kecil dengan air mancur sentral kuno tempat dua wanita sedang mengistirahatkan anjing besar mereka. Aku segera memesan kentang goreng dan sandwich, sedangkan Sam memilih setengah porsi salad ayam dan nuggets. Pelayannya gadis yang sangat cantik dan berwajah sendu, tapi memiliki suara sengau yang lucu—yang sedikit mengingatkan aku pada Lucy.
Saat akan memasukkan makanan ke mulutku, tanpa sengaja aku melihat hiasan di dinding berupa dua sapu kuno yang dipaku—saling disilangkan, dengan tulisan di bagian tengahnya ‘Wizard-Wizardy-Wizardiuz (sorak-sorai penyihir)—yang dipulas dengan cat kayu ungu kelam dan dihiasi lampu-lampu mungil berbagai warna berbentuk bintang yang berkedap-kedip cantik bagai permata.
“Alex pernah berkata padaku penduduk Verotica sangat memercayai mitos penyihir,” aku memulai. “Aku hanya ingin tahu kenapa hal itu bisa terjadi? Maksudku, mereka merayakan hari-hari yang berkaitan dengan penyihir—dan mereka betul-betul mengaplikasikannya ke dalam ... semua ini.”
Sam mengikuti arah pandanganku, dan tampaknya mengerti. “Well, kau tahu kenapa migrasi penyihir kuno konon berakhir di Verotica?” Sam balik bertanya sambil mengaduk-aduk strawberry smoothies-nya dengan sedotan.
“Tidak,” aku mengakui. “Yang kutahu berakhir di Salem, Massachusetts sebelum menyebar dan membentuk organisasi kewilayahan sendiri-sendiri, berpencar agar tidak mencolok, lalu memilih kamuflase yang sesuai dengan citra moyang mereka.” Aku yakin begitu.
“Yeah, itu baru-baru, tapi jauh sebelum seperti sekarang ini semuanya amat berbeda ... oh, kau tentu sudah mendengar sejarah penangkapan penyihir besar-besaran di London pada abad tujuh belas, yang melatarbelakangi migrasi penyihir dari Inggris ke Amerika, kan?”
“Percayalah, pengetahuan sejarahku tidak akan membuatmu terkesan,” aku berterus terang. “Orangtuaku membesarkanku dengan modern. Sebelum umur tujuh belas kelihatannya mereka tidak akan memberitahuku terlalu banyak informasi.”
Sam mengangkat kedua alisnya yang pirang. “Kalau begitu sebaiknya aku menceritakan sedikit dari awal supaya kau lebih mengerti,” ia mengusulkan, lalu menggeser minumannya dan mendekatkan piring untuk memasukan sepotong kecil salada. Aku mengamati baik-baik sambil memakan makananku. “Mulai dari mana, ya? Ehm, ratusan tahun yang lalu di London—asal-muasal eksistensi kelompok penyihir yang paling berpengaruh selain kerajaan-kerajaan sihir kuno di Eropa Timur—terjadi penangkapan penyihir besar-besaran yang melibatkan pihak gereja dan pengadilan. Banyak penyihir yang ditangkap dan diadili, bahkan tak jarang ada Dumdey yang dituduh menjadi tukang sihir dan ikut divonis. Karena kekisruhan tak kunjung mereda, penyihir yang menginginkan kehidupan yang lebih layak berhijrah ke Salem, Massachusetts, membuat koloni baru, mengangkat kembali aturan lama dan belajar dari kesalahan—berhenti melakukan hal mencolok,” ia menjelaskan.
“Nah. Sepertinya sampai di sanalah batasku,” gumamku.
“W. Petaru Bobgin adalah salah satu pemimpin koloni pertama di Salem yang terkenal, ia dikenal sangat bijaksana dan arif,” lanjut Sam, mengaduk salad-nya yang tinggal sedikit, tanpa memakannya. “Namun, tak sampai dua tahun memperoleh kedamaian, entah bagaimana mulanya peristiwa penangkapan penyihir di London itu terulang kembali. Banyak penyihir yang benar-benar ditangkap di Salem,” gumamnya.
“Lalu penyihir-penyihir yang selamat dari pengadilan Salem itulah yang bermigrasi ke Verotica?”