MENGISI liburan musim gugur yang dimulai sejak hari ini, Alex dan teman-temannya memutuskan merealisasikan rencana berkemah mereka ke daerah utara, rencana yang dengan heboh menjadi topik beberapa waktu belakangan. Dari persiapan mereka, aku tahu acara itu jelas untuk cowok-cowok saja mengingat terjalnya medan yang harus ditempuh untuk mencapai tempat tujuan. Dengan kata lain tak boleh ada alasan untuk merasa kecewa karena tidak diajak, meskipun jika mereka betul-betul mengajakku aku belum tentu bisa ikut. Membuat mereka kerepotan menyiapkan peralatan tambahan bukanlah hal bijaksana.
Well, untunglah kemarin sore Melissa menelepon untuk memintaku menemaninya mengunjungi museum kota di Barbedant. Aku cukup senang karena setidaknya ajakan itu membuat Alex berhenti menggodaku karena berniat menghabiskan hari libur dengan membaca The Universe and Beyond seharian atau menonton tayangan ulang serial televisi mengenai kota zombi.
Tepat jam sebelas siang, Melissa menjemputku ke rumah Eve. Ia meminjam Volkswagen Beetle tahun 60’an berwana merah kusam milik kakak perempuannya. Jujur saja, ketika pertama kali melihatnya Volkswagen itu terlihat agak tidak meyakinkan; catnya sudah tergores di sana-sini—saksi bisu atas pertikaian kejam di jalanan yang sejarahnya tak ingin kuketahui. Bagian pintu kanannya penyok berat, velg-nya berderit-derit karatan, sepertinya mau lepas dari bannya dan menggelinding ke jalan. Dengan hati-hati aku menyentuh pintunya, takut engselnya copot, tapi entah bagaimana pintu itu terbuka tanpa insiden. Praktis aku langsung melongok ke dalam, memastikan tidak ada sesuatu yang lebih parah—body mobil ini saja sudah cukup membuatku panik. Ternyata interiornya tidak seburuk perkiraanku. Setidaknya tidak ada monster pengerat yang mendadak muncul dari kolong joknya.
Mobil itu bergerung dan berguncang hebat ketika Melissa menyalakan mesinnya, membuatku khawatir sesuatu terjadi pada perjalanan nanti. Tapi kekhawatiranku tidak terbukti sama sekali. Kami selamat sampai museum, kecuali entah apa itu dari bagian belakang mobil mengeluarkan asap gelap yang baunya seperti karet terbakar. Melissa menyanggahku ketika aku memastikan keadaan mobilnya. Tapi aku melihat kekhawatiran samar dari matanya.
Di dalam gedung sangat terang. Dindingnya berwarna kuning madu kental yang setengah bagiannya dilapisi kertas dinding cokelat bercorak tanaman merambat. Lantainya adalah marmer warna gading yang serasi dengan dindingnya, berpola abstrak dengan sentuhan artistik. Banyak sekali pilar di dalam sini, diukir indah dan baru saja dicat. Sementara itu jendela besar berbentuk kubah menempel hampir di semua sisi—semuanya diberi jeruji dari besi tempa.
Tampak mencolok, lukisan cat minyak kota versi hitam-putih dengan ukuran panjang dua meter dan lebar satu meter terpampang di ruang utamanya (tertulis pada papan emas di bawahnya, ‘VEROTICA TAHUN 1883’). Dari lukisan itu aku bisa menyimpulkan bahwa kota ini tidak terlalu banyak berubah. Ada dua jalan di masing-masing sisi kanan dan kiri lukisan besar itu, Melissa menggiringku menuju pintu galeri pertama sebelah kiri, pada dindingnya ada papan bercat perak yang bebas dari debu, ‘RUANGAN PENGETAHUAN DAN INFORMASI: TERSUSUN BERDASARKAN TAHUN TERBIT’.
Kami masuk ke ruangan itu. Ruangan itu kurang-lebih sama terangnya dengan ruangan utama. Aku melihat ada dua set meja dengan masing-masing tiga kursi yang bisa digunakan pengunjung untuk duduk, tanaman dalam guci antik, dan sekitar lima lemari buku berkaca—salah satunya dilengkapi lampu, kelihatannya untuk buku-buku khusus. Papan informasi di dalamnya memberitahu keterangan bagi pengunjung. Aku menghampiri salah satu lemari yang terkunci dan dilengkapi lampu itu, setidaknya sekitar lima puluh buku tertata rapi di sana. Pada papan informasinya tertulis, "Buku Asli, Cetakan Pabrik Mulai Lemari Nomor Dua - Lima".
Melissa sudah berdiri di depan lemari buku cetakan pabrik waktu aku meliriknya. Aku menduga buku-buku duplikat itu disediakan oleh pengelola museum agar pengunjung dapat mengetahui isi buku tersebut tanpa merusak buku aslinya. Aku membaca beberapa judul. Hampir seluruhnya bertemakan Sejarah.
“Sandy,” panggil Melissa, “apa kau keberatan kalau kutinggal kau di sini?” Kurang dari tiga menit Melissa sudah menumpuk sekitar empat buah buku di atas salah satu meja—beserta buku catatan dan alat tulis.
“Tentu saja tidak,” kataku tanpa keberatan. “Aku akan melihat-lihat tempat lain.”
Ternyata setiap ruangan saling berhubungan. Setelah melewati koridor pendek, aku tiba di ruang pamerannya. Ruangan pameran mirip ruangan utama tadi, tapi lebih luas lagi. Langit-langitnya tinggi dan berbentuk kubah, terbuat dari sejenis kaca bermosaik sehingga dari sini cahaya matahari bisa langsung menerobos masuk, jatuh tepat di atas kolam air mancur.
Sekitar lima menit kemudian, museum menjadi lebih ramai. Selusin pengunjung memasuki ruang utama. Beberapa di antaranya rombongan turis yang berbicara menggunakan bahasa Latin dan langsung menyibukkan diri mengerubungi beraneka ragam lukisan yang berjajar di dinding ataupun benda-benda bersejarah seperti lonceng perak dalam kotak kaca, baju zirah, bahkan replika kota tahun 1800-an yang dikelilingi tali-batas-sentuh-pengunjung dari beledu hitam. Tiga orang turis berfoto di depan kolam, sementara sepasang turis berkulit eksotis sibuk merogoh koin untuk disumbangkan ke kolam air mancur harapan.
Ketika aku sedang mengamati baju zirah bersama dua orang pengunjung yang memakai bahasa Latin, aku mendengar seseorang berkata di belakangku, ucapannya cukup menarik perhatianku.
“Aku dengar ada sapu terbang yang pernah digunakan penyihir kuno yang dulu menetap di utara. Ada di sana.” Cowok itu menunjuk ke arah timur—mataku mengikuti arahnya. Karena penasaran, aku berjalan menuju tempat yang ditunjuk cowok itu.
Aku segera terpaku menatap ruangan di hadapanku. Ruangan ini agak berbeda dengan ruangan lainnya. Lebih megah dan diterangi lampu-lampu kristal cantik. Mirip seperti dekorasi hotel klasik yang pernah kukunjungi di Prancis, terkadang beraroma seperti sepotong cendana tua yang tersimpan di dalam kotak. Aku melihat lukisan-lukisan orang-orang berbusana kuno menempel di sepanjang dinding—semuanya dibingkai dengan pigura kuningan.
Selain lukisan para tokoh, aku mengamati benda-benda yang disimpan dalam kotak kaca maupun dipajang di lemari kaca beralaskan beledu merah dan diberi lampu emas untuk menambahkan efek dramatis, berisi benda-benda seperti alat makan perak yang sudah penyok-penyok (“Peninggalan Keluarga Magnulius”), jam dinding kayu yang angkanya berhenti di pukul 07.20, dan perabotan tua lainnya. Di sisi yang berseberangan dengan kotak-kotak kaca sempit, aku melihat berbagai sapu dekil di taruh dalam lemari kaca dengan kain beledu biru sebagai alas—mataku membaca papan informasinya.
Sapu Terbang Generasi Bobgin Sejak Tahun 1674.
Aku ingat siapa itu Bobgin, Sam menceritakan sedikit di restoran tempo hari itu. Keluarga Bobgin adalah keluarga yang selalu menjadi pemimpin koloni penyihir imigrasi. Dan ini pasti sapu-sapu mereka, sapu-sapu peninggalan keluarga Bobgin yang termahsyur itu. Tentu saja penyihir zaman dahulu masih menggunakan sapu terbang. Zaman sekarang, kendaraan bermesin sudah menjadi alat transportasi utama termasuk bagi penyihir karena jauh lebih cepat.
Aku kemudian berjalan mengitari bagian sebelah kiri. Membaca setiap papan tanda. Ada jam pasir di atas meja pondok—dan berbagai pena bulu dari segala ukuran. Aku mengamati secarik kertas yang dilapisi kaca di samping jam pasir; desain saluran irigasi lengkap dengan keterangan-keterangan yang menjelaskan gambar—sepertinya dibuat dengan arang sebagai pengganti pensil—aku melihat gambar itu menampilkan bagian ladang dan kebun penduduk digambar dengan arsiran menyerong, sedangkan saluran irigasinya diwarnai dengan warna hitam, semuanya tampak saling berhubungan membentuk pola labirin yang sangat rumit.
Aku berpaling dari meja pondok menuju tugu trapesium—terbuat dari marmer berwarna putih—yang dilindungi kaca, berada tak jauh dari meja pondok.
Aku membaca nama-nama yang diukir pada tugu itu, sedikitnya ada sekitar seratus nama—disusun berdasarkan nama keluarga, tanggal kelahiran dan kematian.
Apa aku yang gila atau semua orang di sini memang meninggal di hari yang sama—3 Agustus 1848?
Ini jelas tidak normal. Orang tidak mungkin meninggal secara serentak, kecuali jika tulisan “Meninggal Saat Serangan” adalah omong kosong untuk menarik turis belaka—tidak ada makhluk terkutuk membinasakan hampir seluruh generasi penyihir di sana; Qweider dan segala mitos-mitosnya hanyalah omong kosong, dongeng menakutkan, cerita seram dari nenek moyang penyihir untuk menakut-nakuti orang-orang; tidak ada monster atau makhluk apa pun yang bisa menghancurkan sebuah kota dalam satu malam, membunuh puluhan bahkan ratusan orang penyihir yang memiliki kekuatan magis dalam sekali kedipan.
“Omong kosong,” umpatku pelan. Aku mundur beberapa langkah, namun otakku masih berputar-putar mencari jawaban yang masuk akal. Tanpa sengaja aku menabrak seseorang yang tampaknya berdiri di belakangku.
Aku spontan membalik—dan saat itu aku terkejut karena orang yang kutabrak adalah sosok mungil dan rapuh yang kukenali. “Agatha—kau?”
Agatha yang hari ini mengenakan kacamata berbingkai cokelat memandangiku dari balik lensanya. “Sa-Sandy, aku benar-benar minta maaf ... memang salahku ... tadi aku baru saja mau menghampirimu ...” Aku melihat pipinya memerah karena gugup.
“Aku yang harus minta maaf, aku yang menabrakmu,” aku buru-buru mencegahnya minta maaf padaku. Jelas aku yang salah. Barusan aku yang mundur tanpa melihat-lihat karena sibuk memikirkan hal konyol itu. “Eh, itu ...” Mataku tiba-tiba menangkap jurnal kumal Agatha tergeletak di lantai.
Aku hampir saja membungkuk untuk mengambilnya sebelum Agatha berseru dan membuatku tersentak kaget.
“Jangan! Jangan berani-berani menyentuh buku itu!” raungnya. Aku melihat mata Agatha membelalak ngeri dan buru-buru meraih buku itu—mendekapnya, melindunginya, seolah aku adalah ancaman yang akan merusaknya. Beberapa detik kemudian ia menyadari ekspresi terkejutku, karena wajahnya kemudian melunak membentuk ekspresi bersalah. “Ehm, maafkan aku, Sandy—aku tidak bermaksud membentakmu ... aku hanya agak ... malu. Aku malu jika orang lain membuka buku itu ... aku banyak menulis ...”