SEBETULNYA kalau boleh menolak, aku berharap tidak usah repot-repot mendatangi pesta Halloween sekolah segala, tapi karena Sam sudah membelikan gaun lilac untuk pesta hari ini, aku tak sampai hati padanya kalau menolak. Menurut Sam aku akan sangat berterima kasih padanya tidak membelikanku kostum seram-seraman karena akan ada pesta dansa. Aku juga sudah mempersiapkan diri untuk pesta dansanya. Kalau bisa aku akan bersembunyi semalaman saja nanti. Lagian, siapa sih yang bakal memerhatikan? Seumur hidup aku sudah terbiasa menjadi titik debu yang terlupakan pada lukisan Van Gogh yang hebat.
Dengan mimik puas Ellie, teman Sam, mengamati bayanganku di cermin. “Kau benar-benar seperti Helena Waite yang ada di lukisan museum itu—aku dan Sam pernah melihatnya sewaktu museum belum direnovasi dan lukisan itu masih ditaruh di bagian depan.”
Helena Waite sudah menjadi topik familier sejak aku menceritakan apa yang kutemukan di museum itu kepada Eve. Dan Sam mengerang jengkel karena tidak bisa mengingat siapa yang ia pikir mirip denganku sampai Alex memberitahunya.
“Kau punya warna rambut yang cantik, Sandy,” puji Sam. Praktis aku mengalihkan tatapanku dari wajah ke rambut. Masing-masing sejumput di bagian kiri dan kanan rambutku yang dikeriting ditarik ke belakang kepala untuk membentuk ikatan separo. Dengan baik hati Ellie mengeluarkan ponsel kameranya untuk memotretku, wajah kemudian bagian belakang rambutku, dan menunjukkannya kepadaku. Aku terperangah. Hiasan mutiaranya membuat rambutku tampak indah. Dengan kikuk aku berterima kasih pada periasku, berupaya menghargai jerih payah keduanya.
Setelah semua siap, kami bertiga turun ke bawah. Riasan, gaun cantik dan sepatu datar bermanik milik Ellie yang kukenakan membuatku lupa pesta apa yang akan kudatangi.
Di bawah, Eve memuji penampilanku sementara Alex membiarkan semua pujian itu mengalir sebelum membuka mulut.
“Kau tampak semanis anak kelinci, Sandy—dalam artian yang bagus tentunya,” celetuknya. Alex sendiri terlihat pantas dengan kostum bajak lautnya, kecuali penutup mata sebelah yang hanya digantungkan di leher. Aku bersyukur dengan apa yang dikenakan Alex sekarang membuatku merasa busanaku tidak mencolok sama sekali.
Khawatir terlambat, kami berlima pun kemudian menuju pekarangan depan. Dalam beberapa menit Ellie sudah memutarkan Mustang-nya di depan rumah, siap berangkat.
“Nah!” Eve menepuk punggung Alex sebelum Alex membenamkan diri ke dalam mobilnya. “Selamat bersenang-senang, Anak-anak, dan ingat jangan terlalu ekstrem—ini peringatan keras untukmu, Bajak Laut, ingat itu, kau harus menjaga Sandy baik-baik. Beritahu juga teman-temanmu supaya tidak terlalu heboh—ingat tahun lalu waktu kepala Jorge Norwood harus dijahit?”
“Mom,” erang Alex sembari mengedikkan dagu padaku dengan agak kentara. Eve hanya tersenyum sambil menggeleng-geleng ketika masuk ke dalam mobil Ellie.
Mengapa kepala Jorge harus dijahit? Pasti aku salah dengar barusan itu. Mana ada pesta Halloween sekolah yang bisa membahayakan murid-muridnya, betul, kan?
Sam, Eve, dan Ellie akan menghadiri pesta yang diadakan walikota di Noelan Spring Park dengan Mustang Ellie, sehingga kami harus berpisah kendaraan di pekarangan rumah. Kata Sam, setiap tahun, Roger Hemingway, walikota Verotica sekaligus ayah Clarice menyelenggarakan pesta Halloween yang sangat meriah. Walaupun banyak mengatakan pesta itu adalah ajang bagi Mr. Hemingway untuk memopulerkan diri sendiri, jika itu berarti makanan yang melimpah-ruah, pesta dansa gila-gilaan, dan taburan kesenangan lainnya, tampaknya tidak akan ada yang peduli dengan pidato omong kosong dari sang walikota.
Saat Cadillac Alex melewati jalur sebelah barat Noelan Spring Park, aku menangkap tatapannya yang dilayangkannya padaku lewat ujung mata. “Hei,” tegurku spontan.
“Apa?”
“Kau barusan menatapku.”
“Menatap?” kilah Alex berlagak polos.
“Barusan aku memergokimu sedang meneliti wajahku,” gerutuku.
Alex berjengit. “Aku tidak melakukannya.”
Mau tak mau aku mendesah lalu meletupkan tawa putus asa dari sudut mulut. “Aku tahu sebenarnya ini berlebihan. Tapi percayalah, aku tak tega memprotes apa yang dilakukan Sam dan Ellie padaku. Mereka sudah bekerja keras.”
“Oh, ayolah, Sandy, tidak ada yang salah denganmu, aku bersumpah. Aku hanya sedang menghitung berapa banyak cowok di pesta Halloween nanti yang akan kuhadapi karena menggodamu,” sergah Alex. “Barusan aku sudah berjanji pada Mom untuk menjagamu dengan nyawaku—tidak bermaksud melodramatis, lho.”
Ucapan terang-terangannya membuatku pipiku terbakar.
Kami refleks diam beberapa waktu saat mobil berhenti karena lampu merah. Orang-orang hilir-mudik di trotoar, membawa lampion, beberapanya berjalan berlawanan arah, menjinjing kantong-kantong belanjaan, sepertinya tergesa-gesa.
“Jadi, apakah sekarang sudah waktunya kau memberitahuku?” Aku menerima satu brosur itu dari pegawai toko berkostum garis-garis dengan pin glow in the dark raksasa di dada kiri yang bertuliskan “HAPPY HALLOWEEN, VEROTICAS!”, aku membaca brosur di tanganku dengan cara cepat.
Penawaran terbaik, diskon 75% untuk segala macam perlengkapan makan perak dari Rumah Suvenir Madam Gabriella—khusus untuk malam Halloween.
Catatan: besok harga kembali normal.
“Bagaimana ya,” gumamnya akhirnya, lalu melirikku sambil tersenyum jahil. “Sebenarnya belum saatnya.”
“Sedikit pun tidak bisa?” gerutuku. “Mana mungkin ada aturan seketat itu.”
“Ada saja kalau kau bersekolah di SMA Verotica,” tukasnya.
Sekitar lima belas menit kemudian, tak ada lagi lampu-lampu atau petunjuk arah yang memantulkan cahaya lampu mobil di luar sana. Ketika kami berbelok ke kanan ke jalan kecil yang dikelilingi pepohonan dan kukenali sebagai jalan memotong menuju sekolah, aku tak lagi menatap ke luar jendela karena terlalu gelap.
“Lihat itu.” Alex tiba-tiba menunjuk ke depan.
Gerbang sekolah yang biasanya tampak suram dan rapuh (besi tempa berkarat berwarna hitam meliuk-liuk yang disangga dua tembok besar berlumut yang kemungkinan roboh ketika disentuh), sekarang dikelilingi lampu-lampu kerlap-kerlip cantik yang memancarkan cahaya kekuningan, ungu, biru, dan oranye secara bergantian. Dari tempat parkir aku bisa melihat lautan manusia mengantre di depan pintu gimnasium, tempat acara akan digelar, yang tampaknya masih tertutup rapat. Suasananya persis seperti di luar gedung konser band terkenal.
“Apa akan ada bintang tamu?” tanyaku agak berharap.
Alex membuka kaca mobilnya. “Yeah. Band asal Chicago gosipnya. Hei, Torry—hei, awas, Sobat,” ujarnya kepada cowok dengan riasan ala gotik yang berjalan rikuh.
“Hei. Gila sekali perayaan kali ini—sana, sampai ketemu nanti di dalam.” Ia menepuk kap depan Cadillac Alex dan berjalan dengan sembrono ke arah kerumunan cowok di lapangan parkir.