AKU tersentak. Aku bangun dengan bermandikan keringat. Wajah itu memenuhi pikiranku. Bagaimana bisa aku bermimpi tentang seekor elang dan cowok bernama Victor itu? Selama ini aku bahkan belum pernah melihat wajahnya dengan jelas. Aku masih berusaha menguasai diri saat menyadari kalau semua lampu di kamarku, baik lampu tidur maupun bola lampu di langit-langit, menyala. Juga radio tua yang berdiri tegak di atas nakas kini sedang memutar lagu rock and roll tidak terkenal dengan sayup-sayup. Pasti saat mengecek mati lampu atau tidak semuanya kubiarkan dalam keadaan hidup. Aku mengintip dari celah sempit gorden yang tersingkap. Hujan sudah berhenti, hanya menyisakan rintik yang kelewat kecil untuk disadari.
Saat mencoba bangkit, aku merasa terlalu pusing. Kuputuskan kembali naik ke atas tempat tidur. Mimpi buruk tadi terlupakan saat aku didatangi mimpi buruk lain mengenai pesta pertunanganku; botol sampanye yang meledak, ibu dan ayahku yang menatapku dengan mendamba, dan saat October hampir menusukkan sebuah cincin ke jari manisku, Alex menarikku. Nyatanya Alex memang membangunkanku untuk makan malam. Aku berterima kasih padanya karena menyelamatkanku, dan ia balas menyodorkan sebutir obat demam.
Meskipun keadaanku belum membaik sampai keesokan harinya, aku lega saat Alex menanyakan keadaanku ketika kami bertemu di tangga, jawabanku tentang obatnya yang manjur langsung membuatnya percaya. Dugaanku, kali ini bintik-bintik pada wajahku yang menjelas mengaburkan kulit pucat dan lingkaran lebam di bawah mataku. Belum pernah aku merasa bersyukur tentang hal itu.
Di sekolah, Melissa sudah menungguku di laboratorium seperti janjinya kemarin. Ia mengangkat tangannya tinggi-tinggi begitu melihatku memasuki lab. Ketika melihat seisi kelas, entah mengapa aku memiliki perasaan takut akan terbangun dari mimpi. Mungkin karena aku terlalu sering terbangun dengan perasaan buruk hingga realita tampak mengabur dan sulit diterka.
Ketika aku hendak menghampiri tempat dudukku, aku mendapati banyak murid yang melirikku dengan pandangan ingin menyapa, tapi entah mengapa mereka tak melakukannya dan berhasil mengalihkan perhatian mereka ke arah lain. Tanpa berniat memusingkan semua reaksi itu, aku buru-buru duduk di samping Melissa, di bangku tinggi bundar yang permukaannya halus berkat pelitur. Aroma laboratorium yang seperti kandang kelinci lebih menyengat daripada kelas-kelas yang pernah kumasuki. Bukan hawa yang bagus untuk perkembangan sel-sel otak.
Alex dan Lee duduk dua meja jauhnya di belakang meja kami, dengan seru membicarakan sesuatu tentang liburan singkat nanti, topik yang mereka bicarakan sejak jam istirahat (selain topik tentang Halloween yang mulai membuatku sinting). Luke dan Jorge duduk di belakang mereka dengan rambut kusut dan wajah tertekuk, kelihatannya sudah hampir mati bosan bahkan sebelum pelajaran dimulai.
Ketika guru kami masuk lewat pintu belakang lab, Melissa langsung membuka buku pelajarannya dengan penuh semangat, dan mau tak mau dengan kikuk aku mencontohnya. Mr. Downing, kemudian menyuruh kami memakai jas lab dan mengambil tabung-tabung reaksi dari rak. Melissa sudah menderetkan tabung-tabung di meja waktu aku kembali, memberikanku kertas isian sambil menerangkan percobaan kami minggu ini.
Hampir semua petunjuk yang tertulis di kertas dan papan tulis tak ada yang kumengerti. Di sekolahku yang lama sepertinya aku belum mempelajari semua yang dikerjakan hari ini—atau bisa jadi, aku memang melewatkan semua bagian pentingnya. Aku memang mahir tertidur saat kapasitas otakku mencapai limit. Aku berusaha berkonsentrasi dan mengingat-ingat pelajaran Kimia yang tertinggal di otakku.
Selain amat cekatan dan terampil, Melissa adalah tipikal orang yang banyak bicara namun bisa membagi konsentrasinya ke beberapa hal sekaligus. Sambil melakukan percobaan kami tentang penyetaraan reaksi redoks, ia bercerita padaku bagaimana kesulitannya menjadi ketua Klub Radio.
“ ... Belum lagi jika berita itu mendapat larangan dari pihak sekolah padahal aku sudah bersusah payah mengorek sesuatu dari narasumber—eh, bisa tolong ambilkan pencapit itu, Sandy?” pinta Melissa sambil menggulung-gulung kapas dengan jari-jarinya.
Aku menyodorkan pencapit padanya, lalu kembali diam, memerhatikannya dan menunggu kalau-kalau ia memerlukan sesuatu yang lain. Aku benar-benar beruntung memiliki partner aktif yang suka bekerja sendiri.
Dengan gesit Melissa menetesi setiap percobaan dengan cairan yang sudah ditentukan. “Selain Klub Radio, aku juga memimpin redaksi majalah dinding dan tabloid kota yang terbit setiap dua minggu sekali,” ia memberitahuku. “Maka dari itu aku selalu membawa kameraku ke mana saja—percobaan kita yang satu ini juga berhasil lagi.” Sebenarnya dia tidak seharusnya memakai kata jamak untuk percobaan yang dilakukannya sendiri. “Bisa tolong kau tuliskan hasil percobaan kita barusan ke tabel-tabelnya? Aku akan mengamati percobaan terakhir dengan Natrium Tiosulfat.”
“Tentu.” Aku buru-buru menarik pulpen dan langsung menyalin catatan acak-acakan yang dituliskan Melissa pada buku catatannya ke kertas isian yang dibagikan Mr. Downing barusan. Kutulis dengan hati-hati agar tulisanku rapi, setidaknya hanya itu yang bisa kulakukan untuk tim kecil kami.
“Sudah selesai?” Melissa mendongak melirik pekerjaanku. Setelah menerima kertasku, Melissa langsung menumpuknya di meja Mr. Downing tanpa meninjaunya kembali. Diam-diam aku menghargai kepercayaannya pada hasil salinanku.
“Kau tahu, Sandy, banyak orang yang membicarakanmu sejak kemarin,” katanya pelan-pelan ketika sudah duduk kembali di sampingku. “Cewek-cewek di sini suka sekali bergosip,” lanjutnya tanpa menunggu komentarku. “Yah, itu semua berkat pengakuan Brower di kelas Prancis kemarin—bagian di mana kau tinggal serumah dengannya itu cukup mengejutkan.”
“Mungkin karena aku anak baru mereka masih senang membicarakanku. Tunggu beberapa minggu lagi, aku yakin mereka akan bosan,” gumamku, tak mau ambil pusing.
“Menurutku tidak begitu,” protesnya. “Tidak jika berita itu berkaitan dengan murid baru dari New York dan salah satu cowok paling cool di sekolah ini.”
“Cowok paling cool??” ulangku tidak yakin.
Melissa mengedikkan bahu. “Banyak yang naksir Brower di sekolah ini,” katanya ringan seolah itu sudah hukum alam atau semacamnya. “MacKenzie, Clear, Hornskin, Murray—Stone.” Melissa menunjuk beberapa cewek di kelas—aku mengenali satu dari yang disebutkan barusan. Yang bernama Gisella Murray adalah yang bertanya padaku tentang museum-museum New York di kelas Prancis kemarin. “Dan Clarice Hemingway bisa dibilang penggemar nomer satunya,” sambungnya.
Kontan aku melirik ke belakang untuk melihat Alex—menatapnya lebih lama dari yang sebelumnya pernah kulakukan. Oke, harus kuakui Alex memang cukup tampan dengan rambut pirang platina dan mata birunya. Tubuh atletis, kulit kecokelatan, atau otak encernya, ditambah status sebagai kapten basket SMA Verotica pastilah juga kelebihannya yang menarik perhatian semua gadis itu ... Secara bersamaan aku merasakan perasaan ironis dan iba kepada gadis-gadis yang menjadi penggemar berat Alex tersebut. Kupikir setelah mengetahui fakta bahwa seorang cewek asing kini menumpang tinggal di rumah idola mereka, di waktu luang mungkin mereka akan mengandai-andaikan diri mereka jika mereka mendapat kesempatan yang sama.
Keluar dari topik Alex, Melissa kembali menceritakan padaku tentang gosip-gosip yang akan dimuatnya di majalah dinding lusa nanti—sulit memotong kata-katanya ketika ia sedang berbicara, lalu, ketika ada kesempatan menyela aku tak ingin menyia-nyiakannya.
“Apa kau tahu sesuatu tentang cowok yang bernama ... Victor?” Aku terkejut karena tak bisa menyembunyikan nada ketertarikanku saat mengucapkan nama itu.
Perlahan-lahan ekspresi Melissa berubah; matanya menyipit dan bibirnya melekuk aneh. “Apa maksudmu Victor Colter?” Ditatapnya aku lekat-lekat seakan aku baru saja membuat pengakuan yang membahayakan kelangsungan umat manusia.