RANTING-ranting bergetar ketika tertiup angin, dan hujan telah berhenti menderu, menyisakan gerimis kecil-kecil di luar rumah pohon di halaman belakang rumah Eve. Rumah pohon yang dibangun ayah Alex ketika mereka baru saja pindah ke Verotica. Aku sendiri heran, mengapa aku selalu menikmati nongkrong di rumah pohon bersama Alex meskipun tahu tujuan kami tidak hanya untuk duduk-duduk santai, bermain kartu, dan meresapi udara yang lebih bersih. Mungkin karena dari rumah pohon yang cukup tinggi itu langit tampak lebih cembung ke bumi, mudah dipanjat dan digapai. Sehingga aku merasa tidak perlu berpijak ke tanah dan mengundang petaka.
Seperti hari Minggu sebelumnya, kami menghabiskan hari Minggu selanjutnya dengan melatih sihirku; tampaknya Alex masih percaya jika aku sering mengasahnya, keajaiban mungkin akan terjadi. Aku sudah mengingatkan Alex bahwa kemungkinan itu bahkan lebih kecil dari membuat matahari terbit dari barat ke timur—dan itu bukanlah lelucon—tapi ia tidak juga mau mendengarkan, berpikir aku cuma berlitotes. Jadi, ketika di atas rumah pohon Alex dengan serius mengajariku, aku hanya mengambil segi positifnya bahwa setelahnya kami mungkin akan bermain poker—satu-satunya keahlianku selain menyaring oksigen.
Di sekolah esok harinya, ketika Mr. Giles sedang menjelaskan masa transisi dari seni rupa modern ke seni kontemporer, aku mendapatkan secarik surat panggilan dari Mrs. Morris, kepala sekolah SMA Verotica. Aku belum pernah bertemu Mrs. Morris sebelumnya, tapi dari cerita-cerita yang berembus kedengarannya bukanlah sesuatu yang bagus jika kau mendapatkan surat izin menghadap kepala sekolah di tengah jam pelajaran—Luke pernah mendapatkan panggilan dan mendapatkan detensi yang cukup parah setelahnya.
“Miss Swolley, benar?” sambut Mrs. Morris, mengangkat kacamatanya yang hampir turun dengan telunjuknya yang kurus kering seperti ujung pencungkil ketika aku memasuki ruangannya, “pindahan dari sekolah privat Laurentinus Rebecca, Manhattan,” lanjutnya tanpa basa-basi, tangannya mempersilakan aku duduk di salah satu kursi di depan mejanya. “Kalau boleh tahu tepatnya di mana itu?”
“Di Upper East Side,” jawabku, menegakkan diriku di atas jok keras yang kududuki.
Mrs Morris tampak menggumam tak jelas. “Sebenarnya aku memanggilmu hanya untuk memastikan semuanya baik-baik saja. Apa ada kesulitan selama kau bersekolah di sini? Misalnya teman-teman, kurikulum, atau mungkin staf pengajar?” tanyanya dengan artikulasi kembali jelas.
Aku berpikir sebentar untuk membuat kesan tak asal bicara. “Saya rasa tidak ada masalah.”
Ia mengangguk kaku sambil mengetukkan ujung jarinya ke permukaan meja sebanyak dua kali. “Baiklah, itu artinya tidak ada kesulitan untuk saat ini. Itu artinya juga kau sudah paham betul semua peraturan yang berlaku di sini.”
“Saya rasa begitu,” jawabku agak tak yakin. Waktu menandatangani semua kertas yang diserahkan Alex sehari sebelum masuk sekolah, aku agak mengantuk. Aku belum membaca sebutir pun peraturan sekolah yang tertera di sana.
“Well. Kalau begitu tidak ada salahnya kita tinjau ulang semua kelengkapan berkasmu, Miss Swolley.” Mrs. Morris lalu mengaduk-aduk laci di sebelah kiri meja kerjanya yang lebar, mengeluarkan map lainnya yang berwarna hijau pucat, membacanya selama beberapa detik sebelum meletakkannya dengan posisi terbuka di atas meja di puncak map sebelumnya. “Aku sudah mengecek data milikmu beberapa hari lalu. Aku terbiasa memeriksa semua dokumen siswa yang sudah disusun para staf, berharap menemukan sesuatu yang menarik dari anak didikku. Well, tidak ada masalah dalam berkasmu, tapi ....”
Aku menunggu ia meneruskan ucapannya.
Mrs. Morris mengerucutkan bibir sambil membolak-balikkan kertas dalam map hijau itu. “Aku hanya ingin memastikan saja bahwa ini benar,” gumamnya, kemudian menyodorkan selembar kertas padaku.
Sambil meraihnya, mataku langsung membaca tulisan itu. Itu bukan kertas biasa, itu fotokopi piagam penghargaan. Tertulis namaku di sana. Tercetak pada bagian tengah, persis di atas cap-cap dan berbagai tanda tangan rumit, dengan huruf-huruf meliuk yang kelihatannya sangat elegan:
Piagam Penghargaan
Pemenang Akting Terbaik Kriteria Remaja
Dengan Bangga Kami Mempersembahkan
Penghargaan Ini Kepada:
Cassandra Anne Swolley
Untuk Film pendek:
The Bloody Princess
Aku mengucek mataku untuk memastikan aku tidak salah lihat. Tidak mungkin. Pasti ada yang salah dengan tulisan itu. Aku tidak pernah memenangkan lomba apa pun—seumur hidupku. Apalagi untuk lomba akting dalam film pendek berjudul The Bloody Princess (Sang Putri Yang Berdarah-darah)—film yang sudah dipastikan ber-genre horor. Otakku terasa terlepas bagai direkatkan pelekat velcro murahan.
Aku berusaha menyeret senyum untuk menutupi kepanikanku. “Ini bukan milik saya.” Aku membaca nama yang tertera di sana sekali lagi—Cassandra Anne Swolley—The Bloody Princess—kejuaraan tingkat negara bagian New York. “Maksud saya, ini memang nama saya tapi saya tidak merasa pernah memenangkan apa pun. Pasti terjadi kekeliruan di sini.”