“APA kau tahu tetangga sebelah rumah memelihara kucing?” Aku sengaja memaksakakan pemikiran yang paling masuk akal di benakku; semua orang tahu burung raksasa bermata kuning tajam bukanlah sesuatu yang logis. Sementara itu, aku dan Alex sedang dalam perjalanan menuju sekolah, dalam Cadillac-nya yang cukup hangat, dan tentu saja berisik. “Atau mungkin hewan lain,” aku menambahkan sendiri sebelum dijawab karena melihat ekspresi Alex yang mengernyit.
“Aku baru ingat keluarga Florence memelihara anjing baru-baru ini, namanya Leggie, karena satu kakinya pincang. Kasihan sekali.”
Tapi anjing tidak mungkin bisa memanjat pohon dan menggaruk-garuk jendela, apalagi anjing pincang. Dan mata anjing tidak seperti itu.
“Tetangga yang lain, barangkali,” cetusku lagi. Aku sengaja membuat nadaku begitu ringan—Alex tidak perlu tahu betapa paniknya aku.
“Setahuku juga tidak.”
“Kau yakin?” desakku.
“Mh-mh,” gumamnya sambil mengangguk-anggukan kepala, mengikuti irama musik. Dan inilah yang kumaksud “berisik” selain suara mesin mobilnya.
Aku mendesah tanpa kusadari—entah karena yang mana; karena tidak menemukan jawaban atau karena musiknya.
“Well, sebetulnya semalam aku melihat sesuatu di dahan pohon depan kamarku—sepasang mata. Mata yang agak besar.” Sambil menarik napas kuputuskan bercerita. “Sepertinya itu mata hewan. Tapi aku tidak tahu hewan apa yang memiliki mata seperti itu. Ada kemungkinan itu burung mengingat bentuk matanya ... menurutmu jenis burung apa yang memiliki mata kuning, tajam, dan besar?”
“Gagak,” Alex mengusulkan, seperti asal saja.
“Gagak?”
Alex membanting stir ke kanan di pertigaan jalan. “Entah sejak kapan, em, mungkin sekitar empat tahun yang lalu, gagak-gagak hutan mulai bertindak aneh. Mereka mulai meninggalkan hutan dan sering terbang ke kota untuk hinggap di atap-atap rumah dan toko. Yang kaulihat semalam mungkin salah satu gagak yang tersesat. Matanya yang berwarna kuning pastilah karena memantulkan lampu kamarmu.” Ternyata ia punya penjelasan.
Aku mempertimbangkan untuk sesaat; teori Alex cukup masuk akal. “Yeah, mungkin juga.” Aku tak ingin memperpanjang ilusi konyol itu karena begitu berbelok di tikungan lebar, bangunan sekolah akhirnya tampak di ujung jalan.
Well, seperti dugaanku, bangunan SMA Verotica memiliki arsitektur kuno seperti bangunan pendahulu lain di kota ini. Ketika mobil memasuki gerbang, aku langsung melihat bahwa bangunan sekolah jauh lebih tinggi dari permukaan tanah, setidaknya dua meter tingginya. Kami harus menaiki sedikitnya selusin anak tangga lebar yang terbuat dari batu kelabu yang tampak licin untuk masuk ke dalam gedung sekolah. Aku bertanya-tanya berapa banyak murid yang pernah terjatuh di sana. Lahan parkirnya cukup luas, namun agak suram karena dikelilingi hutan yang agak berkabut. Permukaannya juga tidak terbuat dari aspal atau paling tidak semen—ternyata ada yang dilapisi semen dan kanopi fibergass tapi untuk karyawan dan guru-guru. Aku heran, kenapa orang-orang tidak memprotes? Puluhan jejak ban mobil meliuk dalam di sana-sini, beberapa membentuk jejak dari lumpur yang mengering. Di sekolahku yang lama, kami memiliki basement untuk kendaraan murid-murid, dan lobi megah di bagian depan bangunan agar orangtua murid tidak merasa mengunjungi anak mereka di sekolah.
Aku berjalan bersama Alex melewati mobil-mobil lain menuju gedung utama. Tangganya kokoh dan terbuat dari batu, lantainya ternyata tidak selicin perkiraanku. Beberapa murid yang duduk-duduk di bangku semen memandangiku dengan sorot penasaran, beberapa berbaik hati tidak memedulikan dan melenggang menuju gedung yang dituju dengan ransel-ransel gemuk mereka.
“Kami jarang kedatangan murid baru,” Alex menjelaskan padaku tentang reaksi murid-murid yang memandangiku tadi, sementara aku bertanya-tanya dalam hati ia mau membawaku ke mana. Alex lalu menyuruh aku menunggu di bangku panjang di koridor dekat pintu kaca, sementara ia sendiri masuk ke ruangan di samping. Saat menunggu aku tidak duduk karena tempat duduknya lembap. Ia kembali sekitar lima menit kemudian, mengulurkan beberapa lembar kertas kuning pucat padaku yang dihekter di bagian kiri atas.
“Kau harus menghadap Mrs. Withley nanti. Jadwal kita sembilan puluh persen sama. Hanya saja mereka tidak bisa mengusahakan untuk Inggris dan Spanyol—tapi kau sekelas dengan Lee yang dua itu,” Alex memberitahuku.
Alex kembali membimbingku berjalan melewati kelas-kelas dan ruangan-ruangan di sepanjang koridor, memberitahu yang mana kelas yang nantinya akan menjadi kelasku. Bau sekolah khas dan menusuk hidung, mirip campuran aroma rumah sakit dan air seni kelinci (campuran bau apak dan jenis aroma kelembapan tertentu yang kemungkinan sudah berevolusi). Sama sekali bukan aroma yang membangun semangat belajar tentunya. Beberapa murid yang berpapasan dengan kami menyapa Alex sebelum mengernyit padaku dan saling berbisik.
Kami menaiki tangga di gedung tiga, lalu memasuki kelas terdekat. Aku melihat Jorge dan Lee sudah duduk di bangku mereka, sedang mengobrol bersama beberapa murid cowok lain, sementara Luke sedang bercanda dengan cewek-cewek di bagian belakang. Jorge yang pertama kali mendongak—detik itu juga aku refleks menarik napas, tahu apa yang akan terjadi.
“Wah, cewek kita datang!” sambutnya dengan suara keras yang menarik perhatian, dan aku merona karena hampir seluruh murid langsung memandangiku; pandangan mereka bermacam, sulit memutuskan mana yang paling tajam menatapku atau yang paling ramah. Aku mendapatkan tempat di bangku kosong di paling belakang kelas. Asyik, tempat bagus untuk tidur pulas, pikirku. Alex tadinya duduk di depanku, tapi memutuskan untuk bertukar tempat dengan cowok di sampingku yang tanpa pikir panjang langsung setuju. Alex menggeser kursinya mendekat, memeriksa buku pelajaranku untuk kelas pertama. Bel masuk akhirnya berbunyi, suram dan parau bagaikan orkestra kematian. Murid-murid yang masih di luar kelas masuk dan duduk di bangku mereka. Kata Alex ada kemungkinan gurunya akan datang terlambat untuk kelas pertama.
Tadinya, aku berharap seisi kelas akan mengabaikanku paling tidak sampai mereka tahu namaku dengan sendirinya. Tapi dengan menyebalkan, Alex berdiri di depan kelas untuk membuat pengumuman. Ia bilang kalau aku ini gadis kota, anak kerabatnya yang untuk sementara waktu tinggal di rumah keluarganya. Jelas pernyataan itu membuat semua mata jadi tertuju padaku. Terpaksa, akhirnya aku tersudut untuk memperkenalkan diri dan menjadi sorotan.
Kupikir siksaan hanya akan berakhir ketika aku duduk di bangkuku, sayangnya dalam situasi kikuk itu seorang cewek yang memakai kacamata malah melemparkan pertanyaan untukku, “Jorge bilang kau pindahan dari sekolah privat di Manhattan, apa itu benar?”
Dengan pandangan jengkel aku melirik Jorge. “Well ... apa yang dikatakan Jorge pada kalian benar. Aku pindahan dari sekolah khusus perempuan di Manhattan,” jawabku akhirnya. Aku tahu, seharusnya aku tidak mengatakannya secara terang-terangan, tapi di waktu bersamaan aku juga terlalu gugup untuk mengarang cerita.
Setelah ada yang mengawali, yang lain lebih berani mengajukan pertanyaan. Beberapa yang bertampang kutu buku bertanya mengenai sistem pendidikan di sekolah lamaku, sementara beberapa anak yang lebih berani dengan terang-terangan mengungkapkan ketertarikan mereka terhadap NYU dan tempat populer di NY yang pernah mereka lihat di televisi; memastikan televisi tidak mengelabui mereka. Dalam hati aku semakin khawatir mengenai jati diriku yang terlalu terekspos di kelas pertamaku ini. Apa hal ini tidak akan membuatku berada dalam masalah nantinya? Mungkin seharusnya sebelum melibatkan diri ke dalam dunia sosial, aku sudah mempersiapkan nama dan latar belakang palsu. Tapi semuanya sudah terlambat.
Ketika ada salah satu anak yang bertanya alasan aku meninggalkan New York, aku menggunakan jawaban yang digunakan Alex pada Clarice di lapangan basket tempo lalu. Tentu saja semua orang tampak sangat terkejut ketika aku memberitahu mereka bagian di mana aku dan Alex tinggal satu rumah—tapi kupikir ini kota kecil. Toh, cepat atau lambat mereka juga akan tahu. Terdengar dengungan rendah dari berbagai penjuru, tentu saja, hal seperti itu akan menimbulkan gosip. Melihat aku kewalahan, Alex buru-buru berdiri dari bangkunya untuk mengklarifikasi.
Cowok berambut ikal yang duduk di jajaran tengah mengangguk perlahan setelah mendengar pembelaan Alex untukku. “Aku dengar sekolah-sekolah di kota besar sering melakukan pertukaran pelajar seperti itu.”
Yang lainnya masih bergumam, saling berbisik, kemudian diam—kusimpulkan mereka tak mau terlalu memusingkan. Namun setelah aku melihat ke arah pintu, aku menemukan alasannya kenapa mereka mendadak menjadi pasif begitu; entah sejak kapan guru kami berdiri di luar pintu, tangannya disilangkan di dada, sepertinya menunggu kami selesai berdebat. Yang paling depan jelas melihat duluan. Ketika guru itu masuk, kelas langsung senyap.
Guru bahasa Prancis, Mrs. Dale, adalah wanita paruh baya, bertubuh kurus dan bertampang kecut seperti labu yang mengerut. Sebenarnya ia tidak begitu fasih berbahasa Prancis, tapi berusaha menggunakan logat Prancis bahkan ketika berbicara dengan bahasa Inggris. Belum-belum ia sudah memberikan PR yang seabrek di akhir pelajaran. Meskipun begitu ia hanya memanggilku ke depan sebelum kelas usai dan berbicara empat mata ketika memintaku memperkenalkan diri padanya.
Di kelas berikutnya mirip, ruangannya sama-sama bercat putih gading dan berjendela panjang dengan kaca buram seperti balok es. Beberapa masih orang yang sama di kelas Prancis sehingga mereka mau berbaik hati memberitahu namaku pada murid yang lain—dan menjabarkan semua hal yang kuutarakan di kelas sebelumnya. Satu per satu murid mulai berani mengajakku ngobrol. Lalu kembali ke bangku masing-masing dengan tampang puas setelah berhasil menginterogasiku.
Seperti di kelas sebelumnya beberapa masih saling berbisik-bisik ketika aku memberitahu mereka tempat tinggalku. Tapi aku senang kebanyakan anak lebih penasaran tentang New York ketimbang urusan pribadiku. Beberapa anak masih bertanya hal yang sama, dan aku menjawab pertanyaan mereka dengan lebih luwes meskipun jantungku tetap berdebar setiap kali mereka bertanya hal yang menyangkut keluargaku—dan marga “Swolley”-ku yang menurut mereka agak unik. Aku mulai berpikir bahwa langkahku masuk sekolah lagi cukup gegabah, ditambah kenyataan bahwa aku bahkan tidak berpikir untuk membuat identitas palsu. Ketika mereka tidak memerhatikan, aku mencatat nama-nama mereka ke kertas bagian belakang binderku. Kalau beruntung, mungkin besok aku sudah ingat tujuh puluh persen nama.
Orang-orang di sini lumayan baik dan umumnya cowoknya lebih pemalu dari ceweknya, jadi yang kebanyakan mengajakku berkenalan adalah para cewek. Saat bel istirahat berdentang, Alex dan Lee menggiringku ke kafetaria. Rupanya mereka punya bangku langganan yang biasa digunakan setiap hari; pojok sebelah kanan persis di bawah jendela besar yang menghadap ke taman kecil dan lahan parkir. Pojok yang terang benderang dan sangat mencolok, pikirku. Tempat jatuhnya cahaya matahari. Tempat yang akan kuhindari kalau duduk sendirian. Sinar matahari hanya akan membuat rambutku tampak membara layaknya api yang marah. Dan sepanjang pengalamanku semua orang benci menemukan energi negatif di sekitar mereka.
Pemandangan satu cewek dikelilingi empat orang cowok memang seperti magnet. Orang-orang yang baru melihatku melirikku dengan pandangan penasaran dan ingin tahu, beberapa di antaranya bahkan terang-terangan memelototiku dengan sikap antipati. Aku tak heran, tapi jengkel karena menduga mereka iri. Kalau mereka mau, mereka bisa bergabung, tak perlu melayangkan pandangan seperti itu. Aku melihat Clarice dan teman-temannya yang duduk tak jauh dari tempat kami melayangkan pandangan mengancam ke arahku. Aku memilih berpura-pura mengabaikannya dengan menyimak obrolan Alex dan teman-temannya. Aku tidak berharap menemukan masalah di hari pertama aku bersekolah kembali—meskipun aku tahu masalah selalu mengikutiku bagai bayangan sendiri.
Teman-teman Alex terus berceloteh sepanjang jam makan siang. Mereka makan dengan lahap sambil berbicara dengan heboh membahas topik mengenai acara Halloween nanti.
Luke tampaknya frustasi dengan persoalan kostum sementara yang lain berkali-kali menyebut tentang target yang harus dihabisi nanti. Aku tidak paham 90% obrolan anak-anak cowok itu, tapi aku merasa cukup beruntung mereka mau mengajakku nongkrong bersama tanpa merasa risi karena aku adalah cewek, anak baru dan juga berasal dari luar kota.
Saat aku sedang menggigit ujung botol plastik yogurtku untuk membukanya, Jorge mengangkat kaleng sodanya sambil melesakkan bokongnya ke meja. “Bersulang untuk keseruan Halloween tahun ini!” Dengan heboh mereka lalu mengadu kaleng-kaleng minuman mereka.
“Apa kau masih tidak mau memberitahuku kenapa semua orang bersemangat sekali menyambut Halloween?” bisikku pada Alex yang duduk tepat di sebelahku.
Alex nyengir. “Sepertinya tidak. Coba saja tanya yang lain, taruhan mereka akan melakukan hal yang sama. Sabar sedikit lagi ya, Nak.”
***
Bel masuk kelas selanjutnya akhirnya memecah kami berlima. Aku yang sekelas dengan Lee, berjalan menuju gedung lima sementara Alex, Luke, dan Jorge memasuki gedung empat. Dengan murah hati Lee langsung memilihkan tempat duduk untukku, bangku kosong di jajaran belakang, persis di sebelahnya. Sebenarnya, diam-diam aku lega satu kelas dengan Lee dibandingkan jika Luke atau Jorge yang ditinggal berdua saja denganku. Lee aslinya adalah tipe yang tenang, dan hanya sedikit heboh jika bersama teman-temannya. Tipe yang tak akan menyulitkanku.